Minggu, 21 Agustus 2011

Dear Someone - Padamu, sang Memori

Padamu, Sang Memori
Original story by Firdausi

Orang bilang hujan bisa membersihkan segalanya.
Tapi jejak yang kuikuti tidak hilang karena hujan sekali.

Kau bilang, “Aku suka kamu.”
Aku diam, meresapi keseriusanmu. Tapi aku diam terlalu lama.

“Kau manis,” senyum itu yang kau berikan.
Aku hanya menunduk dan kembali diam. Hanya tak mampu bicara ketika suhu tubuhku meningkat karena senyum itu.

“Aku suka kamu,” sekali lagi kalimat itu terucap.
Kesempatanku seharusnya. Tapi aku ragu. Ragu akan keseriusanmu, ragu akan perasaanku. Sungguh kah ini cinta?
Kembali keheningan yang menyeruak dinding tak kasat mata. Kurasa aku butuh sedikit waktu lagi.

Sesekali matamu menatap lurus padaku. Tajam, mencoba masuk mencari celah pada hatiku. Aku menunduk, berusaha menutup rapat-rapat apa yang bisa kau lihat.

“Maaf, aku selama ini bohong. Aku suka orang lain.”
Saat kau bilang maaf, itu saat aku merasa menjadi wanita terbodoh di dunia.
Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Aku berusaha meyakinkan diri sambil memeluk diri. Sepertinya kerapuhan yang mulai menghantui. Tapi tak satu pun tetes air mata mengalir.

Di sini sakit. Kurasa bukan luka. Hanya nyeri. Karena aku tak yakin ada cinta di sela-sela hatiku.

“Lupakan aku.”
Bagaimana? Kau membuatku overdosis dengan ucapan manismu. Ketika hampir seluruh otakku terisi olehmu, katakan padaku bagaimana cara melupakanmu. Membuatku amnesia kah?

“Lupakan aku.”
Bagaimana?Kau telah mendarah daging. Saat setiap udara yang masuk dalam rongga paru, ada kau di dalamnya, bagaimana cara aku melupakanmu? Membuatku tak bernapas kah?Kini aku merasa sesak karena kau telah menjadi racun di setiap sel hemoglobinku. Bernapas atau pun tidak, sama saja. Keragu-raguanku akan dirimu yang menyelamatkanku.

Kubesarkan volume suara MP3 yang kumainkan. Aku menangis dalam tiga menit iring-iringan musik yang mengingatkan pada kejahatanmu. Ya, baru kali ini aku menangis untukmu. Ah, bukan. Tapi untuk diriku yang terlalu bodoh.

Ketika jarum jam telah berputar, di sana ada harapanku agar melupakanmu. Tapi jejakmu terlalu jelas. Saat aku diam dalam putaran waktu, dirimu menari-nari dalam bayangan. Tapi aku masih tak yakin ada cinta untuk dirimu dalam hatiku. Kurasa keragu-raguanku yang semakin hari memecutku hingga semakin lama semakin terasa sakit.

Saat kau sulit bernapas, saat kau menangis ketika bangun di tengah malam, dan saat kau merasa ia terus menari dalam sel otakmu di setiap detik hidupmu, apakah itu bisa disebut cinta? Kurasa tidak selalu. Karena keyakinanku bahwa semua yang menyebabkan seperti itu adalah kenangan manis bersamamu. Ya, kini aku mengerti. Aku yakin bahwa semua yang membuatku sakit adalah kenangan yang kini menjadi racun. Bukan dirimu yang telah kucinta. Aku tidak jatuh dalam perangkapmu. Tidak! Aku hanya teracuni oleh kenangan bersamamu.

Benda-benda itu kubuang. Bukan karena benci. Hanya saja aku tidak sekuat itu. Mereka mematahkan satu demi satu rangka sayapku setiap kali kupandangi. Aku hampir tak mampu berdiri tegap lagi.

Satu bulan… dua bulan… tiga bulan… hujan tak kunjung datang hingga terasa gersang. Jejakmu sedikit menghilang menjadi debu dan terbang. Kau, aku, kini hanya menjadi dua orang yang bertemu dan bicara.

Tapi ketika hanya sisa separuh otakku yang menampungmu, kau bicara padaku lagi. Entah itu kebohongan atau bukan. Kau bilang tak bisa melupakanku. Kau bohong saat mengatakan bahwa kau menyukai orang lain. Lalu, apa ini kebohongan yang lain? Bohong atau pun bukan, hatiku sudah tertutup meski ada sedikit celah untuk membukanya. Mungkin jika kau memaksakan diri, kau bisa duduk di singgasana milikku. Tapi kuyakinkan pada dirimu juga diriku, bahwa aku tidak bisa kembali menerima perlakuan baik itu.

Mungkin kekeraskepalaanku dulu yang menciptakan kebohonganmu yang menyakiti diriku. Bukan salahmu, tapi juga salahmu. Jika kau bisa bertahan sedikit lebih lama, mungkin akhir cerita kitab kita bukan sesuatu yang menyedihkan. Aku tahu bukan hanya aku yang merasa sakit. Tapi juga kau.

Bukuku telah kututup rapat-rapat meski ada hasrat untuk membukanya kembali. Aku akan menarikan pena di atas putih yang baru. Kuberitahu padamu, bukan penyesalan yang kudapat dari setiap detik yang kulalui bersamamu, tapi sebuah pelajaran untuk membuat sebuah kisah yang lebih baik.

Kini hujan kembali mengguyur. Jejakmu mulai menghilang di tanah yang becek, kemudian kering dan tertiup oleh angin. Aku berhenti, lalu mulai mencari jejak lain yang bisa kuikuti.

0 komentar: