Hati yang Diam Dalam Gelas Kaca
blog ini udah hampir terbengkalai, nggak kesentuh sama sekali :')
Mau gimana lagi, saya kena writter block syndrome, sih. Dan beberapa bulan sebelumnya disibukan merampungkan multichapter story yang masih on going publish-nya di fictionpress.com :')
Dan hari ini tadi ngubek-ngubek lagi isi folder di hard disk saya, nemu
cerita ini. Kayaknya belum kupublish dimana pun. Ya udah, deh. buat
ngehidupin lagi blog ini, jadi saya publish di sini aja.
Read it if you want :')
Hati
yang Diam Dalam Gelas Kaca
Oleh Firdausi Riskiviawinanda
Aku ingin bertemu
denganmu hari ini di tempat biasa jam dua belas siang. Aku menunggumu.
Sebuah
pesan singkat baru saja kubuka dan kubaca setelah bangun dari lelapku tadi
malam. Aku melirik ke arah jam dinding merah yang bertengger di atas lemari bukuku,
memicingkan mata untuk memokuskan penglihatan yang masih samar-samar. Tidak
begitu jelas, tapi kurasa jarum panjangnya mengarah ke angka sebelas dan jarum
pendeknya menunjuk ke angka sepuluh. Kubuka tirai jendela coklat yang tepat di
sebelah kananku. Bias cahaya surya sempat membutakan mataku yang refleks
menggerakan otot-ototnya untuk menutup. Sudah siang sekali rupanya.
Kembali
kulihat layar ponsel yang sedari tadi kugenggam. Bukan haya sebuah pesan
singkat yang kuterima. Belasan missed
call dari nama dan nomor yang sama terpampang di layar ponsel. Ia pula yang
telah mengirimkan pesan janji sepihak itu padaku. Kulihat waktunya, tadi malam
sekitar pukul 23.00 dan selisih belasan missed
call itu rata-rata sama.
Kutarik
napas dalam-dalam, berusaha untuk tidak mengeluh. Kemudian aku segera beranjak
dari tempat tidur, mengambil handuk dan pergi membersihkan diri.
*****
Terpantul
sesosok wanita dua puluhan mengenakan baju tanpa lengan berwarna merah
dipadukan dengan kardigan
krim serta bawahan celana jeans hitam
dalam cermin yang sedang kuperhatikan. Setelah merapikan rambut yang tanpa
kusadari sudah sepanjang pinggang, kulempar kedua bola mataku pada jam dinding.
Pukul 11.45. Bergegas
aku mengenakan sepatuku dan pergi ke tempat yang telah dijanjikan.
Tanganku
mendorong pintu café berhiaskan bunga plastik di depannya, secara otomatis
membunyikan lonceng yang menandakan kedatangan tamu. Mataku segera tertuju pada
satu titik; tempat
di mana aku sering bertemu dengannya di sini; di sudut kiri paling pojok,
sebelah kaca jendela yang terbilang lebar.
Di
situ telah duduk seorang laki-laki bunduk membelakangiku, mengenakan kemeja
lengan panjang bermotif kotak biru hitam, menampakkan lekuk tubuhnya yang kurus
namun bidang itu. Lama tidak bertemu dengannya, punggungnya memancarkan
kesepian dan aku pun merindukannya. Rambutnya yang kemerahan pun sudah semakin
panjang.
Kakiku
kembali melangkah menghampirinya setelah lama terdiam di depan pintu café, memperhatikannya
yang sudah lama tak kulihat batang hidungnya. Aku duduk di depannya. Bersamaan
dengan itu seorang pelayan menghampiri. Segera kupesan segelas lemon tea agar ia cepat-cepat pergi
meninggalkanku dengannya berdua saja.
Saat
ini aku dan dia sedang bertukar pandang seakan mengobati kerinduan yang sudah
lama terpendam dan menumpuk, tetapi tidak. Tatapan itu seakan mencoba
menelisik, merasuki alam pikirku. Ia terlihat lebih serius. Bahkan untuk
membalas senyumku pun, ia hanya mengumbarkan senyum simpul yang amat kecil.
“Bagaimana
kabarmu?” ia mulai memecah keheningan.
“Baik.
Kau sendiri, Ray?”
“Seperti
yang kau lihat.”
Percakapan
kami terpotong oleh kedatangan seorang pelayan yang membawakan segelas lemon tea pesananku. Kembali keheningan
mengambil alih. Hanya terdengar suara bising di luar dinding tak kasat mata
yang kami ciptakan juga suara sendok yang menyentuh permukaan gelas saat aku
mengaduk lemon tea di hadapanku.
“Lalu….
Ada apa kau memanggilku?” kali ini suaraku yang berusaha memecah keheningan.
“Aku
sayang padamu,” itu yang ia katakan.
Meski
mataku masih terfokus pada gelas di hadapanku, aku bisa merasakan aliran tatapan
matanya yang begitu lurus semenjak tadi sembari mengatakan hal itu. Tak ada
yang bisa kukatakan. Aku hanya bergumam pendek dan mulai menyeruput kesegaran
minuman yang kupesan tadi.
“Sudah
sejak lama dan kau tahu akan hal itu karena terlalu sering aku mengatakannya
padamu.”
“Ya,
aku mengerti.”
Ia
diam, tapi tatapannya masih sama. begitu serius dan lurus berusaha menelisik
dalam untuk mengorek isi hatiku. Aku juga, tak berniat untuk membalas
tatapannya dan memutuskan untuk terus bergelut dengan gelas bening.
“Kau
tahu berapa lama kita tidak bertemu?”
“Ya,
sekitar satu bulan.”
“Dan
apa kau ingat kapan aku menghubungimu terakhir kali?”
“Dua
minggu terakhir ini.”
Lagi-lagi
ia diam. Kali ini kuberanikan diri meliriknya sedikit sembari kembali
menyeruput minuman dengan sedotan. Ia menyandarkan diri pada sandaran kursi
sembari mencengkram sebagian rambutnya. Ia menghembuskan napas perlahan,
sepertinya berusaha menenangkan diri. Emosi mulai ingin menguasainya. Bisa dilihat
dari buku-buku kernyitkan dahinya. Kurasa ia kecewa akan sikapku saat ini.
Kembali
aku mengalihkan bola mata agar ia tidak menyadari tatapanku saat ini. Aku tetap
menggigit sedotan tanpa menggunakan daya hisap. Berpura-pura sibuk dengan
sendok teh, memutar-mutarnya dalam larutan coklat bening.
“Dira,
aku mengerti kalau kau memang belum menjadi kekasihku. Tapi kau seakan tak
pernah menolak sikap baikku yang memiliki maksud padamu. Jujur saja, aku
bingung,” ia mulai meneruskan pembicaraan.
Aku
diam saja dan terus mengaduk-aduk lemon
tea, kali ini dengan sedotan. Kurasa ia masih akan melanjutkan kalimatnya.
“Kau
sebenarnya ingin aku bagaimana?”
“Entah.
Aku sendiri tidak mengerti.”
“Lalu
bagaimana? Sekali pun tak pernah aku mendengar kalimat sayang keluar dari
mulutmu. Jujur saja, semakin lama aku semakin bingung dipermainkan oleh sikapmu
yang setengah-setengah itu.”
Mulutku
bungkam. Kuhentikan segala kegiatan tak penting yang sejak tadi kulakukan namun
jemariku masih merengkuh sendok erat-erat. Hatiku ngilu mendengar ucapannya,
menampar perasaanku keras.
“Apa
hal itu harus diungkapkan? Apa tidak cukup hanya tindakan dan perasaan saling mengerti?”
akhirnya lidahku bisa bebas dari rasa kelu.
“Bagaimana
aku bisa tahu kalau sikapmu seperti ini? Bahkan kita tidak saling bertemu dan
berhubungan lama pun kau bersikap tak acuh. Bagaimana aku bisa mengerti
perasaanmu? Jelaskan, Dira…!” nadanya sedikit meninggi. Ia mulai kehilangan
kontrol.
Aku
tetap diam, kembali berkutat dengan minuman yang mulai kehilangan suhu
dinginnya. Aku menggosok-gosok permukaan gelas yang berembun tanpa menatap
laki-laki di depanku.
Beberapa
mata memperhatikan kami. Pertikaian kecil itu sepertinya menarik perhatian
beberapa orang. Ia kembali bersandar pada kursi dan memalingkan muka. Kudengar
ia berdesis pendek, mencurahkan emosinya. Sejurus kemudian ia kembali menatapku
– sama, dengan tatapan lurus yang menelisik. Ia menghembuskan napas perlahan
sebelum mulai bicara lagi.
“Kau
tidak pernah sekali pun menghubungiku lebih dulu. Haruskah aku yang selalu
menghubungimu? Apa kau sama sekali tak punya hasrat untuk mendengarkan suaraku
seperti aku yang selalu berharap mendengar suaramu tiap detiknya? Tidak kah kau
ingin bertemu denganku tanpa harus aku yang mengajakmu?” seruntun pertanyaan ia
sodorkan.
“Apa
tidak cukup dengan sikap baikku padamu?”
Ia
menarik tanganku yang semenjak tadi tak mau lepas dari gelas dan
menggenggamnya. Genggaman tangannya kuat, penuh harapan dan kehangatan. Aku
masih menunduk, tak sanggup membalas matanya yang tak bosan memaku diri padaku.
“Dira,
mengertilah. Aku sayang padamu, sungguh. Kau sendiri tahu kan seberapa lama aku
menautkan hatiku padamu? Tiga tahun. Ya, selama itu. Dan kau terus menggantungkan
aku dalam ketidakpastian. Hari ini aku menemuimu ingin menanyakan kepastian
darimu.”
Mulutku
masih terkunci. Ia malah kembali menyeruput minuman yang kurang dari setengah
lagi. Laki-laki itu juga masih diam tak melepaskan matanya dariku seakan tak
mau melewatkan sedetik pun dari ekspresi wajahku. Kali ini kuberanikan diri
untuk membalas matanya yang terasa menusuk. Aku menarik kembali tangan yang
tergenggam oleh telapak tangan yang besar itu. Aku mengambil napas dalam
sebelum mulai bicara.
“Aku
tidak ingin mengekangmu.”
“Tapi
aku tidak merasa terkekang. Bahkan aku terlalu bebas. Aku ini bagaikan burung
yang tak memiliki sangkar.”
“Dan
aku tidak ingin dikekang.”
“Ada
kah diriku pernah mengekangmu? Aku hanya memberikan perhatianku padamu dan
membebaskanmu melakukan apa yang kau mau selagi itu dalam batas kewajaran.”
Ia
kembali menggenggam tanganku. Lagi-lagi lidahku kelu. Aku kembali melemparkan
bola mataku jauh, menghindari tatapan matanya yang semakin lama semakin menusuk
dan mendesakku untuk bicara. Berkali-kali ia memanggil namaku dalam bisikan,
memohonku untuk membuka mulut dan memberikannya kepastian. Tapi hanya ribuan
alasan saja yang saat ini ingin kupikirkan.
“Apa
jika saling menyukai harus saling mengikat diri dalam hubungan yang disebut pasangan kekasih?”
“Aku
tidak bermaksud begitu. Paling tidak sekali saja, katakan padaku bahwa kau pun
sayang padaku. Katakan bahwa aku berarti dalam hidupmu. Bahwa aku tiang pondasi
rumahmu.”
Hening
kembali menyeruak.
“Maaf,
aku tidak bisa,” hanya seuntai kalimat itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku
masih menunduk, kali ini terfokus pada bongkahan es yang sudah mengecil karena
penguapan dan mencair. Aku tak berani menatap matanya karena hanya
ketidakjujuran yang bisa tersampaikan.
Kurasakan
tangannya yang menggenggam tanganku erat tadi mulai melonggar. Kali ini ia yang
menarik lengannya. Aku melirik ke arahnya.
Keningnya sungguh mengkerut
begitu dalam. Ia menghela napas sembari mencoba tersenyum, namun hanya
kesenduan yang kulihat dari senyum itu. Kekecewaan yang sangat besar mengalir
dari dirinya. Kurasa aku telah mematikan satu lilin hidupnya. Aku telah
mematikan keindahan pancaran mata biru yang biasa ia berikan.
“Aku
memanggilmu ke sini untuk memastikan apa aku boleh terus berjuang atau harus
menyerah mendapatkan hatimu yang sulit ditebak itu. Tapi aku sudah terlalu
lelah. Kita akhiri saja hubungan ini, ya?”
Pertanyaan
itu kembali menghantam jatuh mentalku. Tapi sebisanya aku tetap berdiri tegak,
setidaknya ragaku bisa begitu dengan tetap tak mengekspresikan apa-apa. Aku
menyeruput lemon tea yang tak sampai
lima teguk lagi.
“Dira,
tatap aku, kumohon. Bilang padaku bahwa kau sayang padaku. Cegah aku. Katakan
tidak untuk pertanyaanku itu,” suaranya begitu lirih mengiris-iris bagian dalam
tulang rusuk. Tapi aku tak bicara apa pun. Sekali lagi ia tersenyum lirih. Kali
ini ia pasrah. “Bahkan saat terakhir ini pun aku masih berharap kau bicara
padaku. Tapi sepertinya mustahil karena kau sama sekali tak peduli denganku.”
Ia
beranjak berdiri dari tempat duduknya, masih diam sambil menatapku yang terus menunduk
menyembunyikan bola-bola mataku. Ia perlahan mendekat padaku kemudian dengan
lembut dan ringan mengecup kening kiriku. Aku bisa merasakan ia tersenyum,
meski amat dipaksakan seraya mengelus kepalaku.
“Maaf
sudah menyusahkanmu selama ini, Dira. Aku duluan. Selamat tinggal. Jaga dirimu
baik-baik dan semoga kau bertemu dengan pria yang bisa mengerti dirimu melebihi
kau sendiri,” ia bicara, ucapan yang akan menjadi kalimat terakhir yang
kudengar darinya.
Aku
mengangkat wajahku. Ia tersenyum lembut sebelum melangkah pergi meninggalkanku.
Kali ini mataku yang terpaku menatap sosoknya yang hilang di balik pintu café.
Punggungnya terlihat dingin. Sayapnya rapuh, mungkin telah patah satu. Tapi ia
berusaha tetap berjalan tegap dalam kelunglaian mentalnya.
Di
sini aku masih tetap duduk di meja tempat aku dengannya masih bersama beberapa
saat yang lalu, menyeruput
lemon tea tegukan terakhir tanpa
mengalihkan pandangan dari pintu kayu yang dipoles cat coklat muda milik café
ini. Kosong, tatapanku menerawang jauh. Mencari sosok pria yang tadi duduk di
depanku, yang berharap bisa mengorek isi hatiku. Diam-diam sayapku ikut rapuh,
mengikuti jejak pria bernama Ray itu. Aku ikut lunglai. Bukan karena iba, tapi
karena kebodohanku, juga dirinya yang tak bisa bertahan dengan sikapku.
Ia
bilang aku tidak peduli padanya. Ia bilang aku tidak mencintainya hingga ia
memutuskan pergi meninggalkan kisah yang tertulis dalam buku kitabku. Lalu untuk
apa bening-bening kristal ini jatuh dari pelupuk mata? Mengapa aku remuk redam
setelah kepergiannya untuk selamanya? Beri aku alasan yang baik mengapa
tiba-tiba kekosongan mengisi serumpun kehidupanku ini.
Aku
hanya ingin ia mengerti bahwa aku tak ingin terikat. Aku tak ingin mengikat
siapa pun untuk alasan apa pun. Aku hanya terlalu kaku. Lidahku kelu dan
mulutku hanya bisa bungkam tanpa bisa bersuara menyerukan perasaanku. Aku
terlalu takut untuk mengakuinya. Mengakui bahwa aku mencintainya.
Meluncur
dengan cepat, bening-bening air yang terkuras dari kelenjar air mata, jatuh
mengisi gelas bening yang tadi berisi lemon
tea. Jika air mata bisa menjelaskan perasaanku, akan kusuguhkan segelas air
mata untuknya agar ia mengerti, menggantikan kata-kata yang sangkut di
tenggorokan. Tapi pada akhirnya gelas itu hanya menampung perasaanku yang
tumpah ruah melalui tetesan yang jatuh dari pipi, menyaksikan aku yang perlahan
hancur karena kepergiannya.
*****
0 komentar: