Selasa, 08 Juli 2014

Harapan di Persimpangan


Ada yang mengatakan, setialah pada harapanmu. Tapi sampai kapan kita harus setia pada harapan? Sampai mati kah? Sampai harapan itu nyata kah? Tapi seandainya harapan yang selama ini ditunggu sesungguhnya tak pernah ada, sampai kapan kita harus setia, sedang kita tak tahu apa harapan itu sungguh ada atau sebatas fantasi belaka?

Ia tahu tentangmu dulu hanya sebatas wajah. Lalu nama dan pada akhirnya setelah satu dan hal lain sebagainya yang telah terjadi, ia mulai mengenalmu, saling bertegur sapa lewat jejaring sosial, hanya sebatas itu. Waktu terus bergulir kemudian mempertemukan kalian. Pada satu dua kali pertemuan itu, ada harapan yang tertanam di hatinya. Ada pintu yang sedikit mulai sedikit terbuka untuk cahaya masuk. Ada ruangan untuk menampung sikap dan kata-kata manismu padanya.

Ia terus menunggu, tapi kau tak kunjung datang. Yang bertandang hanya kata-kata manis darimu. Tapi apa yang ia harapkan tak pernah datang. Hingga akhirnya kau mengambil jalur yang berbeda, meruntuhkan apa yang telah ia bangun. Telah layu dan sekarat apa yang telah tumbuh di hatinya, menjadi parasit yang menimbulkan rasa sakit setiap ia mengingat kenangan yang terpatri di otaknya.

Ratusan hari dan ribuan jam telah mengalir. Rasa sakit itu masih ada tapi sedikit demi sedikit mulai mengabur. Entah ia telah terbiasa atau lelah sehingga ia lupa. Ketika ia pikir ia telah bangkit dan pergi dari persimpangan, kau kembali datang dengan sikap dan kata-kata manismu. Pendiriannya rapuh sehingga sekali lagi ia diam di persimpangan. Sekali lagi percaya pada harapan yang dulu pernah sekarat. Kembali tumbuh, terus berkembang. Harapan itu sudah semakin menjadi-jadi. Ketika ia menunggu pengharapannya menjadi nyata, kau kembali meninggalkannya, membiarkan yang telah tumbuh tak sempat memekarkan kembangnya. Sekarat sekali lagi, menimbulkan rasa sakit itu kepermukaan.

Dua-tiga kali kau datang dan pergi. Seharusnya ia tahu bahwa setia pada harapan yang kau bawa adalah tindakan sia-sia. Sesungguhnya ia tahu. Tapi perasaan itu selayaknya pohon yang mengakar pada tanah lebih dari ratusan tahun. Meski telah mati, meski telah ditebang, masih ada akar yang menancap di sana berusaha untuk tumbuh kembali meski tanah tempat ia berdiri mulai gersang. Padahal ia tahu seharusnya kau hanya menjadi bagian dari masa lalu yang hanya untuk dikenang. Tapi kenangan itu terus saja terseret pada waktu yang mengalir saat ini seakan-akan melawan arus.

Setialah pada harapanmu. Sampai kapan? Melebihi hitungan jari, ia terus bangkit dan jatuh karena percaya. Melebihi hitungan jari ia terkhianati karena setia. Sampai kapan ia harus setia seandainya harapan yang ia genggam sebenarnya tak pernah ada? Sekarang ia muak. Perih itu telah mencapai batasnya. Ada bagian dari dirinya masih percaya pada harapan yang kau berikan. Tapi kali ini ia berusaha kokoh pada pendirian yang mencoba untuk berhenti menggantungkan diri pada pengharapan yang tak pernah ada. Meski kadang perih itu membawa rindu, meski kadang kenangan itu menumbuhkan kembali tunas yang ia kubur, ia mencoba untuk percaya pada logika. Karena kata-kata manismu adalah omong kosong dan sikapmu adalah basa-basi, sesungguhnya ia mengerti bahwa pengharapan yang ia coba percayai dan setia tak pernah ada. Kali ini ia mencoba untuk melangkah lagi meninggalkan fantasinya meski kadang kenangan-kenangan dan perasaan manis-pahit itu mencoba menyandungnya dan menyeretnya kembali.
Read More

Rabu, 19 Maret 2014

Nebula Andromeda

Karena kamu terus berputar pada poros yang sama dan aku diam di satu titik dimana kita akan terus bersinggungan, waktu tak akan bisa mencair.
Padahal kamu tahu bahwa poros yang kamu kelilingi telah mati, sedangkan aku tahu menunggumu di titik kita saling bersinggungan tidak ada artinya.
Kita hanya saling menyakiti diri, berusaha menggantung pada ekspektasi-ekspektasi yang tak nyata.
Harus ada langkah yang diambil.
Entah itu dirimu yang beranjak dari pusaranmu atau aku yang harus bergerak dari titik itu,
mempertemukan kita, membuat kita bersilangan, atau bahkan tak menyatu sama sekali.  

Waktu tak mencair, tapi detiknya terus berbunyi.
Sedikit demi sedikit mencabuti sulur yang telah kupupuk untukmu.
Seharusnya aku bisa melangkah.
Tapi akarnya masih kukuh tertancap di sela-sela jantung.
Harusnya sudah terenyahkan apa yang pernah kurasakan untukmu.
Padahal kisah antara aku dan kamu, cerita tentang dia dan kau, sudah lama tidak terjamah, telah menjadi samar kabut di ingatanku.
Tapi selayaknya serpihan kaca yang pecah, seperti bayang-bayang yang tertinggal, ada yang masih terselip, meraungkan kerinduan.
Seperti setitik nila pada susu, ketika kita kembali bersinggungan, seakan-akan kamu menekan serpihan kaca, perasaan itu kembali meledak.
Selayaknya cahaya yang menguatkan gelap, bayangan itu semakin membesar, membungkusku dalam kehangatan yang lirih.
Pada akhirnya kakiku tetap memaku diri di titik fatamorgana yang kita ciptakan.  

Aku lelah untuk tetap berdiri di tempat.
Aku lelah berusaha untuk melangkah.
Aku lelah terus berpikir menjauh dari tempat kamu berputar pada poros itu.
Di sana, padahal ada poros yang menarikku untuk mengitarinya.
Tapi pada akhirnya gravitasi yang kamu timbulkan terus saja menarikku untuk tetap diam di tempat, tidak menarikku padamu, tapi tidak juga menjauhkanku.
Aku kesal, tapi pada akhirnya aku pasrah.
Kubiarkan kita terus tenggelam pada harapan-harapan yang melayang semu.
Kubiarkan kau terus sekarat, dan kamu terus membiarkan aku membenamkan diri dalam luka-luka yang kamu ciptakan, selayaknya masokis yang menikmati setiap rasa perih.
Hingga waktu akan mencair tanpa harus kamu berhenti berevolusi, tanpa aku yang harus enyah dari titik singgung.
Hingga saat kita saling bersinggungan tidak lagi menginduksi akar-akar kembali tumbuh, ketika kamu telah menemukan bintang porosmu dan aku mampu menemukan pusat kehidupanku.
Read More

Kamis, 27 Februari 2014

A Little secret of A promise


A Little Secret of A Promise
Firdausi R.

Udara panas kota Jakarta menyambut kedatangan Selena semenjak langkahnya mengantar ke luar bandara. Hawa panas itu memang tidak jauh berbeda dari Osaka, tempat ia tinggal selama ini, hanya saja saat ini sedang musim dingin di sana. Keramaian dan kesibukan orang-orang mewarnai kota, memang tak jauh berbeda dengan Osaka, tapi di sini suara mesin bermotor lebih sering terdengar daripada di lingkungan tempat ia tinggal di barat Negara Jepang tersebut.
Tidak ada waktu untuk Selena mengalami shock culture. Ia memandangi jam tangan yang terpasang di lengan kirinya, kemudian dengan bergegas menarik koper biru miliknya menuju taksi argo yang berada paling dekat dari tempat ia berdiri, meminta supir taksi mengantarnya ke cafe yang tertulis di layar ponselnya. Entah dimana itu, Selena juga tak tahu.
*****

Read More

Minggu, 22 September 2013

Jejak Sunyi Suara Hati



Jejak Sunyi Suara Hati
oleh Firdausi R.
.
.



Pada waktu yang berlalu satu tahun ke belakang, sekali pun tak pernah si gadis, Lea, menujukan irisnya pada laki-laki itu. Yah, mungkin untuk melihatnya sekilas atau sambil lalu memang pernah. Tapi secara sembunyi-sembunyi dan menyiratkan maksud tertentu, tidak sekali pun ia pernah punya niat begitu. Kemudian waktu berlalu. Pujaan-pujaan gadis terhadap pria itu selalu melayang masuk ke telinganya. Membuat syaraf motoriknya tergoda untuk mengarahkan bola matanya, menganalisis. Sekali… dua kali… Lalu tanpa sadar sosok laki-laki itu mulai menjadi hal yang adiktif bagi matanya, menggambarkan tiap detil sosok itu yang terus membayang-bayangi otaknya.
Grey, nama pria itu. Pengejaannya sama seperti warna abu. Cukup cocok dengan rambutnya yang berwarna keperakan. Setidaknya begitu yang ia pikirkan. Grey cukup dipuja oleh para gadis sekampus terutama teman-teman satu angkatannya. Wajar saja. Setelah setahun ia mengamati Grey, ia baru menyadari daya tarik laki-laki itu. Kulitnya putih bersih. Tulang rahangnya tak begitu terbentuk di wajahnya tapi cukup mengesankan bahwa memang ia adalah laki-laki. Dagunya agak panjang. Bibirnya tipis agak ranum dan sering terkatup, ia memang jarang bicara. Rambutnya keperakan. Ada sedikit poni menjuntai di atas keningnya menampakan dengan jelas mata yang agak sipit. Mungkin ia ada seperempat keturunan etnis China.
Grey bukan tipe cowok yang gagah. Grey juga bukan tipe laki-laki yang suka tebar pesona. Grey adalah laki-laki pendiam dan agak malu-malu. Karenanya, ia sekali pun tidak pernah tertarik pada Grey dulunya, karena bagi gadis itu sulit menghadapi orang dengan tipikal yang sama dengan dirinya. Dan selama waktu berjalan lebih dari satu tahun, mungkin ia bisa menghitung dengan jari tangannya seberapa sering ia bicara dengan Grey. Untuk bicara basa-basi, bahkan jari pun tak bisa menghitungnya sebab hal itu sama sekali tidak pernah terjadi.
Sekali lagi hari ini, hanya dengan suara berdehem Grey, matanya mencuri-curi kesempatan untuk memuaskan hasratnya akan sosok itu. Setiap kali sosok itu tertangkap di lensanya, seakan ada drainase yang bocor dan tekanan dari otot jantung yang over kontraksi, pusarannya memusat di kedua pipinya, mengakukan seluruh tubuhnya. Ia tetap pada tempatnya. Menatap laki-laki itu dalam waktu yang dicurinya, menikmati setiap adrenalin yang menjadi euforia hasrat hatinya.
-o0o-
Namanya Lea Raicheal Collins. Lahir musim semi, bulan Mei tanggal tujuh. Dari lahir sampai detik ini tak sekali pun ia pindah meninggalkan kota ini. Kesukaannya kopi, senang dengan musik beraliran alternative, hobi membaca buku terutama novel fantasi, fanatik terhadap hal-hal yang berbau jepang maupun benda-benda berwarna gelap. Setidaknya begitulah yang Grey tahu tentang gadis pujaannya.
Sejak kapan ia mulai jatuh cinta pada gadis itu, tepatnya ia tidak tahu. Tapi mungkin sudah cukup lama sampai-sampai ia mulai terbiasa dengan keadaan jantung yang tak mau berhenti berdetak kencang setiap gadis itu tertangkap oleh iris matanya.
Awalnya ia tak menaruh perhatian pada Lea, sama sekali tidak. Tapi ketidakanggunannya menjadi keunikan yang sering dibicarakan para kaum lelaki teman-temannya. Bukan karena mereka tertarik, tentu saja. Tapi hanya karena gadis itu unik, hanya seperti itu. Cuap-cuapan itu seperti doktrin bagi otaknya. Telinganya merekam, matanya melukis khayal di antara sela-sela otak. Sosok Lea menjadi cukup nyata membayangi dirinya.
Lea cantik menurutnya. Meski ketidakanggunan dan ketertutupan dirinya menyembunyikan hal itu. Wajahnya ovale, meski agak bulat di daerah pipi ketika ia tersenyum. Sebut saja tembem atau apalah. Bola matanya hijau kristal, terlihat tegas meski kadang terlihat begitu mengantuk. Hidungnya yang tidak begitu mancung tapi lancip menambah ketegasan yang cantik di parasnya. Bibirnya sering terlihat datar sebab ia memang sering terlihat begitu bosan. Tapi warna kemerahan yang terpoles di sana membuat Grey ingin sekali menyentuh bibir itu, mengecupnya.
Lea tidak anggun. Ya, memang. Grey sendiri setuju dengan pendapat yang dilontarkan semua teman laki-lakinya yang pernah berkomentar tentang gadis itu. Tak pernah sekali pun gadis itu mengenakan rok atau mini-skirt. Selalu denim maupun celana jeans panjang yang memperlihatkan lekuk kakinya yang jenjang yang ia kenakan. Celana itu selalu dipadukan dengan sepatu yang cocok – kebanyakan wedges boots hitam setinggi mata kaki. Atasannnya sering kaos tanpa lengan yang tidak longgar juga tidak ketat dilapisi kemeja tanpa di kancing, kemudian dibalut lagi dengan blazer berlengan sampai siku. Kadang juga kemeja yang ditumpuk lagi dengan coat yang hampir sepanjang lutut. Grey akui ia sangat menyukai style gadis itu. Lea tidak anggun, mungkin. Tapi kadang Grey melihatnya sebagai wanita feminin dengan caranya sendiri dan anggun dalam keunikannya.
Gadis itu cukup pendiam, tipikal yang sama dengan dirinya sendiri. Lea juga bisa dibilang kutu buku. Tapi ia bukan seseorang yang dikucilkan seperti kebanyakan kutu buku lainnya. Malahan ia cukup banyak punya teman meski jarang bicara di antara kelompoknya. Mungkin karena gaya pakaiannya yang tidak ketinggalan jaman. Mungkin karena ketidakanggunannya yang membuat ia terlihat lebih kuat keberadaannya. Mungkin karena ketegasan yang kadang begitu tersurat dari garis wajahnya yang lebih sering tampak malu-malu canggung dan kadang bosan. Dan itu yang mungkin membuat Grey takhluk diam-diam padanya.
Lea tipikal yang sama dengannya, tapi mungkin lebih fleksibel. Sebab meski pada awalnya canggung, gadis itu mampu berbaur dengan lawan jenisnya. Bercanda, tersenyum, tertawa, bahkan saling mengejek. Sial bagi Grey, sekali pun tak pernah Lea tertawa seperti itu padanya. Sekali pun tak pernah suara yang terdengar agak serak itu bercanda bebas dengannya. Kadang Grey mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa dengan lancar bicara pada anak perempuan. Apalagi dengan Lea. Kegugupan yang menjalari seluruh tubuhnya membuat suaranya menyangkut di tenggorakan. Bahkan otot mulutnya pun begitu kaku untuk tersenyum ketika mereka tanpa sengaja saling bertatapan.
Grey mengambil tempat duduk di baris kedua dari belakang, tempat ia biasanya duduk. Satu deretan dengan Lea tentu saja, meski jarak mereka dipisahkan hampir sepuluh kursi di antaranya, tapi dari situ Grey bisa dengan sembunyi-sembunyi menatap gadis itu. Jika suatu saat mereka saling bertukar pandang secara kebetulan, ketika itu Grey tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menyapanya dengan senyum. Sayang Lea hanya menunduk sambil menopang dagu dengan bosan dan setengah wajahnya tertutup rambut coklatnya yang tergerai setiap kali matanya berusaha menangkap sosok gadis itu. Kecewa mungkin sedikit terbersit, tapi kepuasan mata dan hatinya cukup terpenuhi hanya dengan memerhatikan gadis itu selama dua jam ceramah kuliah yang membosankan.
-o0o-
Mungkin Tuhan juga gemas dengan mereka. Kesempatan kecil yang Ia berikan selalu disia-siakan oleh kedua makhluk itu. Hingga pada akhirnya kesempatan besar mungkin yang diberikan-Nya hari ini.
Grey mungkin tadi kesal dan menyumpah dalam hati sebab teman-temannya membuatnya menunggu seorang diri. Mereka bilang janji akan menemuinya secepatnya setelah urusan mereka di klub selesai dan urusan itu, mereka bersumpah tak akan lama. Tapi pada kenyataannya Grey menunggu setengah jam di samping lapangan rugby, tempat pertemuan klub temannya, dan urusan itu sama sekali belum selesai. Grey terus menyumpah dalam hati selama perjalanannya di koridor kampus setelah bosan menunggu berdiri di samping lapangan rugby. Kalau saja ia tidak menemukan sosok Lea di depannya, mungkin sumpah serapah itu takkan berhenti.
Agak terkejut, jantungnya tiba-tiba over kontraksi, mendentum berlebihan pada dinding dada. Gadis itu sedang duduk di bangku panjang di bawah pohon akasia yang rindang, tak jauh dari tempat ia berdiri. Tangannya terlipat di bawah dada. Kakinya menyilang dan tak mau diam. Beberapa kali ia menguap, sepertinya kelihatan bosan sekali. Menurut dugaannya, Lea pasti sedang menunggu seseorang.
Lea berdecak kesal. Menunggu adalah hal paling membosankan yang paling ia benci. Makanya ia lebih senang mengendarai mobil sendiri atau jalan kaki. Tapi perihal kecelakaan kecil yang ia alami seminggu lalu membuatnya tak dipercaya lagi untuk mengendarai mobil sendiri. Dan jalan kaki bukan pilihan yang diajukan oleh kedua orang tuanya. Mau tidak mau ia harus patuh diantar-jemput saat kuliah.
Ketika menguap untuk entah yang ke berapa kalinya, ia melayangkan matanya ke arah lain, kalau-kalau menemui sosok Grey yang menjadi candu itu. Dan benar saja, di sisi kiri, Grey sedang berdiri diam tak jauh dari sana. Pandangan mereka saling bertemu dan karena terkejut, secepatnya Lea menundukkan wajahnya.
Sial, gerutu Lea berkali-kali dalam hatinya. Apa Grey sejak tadi sudah ada di situ? Apa ia melihat Lea yang menguap lebar berkali-kali tanpa menutup mulut? Apa ia terlihat terlalu duduk gagah di mata Grey? Apa ia saat ini terlihat cantik? Apa rambutnya tidak berantakan? Apa bedak tipisnya luntur dan bibirnya terlihat seperti orang mati karena polesannya sudah terhapus? Otaknya cukup kacau memikirkan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu.
Mereka sempat bertemu pandang tadi. Grey memang sempat kaget. Saat ia baru saja ingin memberi senyum terbaiknya, gadis itu menunduk, membiarkan poni tanggungnya menutupi matanya dan rambut coklatnya menjuntai menutupi setengah wajahnya. Grey cukup merasa shock dengan reaksinya. Mungkinkah gadis itu pada dasarnya membencinya hingga tak pernah sekali pun ia bicara basa-basi padanya? Memikirkan satu pertanyaan itu saja, cukup membuat perasaannya kacau.
Grey diam di tempatnya, masih berpikir. Ia menatap ke sekeliling, di sekitar sana hanya ada mereka berdua, setidaknya yang saling mengenal. Kemudian ia menatap langit yang menampakkan awan putih agak kelabu melapisi biru langit tanpa matahari.
Kau memberikanku kesempatan sekali lagi. Kurasa kali ini sebaiknya kugunakan dengan sungguh-sungguh, ia bicara pada Tuhan dalam hati. Ia duduk di samping Lea.
Ada udara yang membatasi mereka. Lea mengambil ponselnya memasangkan ujung kabel headset-nya pada teknologi tersebut. Ia terlalu canggung, kaku, dan malu. Seharusnya itu kesempatan yang baik untuk bisa lebih saling mengenal dengan Grey. Tapi jantungnya sulit diajak kompromi. Jantungnya terus berdentum keras tanpa henti. Satu-satunya yang bisa membuatnya tenang walau sedikit adalah musik. Jadi ia memasangkan headset ke telinganya, meski hanya di telinga kanannya. Telinga kirinya ia biarkan bebas untuk mengamati suara dari gerak-gerik laki-laki di sebelahnya.
Grey agak shock melihat reaksi Lea yang langsung menggunakan headset-nya setelah menyadari kehadirannya. Apa gadis itu memang membenci dirinya? Apa Lea tidak mau bicara dengannya? Grey ingin memastikan dengan menelisik wajahnya, tapi sayang wajah cantik itu agak tertutupi oleh rambutnya sebab Lea agak menunduk. Grey menghela napas kemudian merogoh tasnya untuk mengambil novel yang sedang dalam proses penamatan untuk dibaca. Ia berharap Lea melihat itu dan dapat menarik perhatiannya. Setidaknya novel yang ia baca adalah novel fantasi.
Orang jatuh cinta memang sering aneh. Lea sulit bernapas. Bukan karena ia lupa bagaimana cara bernapas. Hanya saja ia takut kalau-kalau suara napasnya terdengar. Ia takut kalau-kalau suara napasnya aneh dan membuat Grey merasa semakin tidak ingin bicara dengannya. Ia takut kalau-kalau suara jantungnya yang tak sanggup dibendung itu terdengar seperti seorang maniak yang terlalu bergairah.
Di balik rambutnya, ia melirik Grey. Celah antara helai-helainya menampakan Grey sedang serius menenggelami buku yang ia baca. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Matanya yang kecil seakan melekat pada lembar halaman yang ia baca. Manis sekali menurut Lea. Lea berniat untuk menikmati pemandangan itu sampai waktu akan memisahkan mereka hari ini. Hingga pada akhirnya ia sadar apa yang sedang dibaca oleh Grey.
"Serpent's Shadow!" Lea berseru dengan suara pelan.
Meski suaranya pelan, Grey bisa mendengar jelas sekali seruan itu. Anggap saja kekuatan cinta. Grey tersenyum, sebisanya ia mengulum senyum itu agar tidak terlihat terlalu senang. Siasatnya untuk menarik perhatian Lea berhasil.
"Ma-maaf. Lanjutkan saja membacamu," Lea membuang muka. Ia menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan rasa malunya. Ia menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan wajahnya yang panas yang terpesona oleh senyum simpul yang diberikan Grey.
"Nggak apa-apa. Aku nggak merasa terganggu. Cuman kaget saja mendengarmu tiba-tiba berseru," Grey berucap. Di dalam hatinya ia menenangkan dirinya sendiri agar tidak terdengar gugup. Yah, ia berharap suaranya tidak terdengar menyedihkan.
Sempat keheningan kembali mengambil alih. Bahkan musik yang masuk ke telinga Lea tak terdengar lagi. Ia gugup. Ia bingung harus bicara lagi. Secanggung-canggungnya ia terhadap laki-laki, tidak pernah ia kehilangan kata-kata seperti ini.
"Suka baca karya Riordan juga, ya?" pada akhirnya Lea mulai kembali bicara.
"Uhm.. Novelis jenius kurasa. Aku suka gaya tulisannya. Ceritanya juga menakjubkan. Nggak kalah sama Harry Potter," Grey sebisanya bicara banyak agar percakapan itu tak terputus.
"Aku sama sekali belum pernah membaca Harry Potter atau pun menonton film-nya."
Pernyataan Lea yang terdengar jujur dan polos itu membuat Grey tak mampu menahan tawanya. Manis sekali gadis itu dalam pikirannya. Dan Lea amat sangat terpesona oleh wajah yang saat ini menampakan bibir yang terkembang, memperdengarkan suara tawa yang renyah.
"Ah maaf. Aku nggak bermaksud menertawakanmu. Cuma untuk gadis yang suka membaca novel fantasi sepertimu tidak pernah tahu cerita Harry Potter, hal itu cukup mengejutkanku—"
Grey segera menutup mulutnya. Ia merasa sudah terlalu banyak bicara. Ia takut Lea akan menganggapnya aneh sebab tahu hobi gadis itu padahal mereka bicara saja bisa dibilang tidak pernah sama sekali kecuali hari ini. Ia tidak bisa menerka isi hati Lea, sebab gadis itu lagi-lagi menunduk, merapatkan tangannya yang terlipat di bawah dada.
Lea menunduk karena sudah pasti wajahnya saat ini amat sangat merona. Jantungnya saja lebih cepat berdetak melebihi sebelum-sebelumnya. Ia tidak tahu bahwa senyum lebar Grey amat sangat memesona. Suaranya yang renyah seakan-akan menghipnotisnya, memperdayanya agar semakin tertarik padanya. Dan terlebih lagi, Grey tahu hobinya. Entah darimana pria itu tahu, yang pasti itu menjadi sebuah kehormatan bagi Lea.
"Mau bagaimana lagi. Dulu aku benci baca novel tebal. Aku juga nggak suka nonton film. Lagian Harry Potter kan ada sejak jaman SD dulu," Lea kembali bicara. Suaranya yang hampir pecah itu jelas sekali menunjukan bahwa ia sedang malu. Bahkan Grey saja bisa mengerti hal itu.
"Nggak mau coba baca sekarang?"
"Nggak. Meski aku suka membaca, kadang aku juga malas membaca novel setebal itu. Lagian kesannya jadi ketinggalan jaman. Jadi... Yah, aku nggak tertarik sama Harry Potter."
"Kalau ini?"
"Iya, aku suka. Aku suka karya Riordan yang lain. Percy Jackson, kan? Aku tahu sebelum serialnya dijadikan film. Saat film-nya keluar, tahu-tahu banyak yang membahasnya. Rasanya agak kesal juga."
"Rasanya kayak ada yang merebut pacarmu, kan? Kayak rahasiamu tiba-tiba terbongkar," Grey berceletuk. Ia merasakan hal yang sama. Bukan dalam hal buku, tentu saja. Kasusnya lain. Ia merasa seperti itu kalau ada orang lain yang memandang Lea dalam sudut pandang yang sama dengannya.
Baru sekali itu Lea melihat Grey menatap lurus dirinya. Matanya abu-abu perak. Indah sekali, membuatnya entah untuk berapa puluh kalinya terpesona pada laki-laki itu hari ini.
"Kau benar," lagi-lagi Lea memalingkan wajahnya. "Ngomong-ngomong, Serpent's Shadow kapan keluar?"
"Minggu lalu aku ke toko buku, ini sudah ada di sana. Kau belum baca?"
"Aku nggak tahu kalau sudah terbit."
"Oh, begitu. Seru, lho. Ceritanya—"
"Stop! No spoiler, oke?" Lea segera menghentikan Grey bicara.
Meski ia bilang begitu, kelihatan sekali dari wajahnya bahwa ia amat sangat penasaran. Matanya tak bisa lepas menatap novel yang Grey pegang. Spasi antara alisnya berbuku-buku untuk menahan rasa penasarannya. Mulutnya menggerutu kecil, menyuruh dirinya sendiri untuk bersabar. Grey tak bisa menghentikan dirinya untuk memerhatikan gadis di depannya itu. Terlalu cantik, terlalu manis. Ia tidak se-cool kelihatannya. Sekali lagi ia jatuh cinta pada Lea.
Sejak tadi Lea hanya penasaran pada isi cerita novel yang sedang dipegang oleh Grey sampai-sampai matanya lekat sekali memandangi buku tebal itu. Hingga pada akhirnya matanya tak sengaja saling bertemu dengan kedua iris milik Grey. Ia akhirnya sadar laki-laki itu terus menatapinya. Rasanya malu. Jangan-jangan Grey mulai menganggapnya sebagai gadis yang aneh.
Pikiran itu segera ia singkirkan. Ia lalu kembali duduk, berusaha terlihat tetap tenang. Ia lalu melepaskan headset-nya. Tidak ada gunanya lagi menggunakan benda itu. 'Toh musik saat ini tak mampu lagi membuatnya merasa tenang.
Untuk beberapa saat tadi kecanggungan di antara mereka berdua sempat menghilang. Dan dinding tak kasat mata di antara mereka sempat melebur dengan udara. Tapi ketika keheningan kembali menyeruak di antara ruang mereka, dinding itu kembali memadat. Seakan-akan tak pernah terjadi percakapan singkat tadi. Keduanya hanya saling menunduk, menenangkan hati yang meledak-ledak. Keduanya sibuk mencari topik pembicaraan lain untuk meleburkan kembali dinding yang membatasi keduanya.
Saat angin menyapa, keduanya mencuri waktu yang sama untuk melirik satu sama lain. Mata keduahya bertemu, membuat mereka refleks kembali membuang muka. Tangan Grey berkeringat dingin, begitu juga dengan Lea. Perasaan hangat itu mulai menjadi-jadi di dalam diri mereka. Rasanya terlalu bahagia sampai-sampai ketukan-ketukan di dada membuat mereka ingin muntah, meluapkan semua perasaan yang bergejolak semakin tak terkontrol.
"Aku... Kupikir kau membenciku," Grey kembali bicara.
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Sebab kau tidak pernah mengajakku bicara."
"Kupikir kau yang nggak suka padaku. Aku hanya tidak bisa memulai pembicaraan. Bukan berarti aku membencimu."
"Sama. Aku juga nggak membencimu. Kau tahu aku bagaimana, kan?"
"Iya, aku mengerti, kok. Cuman kadang kau bisa menyapa teman-teman cewek-mu. Tapi kalau padaku, kau sama sekali nggak pernah menunjukan suaramu," Lea tertawa kecil, berharap tawa itu tidak terlihat menyedihkan. Tapi Grey dapat menangkap perasaannya.
"Nggak, bukan begitu. Aku tidak terbiasa dengan cewek. Tapi karena mereka sering dekat denganku, jadi aku bisa menyapa mereka. Kalau denganmu aku... Kan kubilang kupikir kau membenciku. Lagipula aku... Gugup," kalimat terakhirnya terdengar pelan sekali. Apalagi Grey memalingkan wajahnya sembari menutup mulutnya dengan lengan.
Tampan dan amat sangat manis reaksinya bagi Lea. Pria itu pasti salah satu karya Tuhan yang paling sempurna menurutnya. Kalimat terakhirnya itu tadi agak samar terdengar oleh Lea. Meski ia tidak yakin apa benar Grey tadi mengatakan gugup terhadapnya atau tidak, entah kenapa hal itu membuatnya senang.
"Nggak apa-apa. Ternyata ada kesalahpahaman di antara kita selama ini meski kita nggak pernah saling bicara," Lea agak tertawa geli mengetahui kenyataan itu. Hati Grey kembali berdesir melihat manisnya bibir ranum itu ketika tersenyum. Rasa-rasanya perasaannya meluap dan tak sanggup dibendung lagi.
"Anu, aku sebenarnya..."
"Grey!" panggilan yang terdengar tak jauh dari pintu gedung kampus menginterupsi mereka. Grey berdecak kesal dalam hatinya. Ia benar-benar menyumpahi teman-temannya itu. Tadi mereka membuatnya menunggu lama, kali ini datang di waktu yang tidak tepat. "Maaf, kau jadi lama menunggu kami," ia berucap bahkan tanpa merasa bersalah.
"Dasar sialan. Kalian hari ini benar-benar membuatku emosi."
"Ah, Collins. Kau sedang apa di sini?" yang berambut jingkrak bertanya pada Lea tanpa menghiraukan kekesalan Grey.
"Menunggu jemputan," jawab Lea. Tapi matanya masih tak mau lepas memandang Grey. Ia masih belum puas.
"Mau kuantar pulang saja?"
Tawaran itu membuat Lea dan Grey sama-sama terkejut. Lea agak tersanjung akan tawaran itu, tapi ia takut kalau-kalau Grey akan salah paham. Meski ia tak tahu apakah Grey peduli akan hal itu atau tidak. Sedangkan dalam hati Grey sendiri ia berdoa agar Lea menolak tawaran itu.
"Passed. Sebentar lagi jemputanku datang. Thanks tawarannya."
Diam-diam Grey merasa lega dengan tolakan itu.
"Ya, sudah. Kami pulang duluan, ya. Ayo, Grey," si rambut jingkrak tadi merangkul leher Grey, berusaha menariknya. Tapi Grey bertahan sebentar, ingin mengucapkan salam pamit pada Lea.
"Ng... Collins...," Ia agak canggung memanggil nama Lea. Jantung Lea juga hampir copot mendengar namanya tiba-tiba keluar dari mulut Grey.
"Panggil Lea saja."
"Ahh... Ng... Lea. Sampai jumpa besok," Grey mati-matian menahan rasa malunya hanya untuk mengucapkan salam itu.
"Bye...," Lea juga tak kalah mati-matian menahan rasa malunya hanya untuk mengucapkan satu kata itu.
Ketika keduanya semakin menjauh, percakapan beberapa saat tadi bagaikan mimpi bagi mereka. Saat keduanya tak dapat saling menelisik, ada desir kesepian di diri mereka. Pada hati Grey, juga pada hati Lea.
-o0o-
Hari berikutnya Tuhan kembali mempertemukan mereka. Di sebuah lorong kampus, langkah mereka saling berselisih. Ketika mata bertemu mata, euforia bergejolak memacu darah mengalir cepat. Mata mereka sempat saling menghindari. Satu langkah... Dua langkah... Kemudian ketika langkah mereka saling bersinggungan, tak ada suara yang saling menyapa. Hanya dua pasang bola mata saling berisyarat diiringi dengan senyum canggung di wajah mereka. Langkah berikutnya ketika saling bersilangan, mereka menunduk menyembunyikan rona masing-masing, menahan diri untuk tidak menari kegirangan.
Tak ada suara ketika mereka saling bersinggungan kecuali suara kegirangan yang menjerit-jerit dalam diri keduanya. Dalam langkah yang sunyi, tertinggal jejak-jejak suara hati. Ada dua sulur cinta yang semakin tumbuh di antara langkah mereka yang diam, menunggu saling bertautan, hingga mereka merekahkan kembang ketika kedua sulur saling bersatu.
-o0o-

Read More

Rabu, 07 Agustus 2013

Doodling Fantasy

Langsung aja lah ya...

Drawing pen 0.2; 0.4; 0.6
 Ini cuma coret-coretan waktu aku udah bosan maksimal dengerin kuliah.Catatannya seperenam halaman, gambarnya sepertiga halaman -_-


A4. Drawing pen 0.2; 0.4; 0.6
Done with water color pencil
 Nyoba-nyoba bikin gambar yang maknanya dalem gitu. Tapi tetep aja, it seems too simple


A5. Drawing pen 0.2; 0.3; 0.4; 0.6; 0.8. Color Pencil
Zoom In
 Ini juga sok-sokan bikin gambar yang maknanya dalem  gitu. Aku judulin "Someday Your Heart Will Be Home" :')


A4. Drawing pen0.2; 0.4. Water color pencil
 "Pandora"
Tahu, kan, sama legenda cerita ini? Manusia perempuan pertama buatan Heppaestus sendiri. Dia dikasih guci oleh Zeus yang isinya segala macam kejahatan, kesengsaraan, dan macam-macam lagi yang gak boleh dibuka. Singkat cerita,  karena rasa penasaran Pandora, dia ngebuka kotak itu. Dan menyebarlah segala kesengsaraan dan kejahatan di dunia. Yang tersisa dalam kotak itu adalah harapan. Makanya ada istilah Pandora Box. Intinya, yang dapat aku tangkap dari cerita ini, bahwa cewek itu bahaya, kayak pandora box juga. Kayak pedang bermata dua, sumber masalah tapi sumber pencerahan juga.


A4. Drawing pen 0.2; 0.4. Color pencil

add the water and background
 "Dryad"
Dryad ini bisa dibilang peri pohon.  Dia hidup di pohon itu. Kalo pohonnya mati, ya dianya juga ikut mati. Aku udah pernah bikin ilustrasinya, entah sudah kuposting atau belum. Yang ini versi revisinya.

A4 water color paper. Drawing pen 0.2;0.4;0.6. Water color pencil
 "Lilith"
Lilith ini adalah iblis wanita yang cantik yang suka menculik anak-anak. Legendanya dari Babilonia. Sering ada di game, nih, cewek. Di Anime Devil Survivor 2; dia jadi monsternya si Kujo dan namanya diplesetin jadi Lilim

A4 water color paper. Drawing pen 0.2; 0.4. Water color pencil
 "Artemis"
Yaahh... tahu lah kalau dia dewi bulan sekaligus dewi berburu. Katanya dewi abadi. Jadi pengikut-pengikutnya (maksudku ksatria-ksatrianya yang semua cewek itu)  juga gak pernah tua. Ya segitu-gitu aja umurnya. Mati, sih, bisa. Tapi kalau di pertempuran. Dulu juga aku  pernah bikin ilustrasinya, tapi kurang greget. Ini edisi revisinya.


A4. Drawing pen 0.2; 0.4. Color pencil

Ad the back ground and water
 "Jack Frost"
Aku gambar ini habis nonton Rise of The Guardian. Ih, sumpah cakep banget lah si Jack Frost ini mah. Ganteng pisan :3


A3. Drawing pen 0.1;0.2;0.4;0.6.

Water color pencil
 "Hansel And Gretel"


A3. Drawing pen 0.2; 0.4; 0.6

Done with Water color pencil
Background with Drawing pen 0.8; 1.0; 3.0
 "Yukimura Sanada"
Ini aku gambar setelah nonton Brave 10 dan bikin kecewa karakternya. Dimana-mana aku ngeliat Yukimura Sanada ini cakep dan masih muda. Di Brave 10 dia kayak om-om gak keurus gitu. Jadi ya mengobati rasa kecewa itu aku bikin gambarnya yang versi Samurai Warrior.


A3. Drawing pen 0.1;0.2;0.4

Done with water color pencil
 "Masamune Date"
Versi Sengoku Basara


A3. Drawing pen 0.2;0.4;0.6.

Done with water colour pencil
Hanzo Hattori.
Versi Kolaborasi antara Samurai Warrior dan imajinasi sendiri. Habis susah bikin kostum kepalanya Hanzo Hattori versi SW. Bajunya juga -_-"


A3. Drawing pen 0.1; 0.2; 0.4; 0.6; 0.8.

Done with water color and water color pencil
"Kaguya"
Karya paling baru saat ini. Diambil dari dongeng klasik Jepang tentang putri bulan yang lahir dari dalam bambu.

A4.Drawing pen 0.3;0.4;0.6. Color pencil
 "Peri Hutan"


Drawing pen 0.3;0.4
 Dulu waktu study tour, di bandara ada jual buku khusus doodling. Jadi sebenarnya gambaranku cuma yang di dalam figuranya doang. Ini lagi iseng waktu tahun 2012 inget akhir tahun mau kiamat. Alhamdulillah gak jadi:))


A4. pencil H, 2B,  7B
 Dark Fairy


A4. Drawing pen 0.2; 0.4; 0.6. pencil H, B.
 "Another Half"
Cuma pengen nyoba kolaborasi pensil sama drawing pen. Ya intinya aku capek bikin doodle kalo semuanya tengkorak sampai sepertiga tulang rusuk.


A4. Drawing pen 0.3; 0.4. Red pen. color pencil
 "Mad Hatter"
Alice In Wonderland itu adalah dongeng barat yang paling favorit. Entah kenapa aku bisa ngerasain something dark about the story. Dan katanya ada yang bilang bahwa pengarang Alice In Wonderland ini salah satu orang yang dicurigai sebagai Jack The Ripper. Keren nggak, tuh? wew.


A5. Drawing pen 0.2; 0.4; 0.6.  Green pen. Color pecil
 "Cheshire"
Alice udah, Mad Hatter udah, nggak lengkap kalo ngggak digambarin juga Cheshire-nya.

A4. Drawing pen 0.2; 0.3; 0.4; 0.6; 0.8
 "Mind and Feeling"
Cuma sebatas menggambarkan apa yang kupikirkan dan apa yang kurasakan.


A4. Drawing pen 0.3; 0.4; 0.6; 0.8
 "Happy  Halloween"


A4. Drawing pen 0.4
 "Thanatos"
Versi sketch ink sama photoshopnya udah kuposting. Penjelasan siapa Thanatos juga udah ada di sana

A4. pencil H, B, 2B, 7B
 "Anubis"
Pernah baca Kane Chronicles karya Rick Riordan, nggak? (Yang belum baca dan seneng sama novel-novel fantasy terutama yang fantasi mitologi wajib baca). Di sana ada karakter namanya Anubis. Anubis ini sebenarnya dewa mesir kuno anak buahnya Osiris, dewa dunia bawah. Tugasnya Anubis kalo nggak salah itu menimbang hati manusia apakah berhak diberi hukuman atau bisa reinkarnasi lagi. Sebenarnya, dewa-dewi Mesir Kuno itu digambarkan berkepala hewan dan bertubuh manusia. Anubis sendiri harusnya punya kepala anjing yang agak mirip rubah. Tapi, di novel Kane Chronicles itu, Rick Riordan, berhasil bikin karakter kesukaanku pada sosok Anubis ini. Cowok cakep, agak kurus kayak anak band, rambut hitam acak-acakan, celana hitam, baju hitam dilapisi jaket kulit, sepatu boot rock 'n roll, keliahatan dingin tapi mata coklatnya memancarkan kesejukan yang hangat. I'm falling in love with this character. Dan dia satu-satunya karakter dewa yang digambarkan Riordan sepenuhnya manusia. Terus, ya, aku pengen bikin ilustrasinya, tapi kayaknya kurang memuaskan, sih, hasilnya.

A4.  Drawing pen 0.2; 0.4. Water color pencil
 "Sidhe"
Edisi Revisi. Dulu juga pernah kuposting. Bisa dibaca di sana siapa Sidhee ini.


Read More