Sabtu, 15 Oktober 2011

Saksi Bisu


Saksi Bisu
Oleh Firdausi R.

Kamar kecil ini dikelilingi garis kuning polisi yang membatasi ruang lingkup kamar dengan ruang di balik pintu. Cahaya blitz menyeruak ke seluruh ruangan; entah itu dari para wartawan yang sedang memburu berita di luar area garis kuning atau tim forensik yang menyelidiki kasus ini. Mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing, memotret TKP untuk dijadikan barang bukti penyelidikan. Beberapa pria berseragam coklat berkerumun memandangi lantai yang bersimbah darah kering. Mereka berdebat mengeluarkan pemikiran masing-masing tentang apa yang telah terjadi di ruang kecil ini.
*****

Beberapa saat sebelumnya, tergeletak jasad seorang wanita remaja di atas darah yang menodai keramik putih itu. Wanita remaja dengan wajah tirus seakan-akan kurang gizi. Kematiannya diduga bunuh diri akibat depresi dan itu benar karena aku tahu semua tentang wanita itu.
Aku melihat dengan jelas saat ia meregang nyawa. Ia masuk ke kamar dengan mendobrak pintu begitu kasar. Suatu emosi yang besar mendorongnya untuk berlaku kasar. Air matanya menetes, ia menangis sesegukan sambil terus mencoba menghubungi seseorang melalui ponselnya. Tapi kurasa tak ada jawaban di ujung sana karena kulihat ia terus mengumpat kesal. Tangan kanannya mengelus-elus perutnya yang terus membuncit sejak beberapa bulan lalu, aku lupa kapan tepatnya. Semakin ia mengelus perutnya, semakin ia mengerutkan dahinya lebih dalam, dan semakin parah sesegukannya.
Setelah lama menunduk serta putus asa karena seseorang di seberang sana tidak mengangkat teleponnya, ia mulai mendongakkan kepalanya, melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan. Seakan dapat pencerahan setelah melihat tempat tidur yang ia duduki, ia tersenyum, tetapi kulihat begitu getir. Kulihat ia mulai berdiri di atas tempat tidurnya yang empuk. Setelah mengambil napas yang dalam, ia meloncat-loncat di atas tempat tidur. Gaya pegas dan gravitasi mempermainkannya. Ia melayang semakin tinggi dan semakin tinggi.  Pada akhirnya, dengan sengaja ia menjatuhkan diri ke lantai tanpa menggunakan daya keseimbangannya. Ia sengaja menjatuhkan diri dengan menghentak duduk di lantai.
Ia tidak berteriak, tapi wajahnya menunjukkan bahwa ia benar-benar kesakitan, meringis, memegangi pinggangnya agar tidak menggeliat lebih dari itu. Darah mulai mengalir dari selangkangannya. Kulihat ia berkeringat dingin, napasnya mulai tidak teratur. Semakin deras saja cairan merah itu merembes, membuatnya semakin tak berdaya. Ia tidak berteriak, mungkin sengaja. Aku pun hanya bisa diam saja tanpa berbuat dan berkata apa pun. Tubuhnya lunglai, jatuh di atas keramik dingin. Semakin lama napasnya semakin lemah kemudian senyap. Matanya sesaat memandangku sebelum benar-benar tertutup. Dan ia tersenyum ambigu padaku sebelum malaikat kematian mengambil nyawanya.
*****

Salah satu pria berseragam coklat itu mulai mengalihkan pandangannya. Ia memandangku yang berada di sudut lemari dengan berkacak pinggang pada tubuhnya yang tidak kurus tapi tidak juga gemuk, namun tegap itu. Pandangan matanya menelisik. Ia terkekeh seakan menghina. Senyum mengejeknya itu membuat wajahnya terlihat bulat dengan rambut plontos yang ia miliki. Ia menepuk punggung temannya yang masih menyelidiki TKP, membuat perhatian temannya itu teralihkan.
“Hei, hei! Lihat itu.  Mengerikan, bukan?  Lusuh sekali,” kalimat hinaannya itu tertuju padaku. Jelas sekali karena telunjuknya sedang menunjuk ke arahku. Aku hanya diam tidak mungkin bicara. Temannya itu memandangnya kesal.
“Bekerjalah yang benar. Jangan menunjuk-nunjuk barang orang seenaknya sendiri. Mungkin itu boneka kesayangan korban,” tegurnya lalu kembali pada penyelidikannya.
Pria plontos itu hanya terkekeh seperti tadi dengan nada hinaan. Sekali lagi ia memandang ke arahku dan tersenyum. Lalu ia juga kembali ikut dalam perdebatan para polisi.
Benar kata temannya tadi. Meski aku lusuh dan tak terawat, dulu aku bersih dan cantik. Aku boneka kesayangan gadis yang sudah kehilangan lilin hidupnya itu. Dan aku tahu semua kehidupan gadis itu. Mata hitam yang bulat mengkilat milikku ini telah merekam kehidupan remaja yang telah tewas itu.
*****

Dulu sekali, saat kurasa umurnya empat tahun, ia memelukku begitu lembut yang masih terpajang di lemari penjualan. Ia merengek-rengek kepada ibunya untuk dibelikan boneka yang menyerupai anak perempuan, aku. Ibunya dengan terpaksa merogoh kocek agar anaknya tidak menangis lagi. Ia sedikit kesal, tapi melihat senyum anaknya yang begitu lebar terpampang, kekesalan itu menguap dan berganti rasa maklum.
Setiap hari Lila, begitu nama gadis tersebut, menyisir rambutku yang hitam kemerahan dengan senyum polosnya. Selalu membawaku kemana-mana. Dan ia hampir setiap hari mengajakku bermain dalam drama ibu-ibuan favoritnya. Lakonku sebagai anak dan dia ibuku. Begitu terus hingga akhirnya ia beranjak sebelas tahun.
Gadis itu semakin dewasa. Satu lapis kepolosannya telah lenyap. Ia tidak lagi memerankan peran ibu dan aku bukan lagi anaknya. Aku hanya boneka kesayangannya yang patut dipajang di samping tempat tidurnya. Tidak pernah lagi tangan kecilnya menyentuh rambutku, merawatku sedemikian rupa. Kini fungsiku berubah. Aku menjadi tong sampah hatinya.
Dia gadis yang mulai beranjak remaja. Setiap hari dia pulang sekolah, ia memandangku lalu meletakkanku di hadapannya. Setiap hari ia bercerita; tentang teman-temannya, tentang guru, dan tentang orang tuanya. Juga tentang kegembiraannya, kekesalannya, serta kesedihannya. Aku tak pernah bosan mendengarnya bicara karena aku juga tidak punya hak untuk menolak mendengarkan gadis itu bicara. ‘Toh aku hanya boneka yang tak bisa bergerak dan berkata-kata.
Semakin hari yang dibicarakannya selalu sama, tentang seorang pemuda yang kutahu namanya Erik. Kadang ia bercerita dengan kesal, tapi ada sedikit kegembiraan tersirat di wajahnya yang memerah saat menceritakan hal itu. Cinta, seperti itu manusia menyebutnya. Gadis itu mulai belajar satu perasaan yang baru yang belum pernah ia rasakan. Satu bibit mulai tumbuh di hatinya.
“Susan,” begitu dia memanggilku. “Kau tahu, nggak? Erik itu menyebalkan! Masa dia mengejekku dengan sebutan rambut mie cuma gara-gara rambut keriting? Padahal ‘kan rambutku indah seperti Susan.”
Begitu dia sering bercerita. Umurnya baru dua belas saat itu. Satu lapis kepolosan lagi telah terbuka, kini berganti dengan kedewasaan. Dunianya tidak sesempit yang dulu. Ia semakin membuka pintu, berjalan-jalan dan menemukan suatu perasaan yang baru. Tapi ia belum sadar. Hingga akhirnya umurnya beranjak tiga belas. Ia tahu apa nama bunga yang baru bermekaran mengisi hatinya.
Ia merebahkan diri di atas kasur. Saat menoleh, ia menemukanku yang terduduk di sudut tempat tidur di samping bantal. Ia mengambilku dan mengangkatku tinggi-tinggi, memandangku seakan-akan ingin menemukan kata-kata yang tepat sebelum bicara. Lalu ia menarikku mendekati wajahnya.
“Erik…. Begitu-begitu ternyata dia orang yang baik. Tadi siang dia membantuku membersihkan toilet karena datang terlambat,” ujarnya. Kulihat wajahnya bersemu merah. “Apa, ya? Aku merasa senang sekali. Aku jatuh cinta, ya,” sirkulasi darahnya semakin berpusat di pipinya, merah sekali. “Gimana, dong, ini Susan. Aku bisa mati, nih, kalau berhadapan dengannya,” lanjutnya bicara dan memelukku erat-erat. Aku tahu suhu tubuhnya meningkat karena tekanan darahnya yang semakin kuat.
Umur lima belas, ia tidak lagi bicara denganku dan aku tersingkir, mendapatkan tempat di atas lemari bukunya. Meski begitu aku masih bisa mengamati apa yang ia lakukan. Ia semakin beranjak dewasa. Mulai memakai make up, dan bersolek ‘bak seorang gadis kota. Bukan lagi boneka yang ia pegang, tapi ponsel. Tangannya tak pernah berhenti mengetik papan tombol ponsel miliknya. Kadang ia berbicara melalui kotak kecil itu. Dan jika suaranya melembut, itu berarti telepon dari pria bernama Erik.
Yang kutahu, sejak enam bulan yang lalu akhirnya ia berhasil mendapatkan Erik. Saat itu ia masih malu-malu dan kaku bicara pada laki-laki itu melalui ponsel. Tapi sekarang tidak. Ia bicara lebih santai, sudah terbiasa dengan suasana itu. Tapi beberapa hal tidak berubah darinya, yaitu senyuman lembutnya serta wajah semunya saat bicara dengan laki-laki itu diujung telepon.
*****

Umurnya tujuh belas tahun ini. Aku semakin diabaikan olehnya, masih terbengkalai di atas lemari dengan debu yang menumpuk di atas rambut yang dulu begitu ia puji-puji. Ia menapaki jenjang kedewasaan. Kepolosannya kini sudah menghilang dibalik realita yang terus ia konsumsi. Kini ia menjadi gadis pesolek yang tak akan keluar rumah tanpa aksesori dan make up. Dia sudah berubah. Berubah karena lingkungan dan pergaulan, juga oleh laki-laki bernama Erik yang berhasil semakin memekarkan bunga dalam sela jantungnya.
Hingga akhirnya hari itu datang, akar dari semua masalah yang telah terjadi. Ayah dan ibu Lila pergi ke luar kota membanting tulang,  mencari biaya sekolahnya dengan bekerja keras. Lila anak tunggal, hingga ia hanya sendirian di rumah yang begitu luas itu jika tidak ada orang tuanya. Kulihat ia masuk ke kamar tidak sendirian,  tapi dengan seorang laki-laki asing yang tak kukenal. Tapi melihat wajah bahagianya yang bersemu itu, aku yakin laki-laki itu adalah Erik.
Erik bukan laki-laki jelek secara fisik. Ia tampan juga tinggi dengan tubuh kurus berisi. Penampilannya menyerupai anak band jaman sekarang. Senyumnya mematikan. Tak heran jika Lila jatuh cinta padanya. Kulihat matanya yang begitu polos memandang Lila, ia juga tulus mencintai gadis itu.
Mereka berdua duduk di atas tempat tidur sambil bersenda gurau, seakan-akan dunia milik mereka berdua. Aku hanyalah penonton di balik layar. Hingga akhirnya mereka saling diam berbalas pandang, seakan bertelepati menyatakan perasaan masing-masing. Keduanya bersemu merah.
“Lila, aku sayang kamu.”
“Aku juga, Erik. Aku sayang kamu,” balasnya dengan senyuman yang meluruhkan tiang iman Erik.
Mereka lalu saling menautkan bibir. Didorong oleh setan, nafsunya terus bergejolak hingga kecupan itu berubah liar. Tangan Erik mulai menggerayangi tubuh Lila dengan masih saling menautkan bibir. Semakin liar, Erik mulai menjatuhkan kecupannya ditengkuk Lila. Tangannya tak lagi bermain di pinggang, tapi bertualang menggapai seluruh tubuh hingga akhirnya menuju pada bagian-bagian sensitif. Laki-laki itu menempatkan tangannya di balik baju Lila. Dan gadis itu tak berniat sekali pun untuk berontak. Ia pasrah memejamkan mata, membiarkan tubuhnya dimiliki oleh Erik. Lila menahan rasa kenikmatan yang mulai mencapai ubun-ubun.
“Aku sayang kamu, Lila. Sungguh sayang,” bibir Erik tak berhenti mengucapkan kata rayuan tanpa menghentikan pergerakannya.
Aku melihat segalanya. Juga mendengar desahan-desahan nafsu yang mereka keluarkan. Tanpa mereka tahu setan telah berhasil membimbing mereka ke jalan yang ia inginkan.
*****

Dua bulan setelah itu, Lila sering merasa tak enak badan. Aku sering melihatnya pulang lebih cepat dengan wajah yang pucat. Baru sebentar ia berebah, perutnya bergejolak ingin mengeluarkan isi di dalamnya. Kulihat kekhawatiran di wajahnya. Ia merogoh tas, mengeluarkan sebuah alat yang dibelinya di apotek. Kurasa itu tes urin.
Ia keluar kamar membawa alat itu. Tak lama ia kembali. Wajahnya depresi, lebih dari sebelumnya. Matanya berkaca-kaca. Ia menahannya agar tak keluar sambil mencengkram sebagian rambutnya. Lalu ia merogoh ponsel di dalam kantong kecil tasnya. Ia mengetik dua belas digit nomor yang ia hapal betul sembari duduk di ujung tempat tidurnya.
“Halo,” seseorang di seberang sana menjawab. Aku bisa dengar karena Lila sengaja me-load speaker ponselnya.
“Erik…,” suaranya begitu lirih hingga terdengar pecah.
“Kenapa, sayang? Kau ada masalah?” suara rendah dan berat di ujung sana terdengar khawatir.
“Erik… Aku hamil…,” kali ini Lila tidak berhasil membendung air matanya. Saat ini wajahnya sudah dibanjiri oleh linangannya.
“… Jangan bercanda, sayang!”
“Aku nggak bercanda! Bagaimana ini, Erik? Aku takut… benar-benar takut,” air matanya semakin membanjiri wajahnya hingga mukus pun mulai memenuhi rongga hidungnya. Sesaat tak ada sahutan di ujung sana.
“Tenang, sayang. Aku akan bertanggung jawab. Tenanglah. Tapi untuk beberapa saat ini mohon jangan temui aku. Aku ada urusan sebentar.”
“Kau tak bohong, kan?”
“Nggak. Aku janji. Aku akan menikahimu.”
“Aku pegang janjimu. I love you, dear,” seulas senyum harapan terpampang di bibir Lila.
I love you.
Telepon kemudian begitu saja diputuskan.
*****

Dengan keberanian yang ada, Lila bicara jujur pada orang tuanya. Aku memang tidak melihat saat ia bicara dengan nada takut-takut kepada kedua orangnya. Tapi aku bisa mendengar suara teriakan amarah dari ayah Lila yang sudah mulai menapaki masa senjanya. Dan ibu Lila, meski ia juga menyimpan amarah, ia lebih memilih untuk memadamkan api kemarahan suaminya. Lila hanya diam dan meminta maaf dan bilang bahwa laki-laki yang menghamilinya itu akan segera bertanggung jawab.
****

Semenjak itu, ia mengundurkan diri dari sekolah karena tidak memungkinkan baginya untuk menjalani hari-hari seperti biasa dengan perut yang terus membuncit. Ia juga tidak pernah lagi berhubungan dengan Erik. Meski laki-laki itu bilang padanya akan bertanggung jawab, tapi tak sekali pun batang hidungnya muncul di hadapan Lila. Bahkan ia tak menampakkan suaranya meski hanya melalui ponsel.
Setiap hari gadis yang dulu selalu memanjakanku itu memandangi layar ponselnya, lalu kadang ia menekan dua belas digit nomor yang sama dan mencoba menghubunginya. Tapi nihil. Tak ada yang mengangkat, hingga akhir-akhir ini jika nomor itu dihubungi, yang menjawab adalah suara perempuan yang selalu bicara sama: nomor ini sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.
Terhitung empat bulan semenjak kehamilannya diketahui. Perutnya benar-benar membuncit. Tapi laki-laki yang mengumbar janji itu tak pernah datang,  bahkan dicari ke sekolah pun ia tidak ada. Katanya sudah lama ia pindah ke luar negeri.
Wajah gadis itu semakin tirus. Kurasa ia sudah lama tidak makan dengan teratur. Pandangan matanya begitu kosong. Rambutnya pun entah sudah berapa lama tak tersisir rapi. Padahal dulu ia begitu pesolek, berusaha tampil lebih cantik daripada siapa pun. Tapi keadaan saat ini membuatnya seperti kehilangan akal sehat.
Di hari kelima setelah empat bulan berjalan, orang tuanya yang sedang pergi ke luar kota untuk bekerja, meneleponnya, menagih janji laki-laki yang sudah menanam bibit di perutnya. Tapi ketika mendengar bahwa laki-laki itu menghilang tanpa jejak, meninggalkan putri mereka dengan keadaan berbadan dua, membuat mereka marah besar, terutama ayahnya. Ayahnya menyebutnya anak yang tak tahu diri dan dengan kalap lelaki tua itu menyebut puteri semata wayangnya itu wanita jalang.
Mendengar perkataan itu, kestabilan jiwa Lila yang sudah goyah semakin bertambah labil. Ia mendobrak pintu kamar, membuang diri di atas tempat tidur, dan berusaha terus menelepon nomor yang selama ini tak terhubung lagi.
Sejurus kemudian, itulah yang terjadi. Tubuh gadis itu lunglai di samping tempat tidur dengan darah yang mengalir melalui selangkangan. Sebelum benar-benar menutup matanya, ia memandang ke arahku dengan senyum ambigu seakan-akan memorinya kembali ke masa lalu dan dari mulutnya terucap kata maaf tanpa suara, hanya gerak bibirnya yang menjelaskan hal itu.
*****

Dua hari kemudian baru lah orang tuanya pulang. Mereka terkejut dan tak percaya ketika menemukan anaknya dengan tubuh kaku dan tak bernyawa tergeletak di atas keramik putih. Darah yang keluar sudah membeku dengan sempurna.  Bau busuk sudah menyebar. Begitu pula bau darah yang anyir begitu menyengat, menyeruak ke seluruh ruangan.
Ibunya menangis meraung-raung. Suaminya pucat pasi, merasa bersalah dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan pada puterinya, jalang. Begitulah akhir cerita dari gadis polos yang berperan sebagai ibuku itu.
Manusia itu mudah berubah seiring aliran waktu.  Satu demi satu kepolosan dari hati setiap insan akan terlepas akibat realita dan pergaulan. Imajinasi anak-anak berubah menjadi nafsu yang tak terbendung, jika tanpa pertahanan tiang yang kuat. Lalu nafsu membawa mereka pada penyesalan. Tanpa pondasi, penyesalan membawa mereka menuju jalan yang lebih sesat. Begitulah manusia. Aku adalah saksi bisu kehidupan salah satu ciptaan Tuhan yang tidak sempurna karena kesempurnaan yang dimilikinya itu.
*****

0 komentar:

Rabu, 12 Oktober 2011

Paranoid


Paranoid
Original story by Fidausi

Matahari telah membiaskan warna oranye-nya pada awan-awan yang menggumpal dengan lembutnya entah sejak kapan. Dari jendela besar terlihat ranting-ranting kering pohon yang cukup lama hidup di tempat itu kadang-kandang mengetuk saat angin sepoi singgah menyapanya. Kadang-kadang angin yang menyusup melalui ventilasi menyebarkan bau khas buku-buku tua yang cukup berdebu.
Di tengah keheningan tanpa manusia lain, aku berkonsentrasi mencoba merasuki buku yang ada di hadapanku, mencoba merasuki jiwa tiap tokoh yang mengalami petualangan hebat dari rangkaian alphabet yang tersusun hingga memiliki sebuah makna.
Ketika aku mengaitkan rambut yang mulai mengganggu jarak pandangku, suara kursi di depanku yang digeret menjadi gangguan yang lain. Aku tak mendongak untuk melihat siapa yang berusaha menggangguku karena aku tahu itu dia. Aku kembali berjalan-jalan dalam alur buku petualangan yang sibuk kubaca.
Ia duduk di depanku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hening. Yang terdengar hanya suara gesekan lembaran kertas buku yang dibalik olehku maupun dia. Bahkan suara napasnya yang tenang pun bisa terdengar samar di telingaku. Aku mulai tak nyaman pada keheningan ketika ada seseorang yang ikut membaca di tengah dunia imajinasiku.
“Ngapain ke sini?” aku mulai memecah keheningan tapi masih fokus pada buku yang kubaca.
“Cuman sedang senggang,” jawabnya yang tidak bisa lepas dari buku pula.
“Nunggu pacarmu, ya?”
“Hemm.”
Kembali hening. Aku keluar sebentar dari dunia buku dan memperhatikannya dengan mata sembunyi-sembunyi. Kulihat ia menopang dagunya. Matanya menatap lurus dengan serius menangkap tiap kata yang ia baca agar otaknya mudah mencerna. Rambutnya yang berponi cincag pendek kadang-kadang bergerak gemulai saat ia mengubah posisi wajahnya; masih dengan menopangkan dagunya.
Laki-laki itu…semakin terlihat dewasa di mataku entah sejak kapan. Tujuh belas tahun bersamanya, semakin hari semakin aku melihatnya sebagai seorang pria. Sejak suaranya mulai serak dan menjadi rendah. Sejak tulang wajahnya begitu sempurna. Sejak ia menyaingiku dalam tinggi badan. Sejak tangannya… mampu menggenggam tangan orang lain.
“Pacarmu sedang apa?”
“Kegiatan klub. Dia memang aktif di klub-nya,” ia menjawab dengan senyum simpul di wajahnya. Masih tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
“Kau… cinta padanya?”
Ia hanya mengembangkan senyum yang ambigu. Entah apa artinya, tapi senyum itu mampu menggigit hatiku hingga nyeri. Aku berusaha tenang dengan tak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Nggak usah mengurusi orang. Kau sendiri kapan cari cowok yang bisa melindungimu?” kali ini matanya menatap lurus mataku. Aku menunduk.
“Itu….” Kalimatku seakan-akan menyangkut di tenggorokanku.
Ia seakan tak peduli, terdengar suara gesekan kertas saat ia membalik halaman buku yang ia baca. Aku menghela napas berat, menunduk dalam-dalam menyembunyikan kerutan alisku yang semakin dalam. Menyembunyikan kekalutan hatiku yang semakin menjadi-jadi.
“Aku takut,” gumamku.
“Hmm?”
“Menurutmu… apa manusia itu akan dengan mudahnya jatuh cinta pada seseorang lalu kemudian dengan mudah mencintai orang lain?”
Ia kembali menatapku. Matanya lurus dan serius. Kurasa tak ada lagi niat untuknya membaca buku. Topik yang kubuka kali ini lebih menarik perhatiannya.
“Nggak semua manusia begitu mudah pindah ke lain hati.”
“Kau… bagaimana?”
“Apa karena rasa takutmu itu kau menolakku dulu?”
Ia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang menyulitkanku. Aku menggeleng cepat, tapi aku tahu kepura-puraanku telah terlihat jelas. Ia masih tak bicara menunggu jawaban dariku. Matanya tak mau lepas hingga aku hanya bisa duduk dengan ketegangan di depannya seakan-akan didakwa di meja hijau.
“Orang bilang… ketika dua orang menjadi sepasang kekasih, rasa sayang itu akan hilang setengahnya. Ketika perasaan itu hilang setengahnya di awal, sampai kapan ia bisa bertahan dengan perasaan yang tinggal separuhnya itu? Lama-lama perasaan itu pula akan hilang bersamaan detik yang tak berhenti berbunyi.”
“Lalu bagaimana dengan mereka yang telah menjadi tua renta dan hidup mati bersama? Apa menurutmu mereka bersama hingga mati tanpa perasaan itu? Kau… sungguh bodoh.”
“Bukan. Aku mengerti. Tidak semua manusia di dunia menhilangkan apa yang ia dapatkan. Tapi… apa aku bisa mendapatkan orang yang sanggup bersama denganku hingga kematiannya menjemput?”
“Kau… kau sendiri, menurutmu kau orang yang bagaimana? Semudah itukah kau melupakan orang yang kaucintai?”
Sekali lagi aku menggeleng. Kali ini aku menggeleng dengan kesungguhan hati. Air mataku pun mulai tak terbendung. Kekalutan hatiku sungguh telah menguasai diriku sepenuhnya. Aku memeluk diri.
“Aku bukan orang yang semudah itu melupakan orang lain. Tapi aku takut dicintai kemudian dilupakan ketika aku sungguh-sungguh ingin bersamanya.”
“Aku juga, bodoh!” Ia meradang. Emosinya meninggikan suaranya hingga ia menghentak meja ketika berdiri. “Aku sungguh menyayangimu, Lys.”
Kulihat di wajahnya adalah keseriusan dari dalam dirinya. Kulihat matanya yang teduh menatapku lembut. Kerutan di keningnya menjadi pengakuan dirinya secara tak langsung bahwa selama ini ia menahan rasa sakit yang luar biasa. Tapi aku tetap tak mau menghadapi kenyataan itu.
Aku mencintainya, sungguh. Ia satu-satunya lelaki yang mampu merasuki dinding hati yang tebal itu. Hatiku mengerti, tapi logikaku tak mau diajak bekerja sama. Ia terus membantah apa yang diteriakkan oleh hati yang semakin tersiksa. Sesungguhnya, logika hanya tak ingin hati terluka saat waktu nanti membawa sosok laki-laki itu pergi. Tapi hati sudah terlanjur terluka. Dan konflik dalam diriku menghancurkan aku.
Aku kenal dia sejak aku bisa bicara, berjalan, dan tahu apa itu bermain. Aku kenal ia sejak tinggal di sebelah rumahnya. Aku tahu sifat-sifat jeleknya. Aku tahu kebaikan-kebaikannya  yang mampu menyelimutiku dalam kehangatan. Dia… satu-satunya laki-laki yang mengenalku lebih dari siapa pun.
“Kau bohong.”
“Apanya?! Aku nggak pernah bohong padamu. Aku mencintaimu, Lys. Sungguh.”
“Jika kau mencintaiku, lalu untuk apa kau bersama dengan gadis lain? Kau benar-benar nggak tahu hatiku terenyuh setiap kali kau cerita tentang kekasihmu itu.”
“Kau yang bodoh, kan? Kenapa nggak sejak awal kau bilang bahwa kau juga suka padaku?”
“Kupikir… daripada kehilanganmu ketika aku sudah benar-benar memilikimu, lebih baik tetap menjadi teman sejak kecil saja. Kupikir ketika aku tak perlu memilikimu, aku bisa memiliki hatimu yang hanya tertuju padaku. Kupikir begitu. Pada akhirnya kau sungguh berjalan mengikuti waktu yag membawamu pada gadis itu.”
Aku memandangnya. Segelintir senyum menengahi air mata yang tak berhenti jatuh di pipiku. Aku berusaha tenang dengan menarik napas dalam di tengah isak tangisku yang tak terkendali.
Samar-sama kulihat alis matanya semakin dalam mengkerut saat lensa mata kabur oleh air mata. Ia gusar dan meradang. Ia beranjak dari tempat duduknya, dengan kasar menjauhkan kursinya hingga bunyi geretan di lantai memekakkan telinga. Ia menarik tanganku yang menutupi wajahku yang basah seluruhnya.
“Aku nggak terbawa oleh waktu!” ia berseru.
Matanya sungguh-sungguh ingin merasuki diriku, berusaha membujuk logika yang masih dengan keras kepalanya menolak keberadaan laki-laki itu di hatiku. Aku menggeleng, masih berusaha menolaknya.
“Dengar aku, Lys! Sampai detik ini aku masih memikirkanmu. Aku berusaha dibawa oleh waktu dengan mencoba bersamanya. Tapi aku terlalu kukuh terpaku pada sosokmu.”
Ia menarikku ke dalam dekapannya. Lengannya yang membelitku sungguh sangat kuat hingga napasku terasa sesak. Entah karena kekuatan dekapannya atau perasaanku yang ingin muntah meledak, jantungku semakin cepat mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Lengannya seakan-akan tak mengijinkanku untuk pergi sekali lagi. Tangannya seakan-akan berkata bahwa aku adalah sesuatu yang berharga baginya.
Aku tak mampu untuk melepaskan diri. Kudongakkan kepala untuk melihat wajahnya. Kini matanya mampu rasuk pada jiwaku. Bibirnya berkali-kali membisikkan kata cinta di telinga. Aku… luluh untuk saat itu. Ia perlahan mendorongku pada lemari buku di belakang meja tempat kami bersama tadi. Bibirnya mulai melumat bibirku.
Napasku sesak. Setiap kali ia melumat bibirku, setiap saat itu pula aku bisa mengerti seberapa besar rasa sayangnya padaku. Tiap momen yang ia buat, mengalirkan kehangatan pada diriku. Tangannya erat merangkul pinggangku dan aku semakin tak berdaya. Ia terus memukul hancur dinding pertahananku. Logikaku hampir mati ketika oranye langit telah berubah menjadi kebiruan. Hingga akhirnya suara pintu terbuka, membangunkan kembali kesadaranku.
Aku melepaskan bibirku dari bibirnya yang begitu lembut. Tapi aku tak mampu keluar dari lingkaran tangannya. Napasku memburu, begitu pula ia. Hanya saja kami berusaha agar napas itu tak terdengar oleh siapa pun.
Kami tetap bersembunyi di balik rak buku tinggi dengan buku-buku yang tersusun rapat serta rapi hingga mampu menutupi keberadaan kami. Aku tak mampu menatapnya. Tapi aku tahu bahwa matanya tak lepas dariku. Ia mencari-cari sebuah jawaban.
“Ray, kau di sini, kan?”
Kudengar sebuah suara tinggi seorang wanita memanggil laki-laki yang sedari tadi tak mau melepaskanku. Laki-laki itu tak menjawab. Ia hanya fokus berusaha mencari celah untuk kembali masuk ke dalam diriku. Tapi aku tetap menunduk dalam-dalam.
“Lys... Tahan aku, kumohon,” ia berbisik getir.
Aku diam sesaat kemudian mengambil oksigen untuk kembali menenangkanku. Kali ini aku memandang laki-laki itu. Kuberikan ia sebuah senyum dan kecupan di pipinya. Dengan sebuah isyarat, aku menyuruhnya untuk melepaskanku.
Lagi-lagi. ekspresi itu yang ia tunjukkan. Ekspresi seakan-akan ia telah terluka. Tapi pada akhirnya tangannya membiarkanku lepas.
“Terserah kalau memang itu maumu. Aku… akan coba berjalan mengikuti arus waktu. Bye, Lys,” ia pergi meninggalkanku dengan sebuah senyum berat.
Ia telah pergi. Kini di ruangan dengan bau khas buku tua penuh debu, aku sendirian. Pada akhirnya hatiku kalah pada logika yang terus merasa ketakutan. Aku kalah pada logika yang sempat mati. Aku… pada akhirnya terluka parah meski aku tak sempat memilikinya.

Paranoid.

Tolong, aku butuh seseorang yang mampu membunuh ketakutan pada logikaku yang semakin menjadi-jadi…
*****

0 komentar: