Minggu, 01 April 2012

Senja Ketika Gerimis Belum Berhenti


Senja Ketika Gerimis Belum Berhenti
Original Story by Firdausi

Langit masih biru dengan polesan jingga. Tapi tidak secerah biasanya sebab matahari bersembunyi dibalik awan kelabu. Suara halus rintik gerimis yang membentur atap menguasai liang telingaku. Aku duduk di bangku panjang, di bawah atap yang menaungi beranda sekolah, tempat para siswa berkumpul biasanya saat istirahat. Cukup lama aku di sini, ketika sore masih belum sesenja ini.
Yang terdengar memang hanya suara gerimis halus. Tapi di antara gerimis, ada dua tarikan nafas yang saling menyembunyikan diri dan tanpa suara. Ada dia yang duduk tepat di sampingku namun jarak beberapa sentimeter memisahkan kami.
Ya, dia. Aku mengenalnya. Begitu akrab, jauh di waktu sebelum ini. Berbincang adalah kegiatan kami setiap hari. Tapi ketika waktu tak mau berhenti, lidahku kelu, tak mampu mengucapkan satu-dua kata untuknya, untuk memecah keheningan yang mulai terasa canggung.
Mataku malu-malu untuk menatap sosok laki-laki berbadan tegap di sebelahku itu. Jadi aku mengambil sikap hanya dengan meliriknya diam-diam. Tangannya saling bertautan satu sama lain, mungkin untuk melawan udara dingin yang mulai menyelimuti. Tangan itu tak berubah. Tangan yang besar dengan jari-jari yang panjang. Dulu sela-selanya adalah milik jemariku.
“Kau... gimana kabarmu?” akhirnya keheningan pecah di tengah udara yang semakin tipis akan kehangatan.
“Nggak ada yang berubah,” sebisanya aku melawan kekakuan pada lidahku.
“Sepertinya sudah lama sekali kita nggak bicara seperti ini, ya,” ujarnya masih dengan suara bass-nya yang rendah. Pada mata yang masih menatapnya secara sembunyi-sembunyi, aku menangkap sebuah bibir yang tersenyum canggung dari wajahnya.
Suara itu. Sungguh, aku merindukannya. Senyum manisnya – meski saat ini hanya senyum canggung – tak pernah berubah. Selalu mampu meluluhkan hatiku. Suara itu... dan senyumannya. Aku ingat bagaimana pertama kali kami melewati batas yang disebut persahabatan.
Sejak semester awal  di sekolah ini,  aku dan dia sudah menjadi teman akrab. Entah bagaimana keakraban itu terjadi, tapi kami selalu  memahami satu sama lain. Tak pernah terpikirkan bahwa keakraban itu akan membawa suatu perasaan yang lain. Aku jatuh cinta di tengah canda tawa yang selalu kami tukar.
Malam minggu –aku ingat – teleponku berdering dan tertulis namanya di layar. Ketika kuangkat, suara khasnya melantunkan lagu. Aku tahu ia memang berbakat dalam bidang tarik suara. Indah. Dan semakin indah ketika kurasakan suaranya begitu dekat dengan telingaku, seakan berbisik dengan lembut, menyisir relung hatiku. Bisa kudengar ada iring-iringan musik gitar akustik untuk menemaninya bernyanyi. Aku tahu bahwa ia juga yang memainkan gitar. That’s Where You Find Love milik Westlife yang ia nyanyikan. Lagu lawas memang, tapi itu lagu favoritku.
Ia berhenti melantunkan nada bersamaan dengan gitar yang berhenti dipetik. Sunyi di ujung sana untuk sesaat. Selang detik berikutnya, ia kembali bersuara, tapi aku bisa merasakan bibirnya gemetar untuk bicara.
“Sel, Aku sayang kamu. Mau jadian denganku, nggak?”
Aku terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“Selin... Gimana? Halo? Kamu dengar aku nggak? Kalo emang jawaban kamu iya, tolong lihat keluar. Kalau nggak, langsung tutup aja teleponnya.”
Pernyataannya itu membuatku penasaran. Aku segera menengok dari jendela kamarku yang tertutup tirai putih. Di depan rumahku, ia berdiri di bawah langit yang sudah gelap dengan menggendong sebuah gitar dan ponsel di tangan lainnya yang melekat pada telinga. Aku melambaikan tangan padanya, memberikan senyum mengiyakan sambil sedikit menyembunyikan pipiku yang pasti telah berubah ranum. Hari itu, aku melihat senyum terbaiknya yang pernah ia berikan.
Ingatan itu tak pernah hilang dari memori meski telah kadaluarsa satu tahun yang lalu. Masih melekat kuat, apalagi setelah sekian lama kami tidak saling bicara, kini ia duduk di sampingku.
Gerimis masih tak berhenti dan keheningan masih tak mampu dikalahkan. Tapi biru telah bercampur dengan jingga, kini warna langit berubah violet. Sudah cukup senja rupanya. Aku masih terjebak di bawah atap beranda, terpaku pada ingatan masa lalu yang kembali hadir, menyeruak memenuhi ruang dengan batas telanjang di bawah atap yang masih beresonansi dengan gerimis.
Senandung kecil keluar dari bibirnya yang terkatup. Aku tahu betul lagu yang ia senandungkan. Lagu favoritku. That’s Where You Find Love. Aku refleks  menengok ke arahnya,  terperangah sebab aku baru saja melantunkan liriknya dalam bisikan hati. Ia balik menengok ke arahku. Ia tersenyum. Kini senyum lebar dengan deretan giginya yang rapi. Aku bisa melihat lesung pipit di sebelah pipi kirinya yang selalu mampu membuatku tak bisa lepas memandangnya.
“Lagu kesukaanmu, kan? Aku nggak pernah lupa,” ia masih mengumbar senyum lebarnya. Aku kembali membuang muka setelah sadar telah menatapnya begitu lama.
“Iya,” jawabku. Aku bisa merasakan suhu di wajahku begitu kontras dengan udara di sekitar. “Kau minggu lalu ikut festival band sekolah dan menang, kan? Selamat, ya.”
“Yah, terima kasih. Semua berkat suara indahku.”
“Nggak berubah, ya. Tetap saja raja narsis kayak dulu. Bodoh,” aku tertawa kecil, membuat kecanggungan sedikit mencair.
“Belajar darimu, kan,” ia balas tertawa.
“Yaahh... sebenarnya kemenangan itu bukan karena suaramu. Tapi yang kau nyanyikan lagu kesukaanku. Itu yang membawa keberuntungan padamu, kan.”
“Nah, kan. Nggak salah kalau kubilang narsis itu datangnya darimu.”
Kami kembali tertawa. Tapi sesaat kemudian gerimis kembali menguasai. Hening dalam senja yang semakin larut. Laki-laki di sampingku itu merapatkan ­Hoodie-nya, menutupi rambutnya yang menyembunyikan telinga dengan tudung. Tangannya memeluk erat tubuhnya sendiri untuk menjaga agar tetap hangat.
Ia kembali melirikku. Melemparkan pandangan dari atas sampai ke bawah tubuhku yang hanya dilapisi seragam tanpa selembar pun tambahan yang dapat menghangatkan tubuh.
“Nggak dingin? Ini musim penghujan dan hari ini rasanya awan mendung terus sejak tadi pagi. Kau nggak bawa jaket, ya?”
“Dingin memang. Tapi aku malas bawa jaket. Tepatnya, aku lupa dimana meletakan jaketku.”
“Aku heran, kau ini pelupa untuk barang-barangmu sendiri tapi untuk pelajaran kenapa mudah sekali ingat, sih. Bikin kesal saja,” ia tersenyum kecut sedikit jengkel dengan kelakuanku yang seperti itu. Dari dulu ia selalu begitu menanggapi keteledoranku. Ia mengulurkan tangannya. “Sini tanganmu. Paling nggak  biar tanganmu nggak kedinginan,” ujarnya.
Sesaat aku ragu. Aku menatap lekat pada tangan yang terulur itu. Lalu kusambut dengan tanganku. Jari-jarinya masuk ke sela jemariku, menggenggam erat tanganku. Aku berusaha menyembunyikan wajahku yang jelas sudah saat  ini pasti sedang memerah. Detak jantungku keras mengetuk-ngetuk tulang dada, seakan-akan berontak ingin keluar.
Aku rindu kehangatan tangannya. Genggaman tangannya kuat tapi begitu ramah. Membuatku betah berlama-lama bersentuhan dengan telapak tangan yang halus itu. Aku kembali tenggelam pada memori masa lalu, ketika pertama kali kehangatannya merambat dari tanganku.
Aku ingat saat itu ketika kami pergi berdua untuk  pertama kalinya sebagai kekasih. Aku berusaha sebisanya menjadi sosok wanita yang cantik di matanya dengan mini dress berwarna hijau tosca. Manik-manik kalung menghiasi leherku. Polesan merah muda yang melapisi  bibirku. Dan kurasa aku berhasil membuatnya jatuh cinta lagi padaku saat itu, sebab aku ingat sekali bagaimana ekspresinya saat terpaku melihatku.
Kami berjalan berdampingan. Dekat, tapi seakan-akan masih ada dinding tipis yang membatasi kami.  Sesekali tangan kami saling bersentuhan. Dengan sentuhan sedikit itu saja, seakan-akan ada yang meletup dan ingin membludak dari jantungku yang tak berhenti  berpacu cepat.
Pada akhirnya ia meraih tanganku.
“Kugandeng begini nggak apa-apa, kan?” ujarnya. Kurasa ia juga menahan rasa malunya sebab kulihat telinganya merah sekali. “Yah, kalau kau nggak mau bilang saja. Aku bukannya ingin menggandeng tanganmu, cuman kayaknya ada batas di antara kita kalau nggak kayak gini,” ia memalingkan wajahnya, sepertinya tak mampu lagi menahan rasa malu.
Aku tertawa geli sambil membalas genggaman tangannya. “Tanganmu berkeringat dingin, lho. Kau  gugup, ya.”
“Berisik...”
Aku masih tertawa kecil. Sebenarnya bukan karena lucunya tingkah dia. Meski ada unsur seperti itu, aku hanya melawan kegugupan yang juga melanda diriku. Lucu, memang. Padahal saat kami hanya sebatas teman. Bersentuhan seperti ini adalah hal yang biasa. Bahkan hampir setiap hari kami lakukan ketika pergi bersama dengan teman yang lainnya. Sebab kami saling tari-menarik menuju tempat yang menurut kami menarik.
Di sini masih hening dengan gerimis yang tak berhenti. Aku menunduk. Kali ini kerinduan itu berubah menjadi perasaan abstrak  yang membuat hatiku terasa kelu. Setiap detak jantungku bagaikan jarum yang menyiksa dirinya sendiri.
Perpisahan satu tahun yang lalu itu, bolehkah kusesali hari ini? Pikiranku menggali kembali  menemukan ingatan pahit itu. Ketika hubungan kami menjadi hambar, begitu dingin sebab kebosanan yang melanda. Kecurigaan, rasa cemburu yang meledak menyebabkan pertengkaran mulut  yang  akan menjadi terakhir bagi kami.
Aku yang marah saat itu. Berurai air mata, dengan satu kalimat “putus”, kami berakhir. Aku ingat raut wajahnya saat itu. Kerutan di dahinya begitu dalam. Aku bisa mendengar tarikan nafasnya yang berat, menyayat-nyayat hatiku saat ini ketika mengingat kembali hal itu. Saat itu, aku bisa lihat dengan jelas matanya yang hampir basah, tapi ia menahannya agar tak bocor. Lalu ia berbalik, pergi meninggalkanku dengan punggung yang begitu rapuh.
“Ah, gerimisnya hampir reda,” gumamnya menarik jiwaku kembali dari masa lalu.
Aku memandang langit, mencari kebenaran kalimatnya. Rintik-rintik hujan memang tak serapat tadi. Langit violet juga sedikit lebih cerah. Kurasa udara juga tak sedingin tadi. Aku melirik pada tangan yang masih menggenggam tanganku. Masih erat dan terasa ramah. Aku melirik padanya, seakan mempertanyakan tindakannya. Ia hanya memberikan sebuah senyum ambigu. Seakan-akan sesuatu yang kusut berada di relung hatinya.
Sore yang semakin lama semakin senja telah menenggelamkanku pada masa lalu. Menarik kembali kenangan-kenangan juga perasaan yang pernah kurasakan padanya. Bolehkah aku bicara lagi? Bolehkah aku memperbaiki penyesalan yang baru saja kurasakan secepat ini?
Aku melepaskan tanganku dari genggamannya tetapi dengan lembut menyentuh lengannya. Aku menatap matanya dalam. Senyum ambigunya tak berubah. Sama seperti tadi tapi kali ini sedikit menyiratkan harapan untukku.
“Ivan, aku...”
“Selin,” suara dari lorong gedung memotong kalimatku.
Aku menoleh dan mendapati sesosok laki-laki tergesa-gesa berjalan ke arahku, membuat poni rambutnya yang pendek bergoyang-goyang. Segera aku menjauhkan tanganku dari Ivan.
“Maaf, kau menungguku lama. Rapat OSIS-nya baru saja selesai. Tadi sudah kubilang kalau kau mau pulang, pulang saja duluan, kan,” tangannya menepuk kepalaku lembut.
“Nggak apa-apa. Lagipula hujan. Aku nggak bisa pulang,” aku tersenyum padanya. Ia balas tersenyum. Senyumnya selalu ramah dan dewasa dengan bibirnya yang tipis. Ia melirik pada Ivan yang masih duduk di bangku dalam diamnya.
“Ivan. Kau nunggu Agnes, ya? Sebentar lagi juga dia akan keluar. Tunggu saja sebentar lagi,” ujarnya tetap dengan senyum ramah. Padahal ia tahu bahwa dulu aku dan Ivan pernah menjalin hubungan.
“Iya, Thanks,” Ivan membalas dengan senyum simpulnya.
“Masih agak gerimis. Tapi anak cewek nggak boleh pulang terlalu malam. Selin, nggak apa-apa, kan, sedikit basah?”
“Iya, nggak apa-apa.”
Ia melepas jaketnya dan meletakan di atas kepalaku untuk melindungiku dari hujan. Aku melirik padanya, berbicara dengan mata bahwa aku tidak apa-apa. Tapi ia juga bicara dengan senyum, mengatakan bahwa lebih baik aku terlindungi dari hujan. Ia menggandeng tanganku.
“Ivan, kami duluan, ya,” ujarnya.
Ivan hanya mengangkat tangannya untuk berkata selamat jalan. Aku melirik matanya. Untuk dua detik, dunia hanya milik kami. Ia tersenyum padaku, masih dengan senyum yang sulit kuartikan. Lalu aku kembali berbalik, mengikuti langkah kaki pemilik tangan yang menggandengku.
Beberapa langkah, kami telah cukup jauh dari Ivan. Aku kembali melirik ke belakang. Dari udara yang masih dibatasi rintik air, pandanganku masih bisa menembus, melihat Ivan di ujung sana sedang bersama gadis berambut hitam lurus yang panjang. Anak yang manis dengan sikap yang anggun. Sela-sela jari Ivan kini bukan aku lagi yang mengisi, tapi bukan juga kosong. Anak bernama Agnes itu kini menjadi pemiliknya.
Aku kembali berbalik, menatap tanah yang basah, lalu menatap lurus ke depan. Untuk beberapa jam aku kembali tertarik pada masa lalu, tenggelam hingga seakan-akan aku akan mati dan hidup pada masa lalu itu. Tapi aku tahu, waktu terus bergerak. Hati juga tak akan selamanya membusuk.
“Rian...,” aku memanggil laki-laki yang melangkah bersamaku sambil menatapnya pasti.
“Ya?” ia balik menatapku dengan mata yang teduh dan ramah. Aku menggenggam erat tangannya, berusaha agar ia tak lepas.
“Aku sayang padamu,” ujarku dengan senyum tulus. Ia balik tersenyum. Wajahnya tersipu di tengah rintik kecil yang membasahinya.
Kami masih terus melangkah, melawan rintik yang masih belum berhenti. Seperti  langkah kami melawan hujan, aku bertarung dengan waktu yang masih melekat padahal sudah mati. Seperti mendung yang akan hilang ketika matahari kembali dan tak sembunyi, aku akan tetap melangkah meski bayang-bayang masih mengikuti. Aku yakin suatu saat masa lalu itu akan lepas dan hanya akan jadi kisah yang diceritakan. Dan untuk saat ini, aku yakin bahwa laki-laki yang melangkah bersamaku sekarang akan membawaku pada masa depan yang lebih membahagiakan.

0 komentar: