Minggu, 07 Oktober 2012

Rinai Air Penutur Prosa



“Well then I give up if you just stop this whole thing altogether.
You used to be my trasure.
What if I say goodbye for the last time?
I’m closer than you realize” -  We Are The In Crowd, See You Around –

Lagu itu… Ya, mungkin kau bukan penggemar band Pop-rock sepertiku. Dan mungkin kau sama sekali tak mengenal band itu. Tapi lagu-lagu mereka, lirik-lirik yang terkandung di dalamnya… mengingatkanku padamu. Tentang kita, tentang waktu di antara kita. Mungkin kau sama sekali tidak tahu. Tapi kutuliskan sebuah prosa pendek untukmu, untuk mengenangnya, untuk mengakhirinya.
-o0o-
.
.
.
Rinai Air Penutur Prosa

Di kala hujan buku terbuka, kemudian ketika hujan pula lembaran habis untuk ditulis. Satu tahun antara hujan yang memulai dan rintik-rintik yang mengakhirinya, ada kisah antara aku dan kau yang melibatkan hati satu pihak. Ada sulur yang mati sebelum mengembangkan bunganya. Ada jeritan sunyi rintihan tangis terkubur di antara kata-kata manis.
Kala itu hujan. Awan sama sekali tak memberikan celah pada birunya langit. Ia berkuasa dengan kelabunya yang menutupi bias mentari.
Kala itu hujan. Riuh hantaman tetes-tetes air di atas atap seng membaur dengan suara detik jam yang terdengar keras. Bau tanah basah yang khas tercium dengan debu-debu yang menjadi berat untuk berterbangan.
Lidahku kelu, otakku mati untuk berpikir di kala kau diam duduk di hadapanku. Seakan-akan udara memadat, punggungku berat oleh kecanggungan yang mengalir, memaksa aku untuk terus menunduk memandangi layar ponsel, kadang dua mangkuk kosong di atas meja meski mataku sungguh ingin sekali memandangimu. Ruangan empat kali empat meter itu sungguh terasa semakin menyempit.
Rinai hujan masih membaur dengan detik-detik yang masih berputar. Telingaku peka di antara riuh mendengar jemarimu yang mengetuk-ngetuk layar ponsel dengan bosan. Sesekali kau menoleh ke luar jendela, memantau kerapatan molekul-molekul air yang masih menguasai udara. Aku tahu sebab telingaku peka pada suara gerakmu meski irisku tak mau lepas dari layar ponsel atau dua mangkuk kotor yang terabaikan olehmu.
Masih dikuasai hujan. Sedetik kemudian aku sadar bahwa ada satu suara lagi yang membaur menguasai ruang di antara kita. Datang dari ruang antara rusuk-rusuk, terdengar samar kemudian semakin jelas. Mungkin kau tak mendengar sebab kau sibuk menyamakan ritme ketukan jari dengan detik yang berlalu tanpa sadar. Tapi lalu aku paham. Benih yang sengaja kusimpan dalam gersang, kini hujan telah menyiramnya. Terlanjur. Satu sulur mulai timbul, lembar pertama telah terbuka. Hujan menyadarkanku bahwa kau adalah lakon dari bagian kisahku.
Hujan berhenti. Aku menulis, merekammu sebagai memori-memori tak ternilai. Merekam satu-dua kalimat manis darimu yang terus kubaca meski aku tahu tak pernah satu kata pun yang kau rangkai adalah suatu kebenaran. Tapi, hei, kebohongan itu telah menjadi fakta dalam kehidupanku meski mustahil menjadi realita.
Satu tahun… Ya, kurun waktu itu hujan kadang-kadang bertamu. Tapi bukuku belum tertutup. Aku masih sibuk menarikan pena, menjadikanmu semakin berperan dalam kisah itu. Menuliskan semua laku manismu sebagai injeksi euforia dalam darah yang mengalir. Kau telah menjadi bagian yang sangat penting, kadang mengarahkan alur tanpa kusadari.
Kembali hujan menyapa. Satu tahun setelah rintik yang menyiram benih. Kali ini hujan datang untuk mematikan akarnya, membuatnya tenggelam lalu mati. Riuh suaranya menarikku dari fantasi.
365 hari hidup dalam kebohongan yang selalu aku ketahui. Sejak awal, sejak sebelum hujan membuka lembaran pertama, kita memulainya dengan keterusterangan tentang dusta. Kita memulainya ketika kekosongan sama-sama saling mengisi, ketika goyah dan butuh pegangan.
Tapi tiap detik adalah delusi yang semakin jelas sebagai fakta. Terasa begitu nyata. Aku jatuh pada fantasi, semakin jauh dari realita.
Kala itu hujan. Dering ponsel yang khas mengantarkan untaian kata yang kau rangkai. Kali ini bukan untuk menginjeksikan euforia pada darah yang mengalir. Tapi sebagai ribuan jarum yang menyumbat pembuluh darah. Sirkulasiku terhambat. Sarafku seakan mati membiarkan udara sulit bertukar. Terenyuh, satu bagian di belakang tulang dada terasa nyeri dengan ketukan-ketukan yang anarkis. Kau… bangunkan aku dari dimensi ilusi.
Kala itu hujan. Rintik-rintik semakin merapat. Hampir tak ada celah untuk udara oleh molekul-molekul air. Tak ada celah untuk biru oleh kelabunya awan. Sama seperti aku yang terus mencari pintu masuk, tak ada celah di antara kebohonganmu.
Seandainya memang kau ingin menghentikan semua dimensi ilusi di antara kita, aku bangunkan realita. Pada lembar terakhir, kutuliskan selamat tinggal dengan tinta putih. Cerita fantasiku telah berakhir. Meski ketukan-ketukan anarkis masih belum tenang, kututup buku bersamaan dengan rinai-rinai yang hampir berhenti.
-o0o-

0 komentar: