Selasa, 08 Juli 2014

Harapan di Persimpangan


Ada yang mengatakan, setialah pada harapanmu. Tapi sampai kapan kita harus setia pada harapan? Sampai mati kah? Sampai harapan itu nyata kah? Tapi seandainya harapan yang selama ini ditunggu sesungguhnya tak pernah ada, sampai kapan kita harus setia, sedang kita tak tahu apa harapan itu sungguh ada atau sebatas fantasi belaka?

Ia tahu tentangmu dulu hanya sebatas wajah. Lalu nama dan pada akhirnya setelah satu dan hal lain sebagainya yang telah terjadi, ia mulai mengenalmu, saling bertegur sapa lewat jejaring sosial, hanya sebatas itu. Waktu terus bergulir kemudian mempertemukan kalian. Pada satu dua kali pertemuan itu, ada harapan yang tertanam di hatinya. Ada pintu yang sedikit mulai sedikit terbuka untuk cahaya masuk. Ada ruangan untuk menampung sikap dan kata-kata manismu padanya.

Ia terus menunggu, tapi kau tak kunjung datang. Yang bertandang hanya kata-kata manis darimu. Tapi apa yang ia harapkan tak pernah datang. Hingga akhirnya kau mengambil jalur yang berbeda, meruntuhkan apa yang telah ia bangun. Telah layu dan sekarat apa yang telah tumbuh di hatinya, menjadi parasit yang menimbulkan rasa sakit setiap ia mengingat kenangan yang terpatri di otaknya.

Ratusan hari dan ribuan jam telah mengalir. Rasa sakit itu masih ada tapi sedikit demi sedikit mulai mengabur. Entah ia telah terbiasa atau lelah sehingga ia lupa. Ketika ia pikir ia telah bangkit dan pergi dari persimpangan, kau kembali datang dengan sikap dan kata-kata manismu. Pendiriannya rapuh sehingga sekali lagi ia diam di persimpangan. Sekali lagi percaya pada harapan yang dulu pernah sekarat. Kembali tumbuh, terus berkembang. Harapan itu sudah semakin menjadi-jadi. Ketika ia menunggu pengharapannya menjadi nyata, kau kembali meninggalkannya, membiarkan yang telah tumbuh tak sempat memekarkan kembangnya. Sekarat sekali lagi, menimbulkan rasa sakit itu kepermukaan.

Dua-tiga kali kau datang dan pergi. Seharusnya ia tahu bahwa setia pada harapan yang kau bawa adalah tindakan sia-sia. Sesungguhnya ia tahu. Tapi perasaan itu selayaknya pohon yang mengakar pada tanah lebih dari ratusan tahun. Meski telah mati, meski telah ditebang, masih ada akar yang menancap di sana berusaha untuk tumbuh kembali meski tanah tempat ia berdiri mulai gersang. Padahal ia tahu seharusnya kau hanya menjadi bagian dari masa lalu yang hanya untuk dikenang. Tapi kenangan itu terus saja terseret pada waktu yang mengalir saat ini seakan-akan melawan arus.

Setialah pada harapanmu. Sampai kapan? Melebihi hitungan jari, ia terus bangkit dan jatuh karena percaya. Melebihi hitungan jari ia terkhianati karena setia. Sampai kapan ia harus setia seandainya harapan yang ia genggam sebenarnya tak pernah ada? Sekarang ia muak. Perih itu telah mencapai batasnya. Ada bagian dari dirinya masih percaya pada harapan yang kau berikan. Tapi kali ini ia berusaha kokoh pada pendirian yang mencoba untuk berhenti menggantungkan diri pada pengharapan yang tak pernah ada. Meski kadang perih itu membawa rindu, meski kadang kenangan itu menumbuhkan kembali tunas yang ia kubur, ia mencoba untuk percaya pada logika. Karena kata-kata manismu adalah omong kosong dan sikapmu adalah basa-basi, sesungguhnya ia mengerti bahwa pengharapan yang ia coba percayai dan setia tak pernah ada. Kali ini ia mencoba untuk melangkah lagi meninggalkan fantasinya meski kadang kenangan-kenangan dan perasaan manis-pahit itu mencoba menyandungnya dan menyeretnya kembali.

0 komentar:

Rabu, 19 Maret 2014

Nebula Andromeda

Karena kamu terus berputar pada poros yang sama dan aku diam di satu titik dimana kita akan terus bersinggungan, waktu tak akan bisa mencair.
Padahal kamu tahu bahwa poros yang kamu kelilingi telah mati, sedangkan aku tahu menunggumu di titik kita saling bersinggungan tidak ada artinya.
Kita hanya saling menyakiti diri, berusaha menggantung pada ekspektasi-ekspektasi yang tak nyata.
Harus ada langkah yang diambil.
Entah itu dirimu yang beranjak dari pusaranmu atau aku yang harus bergerak dari titik itu,
mempertemukan kita, membuat kita bersilangan, atau bahkan tak menyatu sama sekali.  

Waktu tak mencair, tapi detiknya terus berbunyi.
Sedikit demi sedikit mencabuti sulur yang telah kupupuk untukmu.
Seharusnya aku bisa melangkah.
Tapi akarnya masih kukuh tertancap di sela-sela jantung.
Harusnya sudah terenyahkan apa yang pernah kurasakan untukmu.
Padahal kisah antara aku dan kamu, cerita tentang dia dan kau, sudah lama tidak terjamah, telah menjadi samar kabut di ingatanku.
Tapi selayaknya serpihan kaca yang pecah, seperti bayang-bayang yang tertinggal, ada yang masih terselip, meraungkan kerinduan.
Seperti setitik nila pada susu, ketika kita kembali bersinggungan, seakan-akan kamu menekan serpihan kaca, perasaan itu kembali meledak.
Selayaknya cahaya yang menguatkan gelap, bayangan itu semakin membesar, membungkusku dalam kehangatan yang lirih.
Pada akhirnya kakiku tetap memaku diri di titik fatamorgana yang kita ciptakan.  

Aku lelah untuk tetap berdiri di tempat.
Aku lelah berusaha untuk melangkah.
Aku lelah terus berpikir menjauh dari tempat kamu berputar pada poros itu.
Di sana, padahal ada poros yang menarikku untuk mengitarinya.
Tapi pada akhirnya gravitasi yang kamu timbulkan terus saja menarikku untuk tetap diam di tempat, tidak menarikku padamu, tapi tidak juga menjauhkanku.
Aku kesal, tapi pada akhirnya aku pasrah.
Kubiarkan kita terus tenggelam pada harapan-harapan yang melayang semu.
Kubiarkan kau terus sekarat, dan kamu terus membiarkan aku membenamkan diri dalam luka-luka yang kamu ciptakan, selayaknya masokis yang menikmati setiap rasa perih.
Hingga waktu akan mencair tanpa harus kamu berhenti berevolusi, tanpa aku yang harus enyah dari titik singgung.
Hingga saat kita saling bersinggungan tidak lagi menginduksi akar-akar kembali tumbuh, ketika kamu telah menemukan bintang porosmu dan aku mampu menemukan pusat kehidupanku.

0 komentar:

Kamis, 27 Februari 2014

A Little secret of A promise


A Little Secret of A Promise
Firdausi R.

Udara panas kota Jakarta menyambut kedatangan Selena semenjak langkahnya mengantar ke luar bandara. Hawa panas itu memang tidak jauh berbeda dari Osaka, tempat ia tinggal selama ini, hanya saja saat ini sedang musim dingin di sana. Keramaian dan kesibukan orang-orang mewarnai kota, memang tak jauh berbeda dengan Osaka, tapi di sini suara mesin bermotor lebih sering terdengar daripada di lingkungan tempat ia tinggal di barat Negara Jepang tersebut.
Tidak ada waktu untuk Selena mengalami shock culture. Ia memandangi jam tangan yang terpasang di lengan kirinya, kemudian dengan bergegas menarik koper biru miliknya menuju taksi argo yang berada paling dekat dari tempat ia berdiri, meminta supir taksi mengantarnya ke cafe yang tertulis di layar ponselnya. Entah dimana itu, Selena juga tak tahu.
*****

Read More

0 komentar: