Senin, 09 Januari 2012

At The Blue Rose We Meet

Karya yang bisa dibilang udah lama kubuat. Lagi bahagia, sih, jadi pengen ngepost cerita. muahahah.



At The Blue Rose We Meet
Original Story by Renshi

Lagi. Ketika langit merah menggantung di cakrawala biru kelam, ia datang ke sini. Sepertinya memang waktunya datang ke tempat ini sebelum adzan magrib berkumandang. Dan ia selalu datang sekali dalam dua atau tiga hari.
Tempat ini, kubilang. Sebuah bangunan kecil dengan desain entah apa namanya, aku tidak begitu tahu masalah arsitektur bangunan. Yang bisa dilihat bahwa bangunan ini berbentuk kotak dengan dua lantai. Dindingnya berwarna abu-abu dan coklat tua kayu yang hampir layu – mungkin mendekati hitam, ya-. Pintunya besar dengan aksen kaca di antara warna yang senada dengan sebagian dindingnya, coklat tua mendekati hitam. Ventilasi besar di setiap kaca yang memanjang ke bawah agar udara mudah masuk dan buku-buku di dalamnya tidak menjadi lembab. Teritisan membatasi beranda lantai dua menggantikan pagar.
Ah, ya. Kubilang ventilasi besar agar bisa mengangin-anginkan buku. Ya, di sini memang banyak buku-buku, tepatnya komik dan novel. Di sini memang bukan perpustakaan yang meminjamkan banyak buku berguna. Tapi bangunan kecil ini fungsinya kurang lebih sama dengan perpustakaan, meminjamkan buku-buku – komik dan novel maksudku. Orang-orang bilang tempat seperti ini di sebut Taman Bacaan. Dan Taman Bacaan ini diberi nama Blue Rose. Kedengaran feminim sekali, bukan? Padahal aku tahu pemiliknya adalah laki-laki kepala tiga pecinta komik.
Sudah dua bulan aku bekerja di sini. Lebih tepatnya kerja sambilan di samping kuliahku yang super sibuk. Aku bekerja karena kurasa aku butuh uang lebih. Dan aku memilih bekerja di tempat seperti ini karena aku suka dengan komik maupun novel. Bekerja di sini aku bisa membaca buku kesukaanku dan mendapatkan upah. Praktis, bukan? Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Tempat yang disebut Taman Bacaan ini, tidak banyak orang yang datang. Hampir selalu para maniak saja yang datang. Dan itu kebanyakan anak SMP atau SMA yang terlihat freak. Yang mereka pikirkan di masa remaja seperti itu sepertinya hanya komik dan komik tanpa memikirkan diri mereka sendiri, bisa dilihat dari penampilan mereka yang tidak bisa dibilang rapi. Mereka tak memperhatikan diri mereka sendiri.
Meski begitu, tidak semuanya orang-orang aneh yang datang ke sini. Sesekali kadang ada saja orang normal yang mengunjungi tempat ini. Seperti dia. Ya, dia. Aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Orang kebanyakan bilang bahwa cinta pada pandangan pertama itu hanya perasaan sesaat yang tak lama akan hilang. Ah, aku tidak peduli akan menjadi seperti apa cintaku nanti. Yang pasti saat ini aku ingin menikmati dirinya dengan terus memandangnya.
Dari tempat dudukku di balik kursi penjaga yang jaraknya kurang lebih enam meter dari pintu masuk, aku bisa melihatnya melepaskan sepatunya. Rambutnya yang kelihatan halus menjuntai saat ia menunduk, merapikan sepatunya. Ia kembali berdiri tegak, memasukan satu tangannya ke dalam kantong jaket hijau list kuning  dan tangan satunya memegang tumpukan komik, kemudian berjalan menuju padaku. Aku masih diam terpaku, terpesona olehnya hingga ia menyodorkan tumpukan komik itu.
“Nomor 3107. Aku mau mengembalikan,” ujarnya. Aku paling senang mendengar suaranya yang berat dan rendah.
Setelah meletakan tumpukan komik yang kalau tak salah lihat sekitar sepuluh buah, ia membalik badannya, melayangkan matanya ke seluruh ruangan. Lalu ia berjalan ke sudut kiri. Aku hapal gerak-geriknya setiap kali masuk ke sini. Selalu ke sudut kiri, menelusuri jejeran buku dengan membaca kilat judul-judulnya. Dapat atau tidak dapat, ia bertualang ke sudut lain sebelah kiri, di sampingku. Selesai di bagian itu, ia beralih ke lemari buku di sebelah kanan. Menelusuri setiap judul buku. Selesai, kembali ke tempatku dengan membawa tumpukan komik tanpa menelusuri jejeran novel. Sepertinya dia hanya tertarik pada komik saja. Dan selalu seperti itu setiap ia datang.
Aku menarik tumpukan komik yang ia sodorkan untuk dipinjam dan siap untuk mencatatnya. Sebelum kucatat, tentu kuhitung dulu berapa banyak komik yang ingin ia pinjam. Maksimal hanya boleh meminjam sepuluh buah. Tapi setelah kuhitung beberapa kali, ia mengambil sebelas buah komik.
“Maaf, ini kurasa kau kelebihan satu. Pilih satu dari semuanya untuk ditinggal,” ucapku sesopan mungkin.
“Ah, maaf,” balasnya sedikit gelagapan. Ia mulai memilih komik yang akan ia tinggal.
Aku curi pandang, penasaran dengan eksresinya saat ini. Kulihat tangan satunya menutupi setengah wajahnya. Sepertinya ia malu. Meski ia berusaha menutupi rona merahnya, kulit putihnya itu tidak bisa menembunyikannya. Aku bisa lihat dengan jelas warna merah di balik tangannya. Baru kali ini aku lihat wajahnya seperti itu. Rasanya aku ingin ketawa. Tapi kutahan tawa itu dengan senyuman. Aku tidak ingin membuatnya semakin merasa malu.
“Sepertinya kali ini banyak komik yang menarik perhatianmu, ya,” komentarku tanpa memudarkan senyumku. Ia sesaat terdiam mendengar kata-kataku. Setelah gumamanku yang mempertanyakannya, ia memalingkan wajah, kembali menyembunyikan rona merahnya.
“Iya, begitulah,” kali ini suaranya pelan. Wah, bolehkah aku berharap kalau dia terpesona pada senyumanku? Ah, konyol. Lupakan sajalah.
Setelah mencatat semua kode, judul buku, beserta harga peminjaman, aku kembali menyerahkan tumpukan komik itu padanya. “Ini, silahkan. Kembalikan paling lambat setelah lima hari dari hari ini.”
“Thanks,” ujarnya lalu membalik badannya dan berjalan keluar.
Aku cukup terkejut dengan ucapan terakhirnya. Memang bukan kata-kata istimewa, tapi baru kali ini dia berterima kasih. Biasanya ia tidak mengeluarkan sama sekali suara beratnya itu. Ia cukup pelit memperdengarkannya. Tapi hari ini ia bicara meski pendek. Sungguh luar biasa.
*****

Tiga hari setelah hari itu. Pukul enam sore saat langit cukup mendung, ia kembali datang. Kan? Sudah kubilang ia akan datang sekitar jam enam-an. Kali ini aku memberanikan diri untuk tersenyum padanya. Ia melihat itu. Tapi bukannya membalas senyum manisku, ia malah memalingkan wajahnya. Ah, benar-benar. Laki-laki ini sepertinya cukup pemalu. Padahal tidak terlihat dari penampilannya yang serba hitam itu – kaos lengan pendek bertulisan “Black Parade”-nya My Chemical Romance, celana tiga perempat biru kelam juga sebuah kalung bertali hitam bertengger di lehernya.
Ia berjalan ke arahku, masih tanpa memandang lurus mataku. Cukup bikin kesal juga. Tapi aku tidak bisa protes padanya. Toh, memang kami hanya pelanggan dan pelayan (?). Ia menyodorkan tumpukan sepuluh buah komik padaku.
“3107. Mengembalikan.”
Padahal kalau tidak dia sebutkan juga, aku tahu. Aku hapal segala gerak-geriknya di sini, hapal kapan dan jam berapa ia biasanya datang, tentu saja aku pasti hapal dengan nomor kartu peminjamannya.
Selesai aku mengecek komik-komiknya, aku tak punya kerjaan lain selain memandanginya. Semakin hari aku melihatnya, semakin tampan saja ia di mataku. Hidungnya yang tidak mancung dan tidak pesek tapi tipis itu sangat indah. Bibirnya merah dan tipis, tapi kurasa itu warna alami. Bukan lipgloss atau lipstik dan semacamnya. Wajah orientalnya dengan mata yang tidak terlalu sipit mengingatkanku pada penyanyi korea yang tergabung di boyband JYJ, Kim Jae Joong. Ketampanannya hampir mendekati penyanyi manis itu. Ah, berarti wajahnya bukan tampan, ya. Tapi manis. Umurnya juga, kurasa tak jauh dariku. Mungkin seumur atau lebih muda satu atau dua tahun.
Kuperhatikan ia, daritadi tak beralih dari tempatnya. Di tangannya sebuah komik entah apa judulnya sedang terbuka halaman entah halaman berapa. Matanya fokus pada halaman itu. Alisnya mengkerut, menunjukan keseriusannya. Sepertinya ia sedang berkonsentrasi membaca komik itu. Manis, sih. Tapi sayang aku tidak boleh membiarkannya berlama-lama menikmati komik itu tanpa membayar.
“Maaf, ng….,” aku membaca kertas peminjamannya dan mencari tahu namanya. “Angga Pradipta Wicaksono, kau nggak dijinkan untuk membaca di sini,” lanjutku dengan memanggilnya selengkap-lengkapnya. Wajahnya menunjukan rasa tak suka. Ia mengembalikan komik itu ke dalam rak, lalu berdiri.
“Iya, maaf,” ujarnya ketus. “Kau nggak perlu memanggilku dengan nama selengkap itu,” lanjutnya. Sepertinya itu sumber kekesalan yang sebenarnya. Aku tertawa kecil.
“Kali ini aku yang minta maaf,” jawabku. “Tumben begitu. Biasanya kau langsung ambil komik dan meminjamnya. Nggak punya uang?”
Ia hanya memalingkan wajahnya. Sifatnya itu benar-benar kekanakan kadang.
“Wah, kasihan, ya.”
“Ck. Sini kartuku. Nanti aku datang lagi, bawa uang,” ia mengambil dengan kasar kartu yang kuletakan di atas meja lalu langsung pergi tanpa mengucapkan apa pun lagi.
Aku hanya tersenyum dengan sikap manis yang ia tunjukan padaku. Meski semanis apa pun perlakuannya, tetap saja tak memudarkan cinta pada pandangan pertamaku ini. Ya, pasti kutunggu. Aku selalu menunggunya di sini.
*****

Ia menepati janjinya padaku. Meski ia terlambat – aku harus menunggunya lebih dari tiga hari – ia tetap datang pada jam yang sama. Kali ini langit sudah menyembunyikan matahari meski tak berawan. Sepertinya malam semakin cepat datang setiap harinya.
Kulihat rambutnya sedikit berantakan. Mungkin karena helm yang ia pakai. Samar-samar kulihat ia datang menggunakan kendaraan setiap harinya. Tapi tumben sekali hari ini ia pakai helm. Padahal biasanya ia tidak.
Kali ini ia tidak langsung mendatangi mejaku karena minggu lalu ia tidak meminjam sama sekali. Ia segera mengeksplor rak buku sudut sebelah kiri. Aku memang tak pernah bisa bosan melihat gerak-geriknya, bahkan ekspresinya. Aku bisa tahu kalau ia menemukan buku yang menarik di deretan ratusan komik. Sudut bibirnya pasti sedikit terangkat meski tak begitu jelas. Ia terlalu ingin menyembunyikan perasaannya. Atau mungkin ia menemukan buku yang konyol yang mungkin dipikirnya “orang bodoh yang baca ini”, terlihat dari senyum merendahkannya dengan alis mengkerut. Orang biasa mungkin tak bisa membedakan senyum senangnya dan senyum merendahkannya. Keduanya sama-sama terlihat “jelek”. Tapi aku bisa. Kekuatan cinta, mungkin? Konyol.
Ya, ya. Tidak ada banyak waktu untukku kali ini untuk memandanginya berlama-lama karena aku juga punya kesibukan sendiri dengan buku tebal berisi anatomi manusia. Dosenku akan mengadakan tes besok, jadi aku harus belajar. Dosen sialan memang. Memberikan tes di waktu yang tidak tepat. Padahal sudah lama aku tidak bertemu dengannya, tapi gara-gara tes beliau aku jadi tidak bisa memuaskan kerinduanku padanya dengan menikmati setiap lekuk tubuhnya yang bidang.
Traakk!
Ia dengan tidak sopannya melempar tiga komik di atas meja saat aku sibuk dengan anatomi otak hipotalamus. Sikapnya itu benar-benar manis sekali setiap kali bertemu denganku semenjak kejadian kelebihan satu komik itu. Ah, mungkin sejak kejadian aku menegurnya itu. Aku melirik ke arahnya dengan kesalnya, berharap ia merasakan kekesalanku. Tapi kurasa ia sama keras kepalanya denganku hingga terus membuang muka tanpa mempedulikan tatapan tajamku.
Akhirnya aku menyerah, menghela napas panjang untuk menenangkan diri. Kutarik komik yang ia lemparkan dengan amat ramah sekali tadi dan mulai mencatat judul, kode, serta harga peminjaman. Tidak ada pembicaraan sama sekali. Hening, hanya detik jam tanganku saja yang terdengar di telingaku. Ia sama sekali tidak bicara sejak tadi. Hanya bersikap menyebalkan saja.
“Kau kuliah?”
“Ya.”
“Kukira putus sekolah jadi bekerja di sini.”
Kan? Kata-katanya juga begitu lugas hingga menusuk jantungku. Aku hanya diam saja, berusaha menahan kekesalanku.
“Jurusan kedokteran, ya?”
“Bisa kau lihat sendiri dari buku yang kubaca ini.”
“Kurasa aku juga akan masuk jurusan kedokteran.”
“Hah? Kau masih sekolah? kelas berapa?”
“Tiga.”
“SMP?”
“SMA! Memangnya wajahku begitu kekanak-kanakan, ya?” kali ini ia yang kesal.
“Kelas tiga, ya. UN sudah, kan? Tinggal SNMPTN lg saja, ya. Berjuanglah. Masuk kedokteran nggak segampang itu,” nasihatku sembari menyerahkan ketiga komik yang ia pinjam.
“Aku tahu, bodoh. Ini,” ia menyerahkan uang dengan jumlah yang pas dan langsung pergi begitu saja.
“Terima kasih atas pujiannya, bocah sialan,” gerutuku.
Ia menghilang di balik pintu coklat kehitaman di depanku. Aku menopang dagu, memikirkan anak yang tak sopan itu.
Tiga SMA katanya. Dua tahun di bawahku. Yah, mungkin bisa kumaklumi sifatnya yang kekanakan, mengingat aku lebih tua darinya. Tapi, ngomong-ngomong mencintai laki-laki yang lebih muda itu tidak apa, kan? Toh, hanya beda dua tahun dan umurnya delapan belas. Tidak bisa dibilang bahwa aku seperti lolicon, bukan?
Senyum mengembang di wajahku. Hari ini aku dapat satu informasi baru mengenai dirinya. Meski mengesalkan, tapi cukup menguntungkan.
*****

Tak berbeda dari biasanya. Ia datang tanpa kata-kata. Hanya wajah ketusnya yang ia tampakan sambil menyerahkan komik yang sudah ia pinjam. Bertualang di tiap rak dengan pola yang sama, kembali padaku dengan tumpukan komik sekitar sepuluh buah. Tak ada percakapan yang bisa diangkat kali ini hingga hanya keheningan yang menyeruak ke seluruh ruangan. Ia keluar, bergegas untuk pulang.
Tak ada lagi yang datang. Memang biasanya sekitar jam seperti ini, Taman Bacaan dengan nama Blue Rose ini sepi. Maklumlah, sudah melebihi petang dan mendekati malam. Lagipula jam tutupnya itu pukul 19.00. Tapi entah kenapa laki-laki oriental yang cukup jangkung itu selalu datang ke sini satu jam sebelum waktunya tutup.
Di luar, hasil siklus hidrologi yang merupakan presipitasi berwujud cairan turun dari langit. Cukup deras dan tetesannya cukup besar. Telingaku saja sakit mendengarnya menghantam atap. Entah sejak kapan, yang pasti hujan itu mulainya saat laki-laki yang kalau tak salah ingat namanya Angga itu ada di sini. Dan ini sudah waktunya taman bacaan ini tutup.
Aku beranjak dari tempat duduk, membereskan barang-barangku dan barang-barang milik pemilik taman bacaan ini yang kupinjam untuk keperluan bekerja sebelum pergi. Kulihat keluar jendela. Tidak ada tanda-tanda akan berhenti membuatku hanya bisa menghela napas mengeluh. Untungnya beranda bangunan ini luas dan dinaungi oleh atap. Aku bisa menunggu di sana hingga hujan mereda.
“Kau masih di sini?” tanyaku terbelalak saat menemukan laki-laki yang jadi perhatianku sedang duduk di kursi kayu yang panjang setelah mengunci pintu. Ia hanya mengangguk ringan setelah menoleh padaku sebentar, kemudian membuang muka. Lagi. Aku duduk di sebelahnya. “Hujan…” gumamku menatap langit. Kali ini aku berharap hujannya akan bertahan lama.
Ia sama sekali tak bicara. Entah orangnya memang dingin atau memang pada dasarnya pemalu, anak di sebelahku ini sejak datang tak mengeluarkan suaranya sama sekali kecuali mengatakan bahwa nomor kartunya itu 3107 dan ingin mengembalikan. Aku tidak nyaman harus terus memulai pembicaraan. Jadi aku mengambil sikap tak bicara juga, membiarkan hujan mengambil alih keheningan. Meski aku benci suara atap yang di hantam ribuan tetes hujan, namun aku bersyukur dengan adanya bunyi ribut itu, aku bisa menutupi kencangnya degup jantungku ini. Padahal biasanya selalu berdua di dalam ruangan bangunan ini, aku tidak pernah merasa segugup ini.
Aku menggosok-gosokan kedua tanganku, berusaha menjaga rasa hangat. Duduk di luar saat hujan pada malam hari ternyata cukup menusuk kulit juga. Dingin. Lalu sebuah tangan yang lebih besar menggenggam tanganku. Itu tangannya. Meski lebih muda dariku, tetap saja dia laki-laki yang lebih besar dari aku.
“Maaf, aku nggak punya jaket. Jadi begini saja. Kau dingin, kan?”
Cukup baik juga dia. Padahal tangannya sendiri juga begitu dingin. Tapi meski begitu, tangan itu mengalirkan kehangatan. Bisa kurasakan darahku yang terpompa cepat karena hormon adrenalin yang terproduksi banyak. Wajahku panas di tengah hawa dingin malam ini. Mungkin kalian bosan dengan deskripsi seperti ini. Tapi sungguh, itulah yang kurasakan. Jatuh cinta padanya dan semakin jatuh cinta lagi padanya.
Aku curi pandang melirik ke arahnya. Wajahnya yang putih bahkan tetap tampan meski tak ada cahaya bulan meneranginya. Rambutnya sedikit berubah, mungkin dipotongnya sedikit. Matanya terlihat bosan dan mengantuk. Ia bersandar pada dinding. Sudah lama ia menunggu di depan sini, tentu saja ia merasa sangat-sangat bosan.
“Jangan pandangi aku terus,” suaranya akhirnya memecah suara hujan yang menguasai. Aku tersenyum menutup rasa maluku.
“Sadar juga kupandangi terus, ya,” ujarku. Lagi-lagi ia diam. “Bagaimana persiapan ujiannnya?”
“Bukan urusanmu.”
“Kau benar-benar nggak sopan padaku, ya. Kau benci padaku, hah?”
“Sudah kubilang bukan urusanmu.”
“Aku Tanya apa kau benci padaku, tentu saja ada hubungannya denganku, bocah bodoh.”
“Nenek cerewet.”
Sikapnya itu benar-benar menyebalkan. Baru kali ini darahku naik ke ubun-ubun karena ucapan bocah yang lebih muda dua tahun dariku ini. Tapi seberapa pun aku marah padanya, tetap saja rasa sukaku ini semakin hari semakin besar. Aku memandangnya dengan tatapan paling lembut yang pernah kuberikan padanya.
“Kalau kubilang aku suka padamu, bagaimana?” kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Sesaat ia terbelalak tanpa bicara apa pun. Lalu ia menunduk.
“Bu…”
“Mau bilang bukan urusanmu lagi? Hhh… sudahlah. Aku bodoh tertarik padamu,” potongku lalu beranjak berdiri.
“Ah, hei. Mau ke mana?”
“Bukan urusanmu,” jawabku lalu menjulurkan lidah dan berlari dalam hujan. Bahkan di saat seperti itu pun aku berharap ia mengejarku. Sayangnya ia hanya bocah kasar yang tak pernah tertarik padaku.
*****

Berlari di bawah hujan deras selama dua puluh menit pada malam hari, tentu saja membuatku terkapar. Dan parahnya aku terkapar di rumah selama dua minggu. Yah, mungkin penyebab lamanya sakitku itu bukan hanya karena fisikku yang melemah. Tapi psikisku juga ikut terguncang karena penolakan Angga. Ng, dia memang tak pernah mengatakan bahwa ia tidak suka padaku dan itu hanya kesimpulanku saja. Tapi dari awal kalimatnya yang berbunyi “bu-” itu, sudah jelas bahwa ia ingin menolakku dengan berkata bukan urusanmu lagi, kan?
Sebab karena sakit itu lah, aku tak bekerja di taman bacaan Blue Rose beberapa hari terakhir. Dan parahnya, setelah aku sembuh dari sakitku, ujian akhir semester sudah akan berlangsung. Tentu saja aku memilih kuliahku daripada kerja sambilanku. Jadi aku mengambil libur untuk sementara. Lagipula bukan hanya aku saja, kok,  yang bekerja di tempat itu. Kami hanya berganti shift kerja saja. Dan karena itu, satu bulan aku tak bertemu bocah sombong itu.
Yah, memang cukup menguntungkan, sih. Jujur saja, sebenarnya aku bingung harus bersikap bagaimana jika bertemu dengannya. Tapi aku merindukannya. Aku merindukan wajah manisnya. Aku merindukan kata-kata ketusnya. Aku rindu sikap ramah-nya padaku. Bahkan aku rindu tangan dinginnya yang menggenggam tanganku pada malam itu. Lagipula malam itu sikapku juga terlalu kekanakan, meninggalkannya begitu saja sembari mengulurkan lidah. Padahal aku lebih tua darinya, kan.
Hari ini hari terakhir ujian. Jadi kuputuskan untuk kembali bekerja. Aku sudah tak sabar kembali menikmati sosok indah ciptaan Tuhan yang selalu memenuhi ruangan penuh komik saat matahari menghilang di ufuk barat. Aku ingin minta maaf padanya agar ia tidak merasa canggung padaku dan tidak berhenti datang ke bangunan sederhana itu. lLagipula aku takut dimarahi bos karena satu pelanggannya menghilang disebabkan oleh masalah pribadiku.
Tapi sebuah kejutan datang saat aku keluar dari gerbang universitas. Di situ berdiri sosok laki-laki berwajah oriental berseragam putih abu-abu yang amat sangat kukenal menarik beberapa perhatian mahasiswi yang lewat. Memang, ya. Dia bahkan lebih tampan dengan seragam putih abu-abunya di mataku setelah tak bertemu selama satu bulan.
Mata kami pada akhirnya bertemu saat aku sibuk terpesona padanya. Ia tiba-tiba sedikit menjadi kaku dan canggung tapi mati-matian ia menyembunyikannya dengan memasukan kedua tangannya ke dalam kantong celana. Wajahnya merah dengan keringat yang membanjir. Entah merah itu karena matahari yang hari ini cukup menyengat atau karena malu atau mungkin kedua-duanya. Ia melangkah mendekatiku yang masih terdiam di tempat, tak percaya akan kedatangannya.
“Maaf,” ucapnya. Kali ini ia berusaha menatap lurus pada mataku.
“Untuk apa?”
“Kau marah padaku, makanya nggak datang ke Blue Rose lagi, kan?”
“Bukan.”
“Eh!?”
“Aku sakit selama dua minggu dan setelah selesai sakit, aku ada ujian akhir. Jadi aku ijin sama bos untuk nggak masuk kerja.”
Sesaat ia diam terbelalak dan merasa tak percaya. Wajahnya merah padam seketika. Menyadari panasnya wajahnya, ia segera membuang muka lalu bertumpu pada lututnya. Satu tangannya menyembunyikan setengah wajahnya.
Reaksinya lucu. Aku jadi ingin tertawa, tapi kutahan saja. Aku hanya tersenyum dan berjongkok di depannya. Kudongakan kepala, aku bisa dengan jelas melihat wajahnya yang merah padam itu. Benar-benar manis.
“Kau khawatir?”
“Bukan,” lagi-lagi ia memalingkan wajah.
“Benar-benar nggak lucu, ya. Ya, sudah. Pergi saja sana. Aku nggak apa-apa, nggak usah khawatir. Lagipula kau nggak suka padaku, kan. Benci padaku,” kali ini aku yang merajuk, menyembunyikan wajahku di balik lengan yang terlipat di atas lutut. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak bersikap kekanakan lagi. Tapi aku kesal. Sikapnya yang kadang baik tapi sering ketus itu membuatku semakin menyukainya.
“Bu-bukan!” sanggahnya keras.
“Lalu apa!?”
Ia diam terpaku. Aku kembali menyembunyikan wajahku yang rasanya hampir mengeluarkan air mata di balik lengan. Kudengar ia menghela napas panjang. Ia ikut duduk berjongkok di depanku. Ia menggaruk-garuk kepalanya seakan bingung. Wajahnya masih saja merah. Lalu pada akhirnya matanya menatap lurus dengan tegas padaku.
“Bukan seperti itu.”
“Lalu apa? Waktu itu kau ingin bilang bahwa itu bukan urusanku lagi, kan?”
“Sudah kubilang, bukan!” sanggahnya lagi dengan keras. Ia mengalihkan pandangan matanya sebentar lalu kembali menatap mataku lagi. “Aku ingin bilang, bukan kau yang harus bilang seperti itu, tapi aku.”
“Eh?”
“… Aku sayang kamu,” suaranya yang kusukai itu hampir pecah terdengarnya.
Sepertinya ia benar-benar malu. Ia tertunduk setelah bicara seperti itu. Telinganya merah sekali. Aku juga tidak bisa bicara apa pun lagi saking shock-nya ia bicara seperti itu. Bahkan untuk bernapas pun aku lupa. Jantungku terlalu cepat berdetak.
Ia mengangkat kepalanya. Melihat wajahku, ia tertawa renyah, masih dengan wajah merahnya.
“Wajahmu merah,” ujarnya sembari mengusap-usap kepalaku.
“Kau juga, bodoh,” tanpa kuduga, suaraku juga ikut pecah.
“Aku datang setiap sore hampir tutup karena pada saat itu Blue Rose sepi hingga aku bisa berduaan denganmu saja.”
“Terima kasih..”
Kami saling menatap lama, tersenyum, lalu tertawa, masih pada posisi yang sama. Hanya saja kening kami menyatu. Tertawa liar, tertawa keras hingga menarik perhatian orang-orang di sekitar. Mungkin karena lega. Lega kesalahpahaman akhirnya terpecahkan. Lega karena dia mencitaiku. Lega karena… aku jatuh cinta padanya. Meski masih merasa canggung dan tak biasa dengan detak jantung yang kian lama semakin cepat aku tetap merasa nyaman dengan tangannya yang terus memegangi kepalaku lembut.
*****
At the Blue Rose we meet. I love your eyes. I love your hair. I love your habbit. Even I love your vanity, arrogant boy.

0 komentar: