Minggu, 03 Maret 2013

Someday We Will Be Out Of Neverland


Someday We Will Be Out Of Neverland
Oleh Firdausi R.

Seperti Tinkerbell, hanya berdiam diri dengan cinta yang dirasakan. Seperti Tinkerbell, hanya menjerit tak bersuara dalam genggaman perasaan sepihak yang  disembunyikan. Seperti Tinkerbell, aku bertahan dalam lara di sampingnya. Karena seperti Tinkerbell, ia adalah Peterpan bagiku, kehadiranku ada karena kepercayaannya padaku.
-o0o-


Kuperhatikan ia yang sedang menikmati mimpinya di atas pangkuanku. Rambutnya yang ia tata dengan wax sedikit berhamburan, tapi aku senang membelai rambut-rambut keras itu. Bulu matanya panjang pada kelopak mata yang tertutup. Satu hal yang paling kusuka dari wajahnya adalah hidungnya yang lancip tapi tidak terlalu mancung. Pas sekali dengan bibir manisnya yang terkatup itu. Wajahnya memang terlihat dewasa dengan tulang rahang yang begitu nampak.  Tapi pada dasarnya di dalam dirinya ada jiwa anak kecil yang tak mau mati. Aku tak bisa menahan tawa kecilku setiap kali memikirkan bagaimana tanggapan orang setelah tahu ia lebih jauh.
Matanya tiba-tiba terbuka, menampakan warna coklat iris-nya yang indah. Mungkin ia terbangun ketika mendengar tawaku yang amat sangat pelan itu. Ia tersenyum simpul lalu kembali duduk, merapikan kemejanya yang berantakan tak terkancing dengan rapi lalu merentangkan tangan, memeluk sandaran sofa tepat di belakang tubuhku.
“Maaf, aku membangunkanmu.”
“Nggak apa-apa. Maaf, aku tidur seenaknya. Pangkuanmu nyaman,” ia menampakan deretan giginya.
“Nggak masalah, sih. Aku sudah terbiasa,” sebisanya aku tak menampakan semu di wajahku meski aku tahu itu gagal dari senyum manisnya yang mengatakan hal itu.
Tangannya meraih snack rasa keju di atas meja, meraupnya segenggam dan langsung memasukkannya ke dalam mulut. Rimah-rimahnya jatuh di atas kemejanya, membuatku tak bisa membiarkan pria itu semakin terlihat berantakan. Aku dengan cekatan menyingkirkan sisa-sisa makanan itu kemudian beralih pada rambutnya yang tak berbentuk lagi untuk kembali menatanya.
Kami tak bersuara untuk sesaat. Aku sibuk merapikannya, ia sibuk menghabiskan snack yang ada di mulutnya. Saat kulirik wajahnya diam-diam, aku menangkap sepasang bola mata yang begitu teduh namun memancarkan kesepian, membuat satu palu memukul keras pada dinding dadaku.
“Bella, aku...” pria itu mulai bersuara. Kalimatnya mengggantung seakan ragu untuk berbicara.
“Katakan saja. Kau masih sering menemuinya, kan? Yaahh, meski hanya secara sepihak. Kau masih sering diam-diam mengikutinya, kan?” aku berusaha tetap tenang, masih terus merapikan dirinya.
“Hm. Bukan keinginanku. Hanya saja tanpa sadar...”
“Sudahlah. Aku tahu kau masih mencintainya,” aku kembali duduk di sampingnya. “Lalu, kau ingin cerita apa? Kau datang ke sini untuk hal itu, kan?”
Ia hanya menampakan sebuah senyum lara. Batinku meradang, membuat jantungku terasa nyeri. Tapi aku diam saja. ‘Toh sejak awal aku tahu bahwa ia akan datang padaku hanya untuk  dua hal; pertama adalah ketika ia senang akan hal apa pun, dan yang kedua, ketika ia merasa resah tentang mantan kekasihnya. Aku lelah untuk merasa cemburu meski hati ini tak pernah bisa berhenti terluka setiap kali laki-laki itu mengadu perih tentang perasaannya.
Ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Kedua tangannya ia sembunyikan di antara kakinya yang menyila. Mulutnya masih terkatup, tak bicara. Mungkin ia sendiri tak bisa mencari kata-kata yang tepat untuk bercerita padaku. Kubelai rambutnya perlahan, mengisyaratkan bahwa ia bisa bicara pelan-pelan.
“Sejujurnya... memang seperti katamu, aku masih sering menemuinya. Secara diam-diam. Ya. Hari ini aku menunggunya pulang di persimpangan jalan dekat rumahnya. Ketika kulihat sosoknya, ternyata ia bersama dengan pria lain. Aku tahu ia  sudah punya pacar baru. Aku tahu kalau pria itu sudah lama bersama dengannya. Tapi tetap saja aku...” lengannya menutupi buku-buku pada spasi alisnya. Suaranya getir, aku tahu ia terluka. “Saat aku pulang, ada undangan pernikahan. Dan tebak saja dari siapa?”
“Lisa, kan?”
“Kurasa kau juga dapat undangannya, kan? Karena kau teman baiknya,” suaranya semakin terdengar lirih meski sebuah senyum terbubuh di sana.
Aku merangkul lehernya erat. Ia mendongak, mungkin karena air mataku jatuh di atas bahunya. Ia menghela napas maklum sembari tersenyum kemudian menepuk-nepuk kepalaku ringan.
“Sudah kuduga akan begini. Makanya aku sebenarnya enggan bercerita padamu. Sudahlah, nggak usah menangis karena aku begitu. Kau selalu  begitu setiap kali aku cerita tentang Lisa,” ujarrnya.
“Nggak apa-apa. Aku mewakilimu yang nggak pernah mau menangis. Biarkan saja aku. Makasih kau sudah mau cerita padaku,” ujarku dalam isak tangisku.
Sesungguhnya aku menangis bukan karena ingin mewakilinya yang sulit mengeluarkan perasaan lewat ekspresi. Hanya saja aku selalu tak sanggup bertahan dalam ketangguhanku setiap ia terlihat begitu rapuh hanya karena satu wanita yang telah menguasai hatinya tapi tak pernah kunjung memperhatikanya. Ribuan palu tercipta oleh perasaannya, oleh kata-katanya, yang kemudian memukul hancur kaca yang kupijak. Membuatku jatuh berkali-kali. Sakit, namun aku tak bisa jera. Aku menangis untuk perasaanku.
-o0o-

Seteguk cola dingin mengalir melalui tenggorokanku, mengobati rasa lelah setelah berjalan lebih dari satu jam. Di depanku duduk seorang wanita cantik mengenakan terusan putih dilapisi cardigan merah muda yang lembut. rambutnya berombak tertata dengan rapi meski terurai begitu saja melewati bahunya. Di sampingnya ada beberapa kantong besar berisi gaun dan beberapa barang lainnya.
Dia Lisa, wanita yang selalu mengisi hati Allan, laki-laki yang kucintai. Ia cantik dan feminin. Dulu saat aku masih satu kelas dengannya waktu SMA, tak jarang aku menemukan laki-laki yang tak bisa melepaskan pandangan mereka darinya. Wanita di depanku ini bisa dibilang  primadona sekolah. Entah bagaimana aku bisa berteman baik dengannya yang cukup jauh kasta-nya. Dan aku sendiri tak percaya minggu ini statusnya akan berubah menjadi istri seseorang.
Kulirik ia, memperhatikannya diam-diam. Tangannya tak berhenti menekan tombol pada smartphone yang ia genggam. Di wajahnya terpampang sebuah senyum bahagia dengan sedikit rona merah yang samar di pipinya. Bisa kuduga saat ini yang dihadapinya lewat pesan singkat adalah calon suaminya .
“Kau yakin?” aku mulai bersuara.
“Eh, apanya?” ia balik bertanya. Masih tersisa senyum di wajahnya, ia masih belum lepas dari kegembiraan karena calon suaminya, meski aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan lewat pesan singkat itu.
“Menikah. Kau yakin?  Secepat ini? Memangnya calon suamimu itu sempurna banget untukmu?” tanyaku.  “Yaahh... Meski memang kuakui dia cukup tampan dan gagah, sih,” aku segera melanjutkan kalimatku agar pertanyaanku sebelumnya tidak terdengar merendahkan pria yang saat ini bersamanya. Lisa tersenyum simpul.
“Nggak sempurna, sih. Tapi aku nggak mempermasalahkan kekurangannya. Lagipula aku mencintainya,” ujarnya masih dengan senyum yang sama. Entah benar atau tidak, tapi aku sedikit menangkap kepalsuan di sana.
“Allan masih mencintaimu,” ujarku untuk memancingnya. Bisa kurasakan rasa ngilu di hatiku saat mengucapkan kalimat itu. Tapi aku tetap berusaha untuk memendamnya.
Senyumnya meredup bersamaan dengan kepalanya yang perlahan menunduk. Sesaat ia tak bicara.
“Nggak bisa, Bella. Aku...  Sudah  punya David.”
“Kau masih mencintai Allan, kan?”
“...nggak,” ada sedikit jeda sebelum ia menjawab.
“Nggak usah bohong, Lisa. Aku tahu perasaanmu.”
“Nggak!”
“Kubilang nggak usah bohong! Kau masih mencintainya, kan? Kenapa kau nggak bisa jujur dengan perasaanmu sendiri?”
Aku menghentak berdiri. Sanggahannya membuatku meradang. Jelas sekali bahwa ia masih mencintai  Allan. Dilihat dari sisi mana pun, jelas sekali dari wajahya yang kalut bahwa ia masih memiliki perasaan untuk pria yang kucinta.
Aku marah padanya yang tak pernah mau  beranjak dari hati Allan. Tapi di satu sisi aku marah padanya karena tak bisa mengakui perasaannya sendiri. Aku memang berharap suatu saat mereka beerpisah dan menghilangkan perasaan mereka masing-masing. Tapi ada satu sisi diriku yang ingin melihat mereka kembali bersama, menampakan wajah yang bahagia meski kebahagiaan mereka akan menjadi pedang yang mengiris hatiku semur hidup. Karena itu adalah dunia kami bertiga.
“Lisa. Aku Cuma mau mendengar isi hatimu yang sebenarnya,” aku melemahkan suaraku, melihat Lisa di depanku menahan air matanya agar tak keluar.
“Kau benar, Bella. Aku mencintainya. Tapi aku tak bisa seperti itu terus. Aku ingin serius dengan hubungan kami. Tapi tidak bisa. Allan. Dia itu.... peterpan, Bella. Kau paham, kan?”
Butiran air mata mulai berjatuhan di atas pipinya yang putih. Lisa menangis. Aku menangis. Kami sama-sama tenggelam dalam perasaan masing-masing. Sudah lama aku tahu Lisa masih mencintai Allan, tapi kini hatinya mulai terbagi untuk David, calon suaminya. Hatiku sakit, mengingat mereka masih saling mencintai, mengingat mereka tak bisa saling bersama. Rancu. Dua sisi pikiran dalam diriku membuat rasa sakit itu menjadi kuadrat.
“Aku pernah mengajak Allan untuk menikah, tapi ia tidak mau mengambil jalan itu.”
“Hanya karena sekali penolakan itu kau berhenti mengambil langkah yang sama dengannya? Kau bisa membujuknya lagi, kan, Lisa?” suaraku mulai kembali meninggi.
“Nggak bisa, Bella! Umur kita sudah dua puluh tiga. Aku ingin serius. Aku ingin berkeluarga. Kita bukan anak-anak lagi,” segelintir senyum terpapar di antara air mata yang masih mengalir di wajahnya.
“Dasar bodoh. Kalian berdua bodoh. Untuk apa Tuhan membuat kalian saling memiliki perasaan yang sama tapi tidak bersama? Aku... aku benci melihat kalian yang saling mencintai. Dan aku lebih benci lagi pada kalian yang tak mau mengambil langkah yang sama. Apa yang salah? Kau bilang Allan adalah Peterpan. Tapi tak selamanya ia akan menjadi Peterpan, kan? Ini bukan Neverland!”
“Nggak selamanya cinta bisa saling memiliki, Bella. Mengertilah.”
“Khh—”
Sebuah lengan menutupi mataku, mengurungkan niatku untuk kembali berbicara. Lengan yang dilapisi jaket tipis itu terasa hangat. Aku kenal betul dengan kehangatan itu. Aku kenal betul dengan aroma parfum dari jaket yang ia kenakan. Bau yang membangkitkan kembali rasa sakit itu semakin membuat air mataku mengalir. Tapi di lain sisi, aku terhanyut oleh kehangatan lengannya.
“Sudahlah, Bella. Kau nggak perlu bicara lagi. Biarkan aku bicara dengan Lisa,” suara berat yang lirih itu, aku kenal betul. Dia memang peterpan kami. Dia Allan.
Aku melepaskan tangannya dan mendongak mencoba melihat wajahya. Buku-buku di antara alisnya begitu dalam meski diselingi senyum. Perasaannya seakan mengalir melalui pembuluh darahku, jantungku terasa ngilu. Seperti racun sedang bertualang di dalam tubuhku dan mencapai ubun-ubun, kepalaku pening. Udara mulai tercekat di antar alveoli paru.
“Pulanglah, Bella,” ujarnya meyakinkanku dengan sebuah senyum yang selama ini terus kulihat, senyum sendu miliknya.
Aku tak menjawabnya. Kakiku berlari begitu saja. Sejak awal aku memang berniat pergi dari situ. Hatiku tak sanggup bertahan lebih lama lagi, memandangi mereka bersama bernostalgia dengan perasaan cinta dan kesedihan. Aku ingin mereka kembali bersama, tapi aku tak mampu untuk melihatnya. Rancu. Aku tidak sekuat Tinkerbell pada dongeng Peterpan.
-o0o-

Aku memeluk diri, duduk di atas sofa rumahku, tempat di mana Allan sering mengadu perasaannya. Air mataku tak sanggup berhenti mengalir. Emosiku sudah terlanjur meledak. Tentang keegoisanku yang menginginkan mereka bersama. Tentang keegoisanku yang sesungguhnya ingin memonopoli  Allan seutuhnya.
Kupandangi seluruh ruangan tempat aku berada. Di sini... Ya. Di sini biasanya kami bertiga, Aku, Lisa, dan Allan menghabiskan waktu bersama. Allan adalah teman kecilku yang kekanakan meski wajahnya cukup terlihat sebagai dewasa yang gentleman. Lisa adalah gadis dewasa yang tenang. Aku bertemu Lisa saat memasuki bangku SMA. Entah bagaimana kami bertiga bisa akrab, kami menciptakan dunia kami sendiri. Setidaknya untukku seperti itu. Tapi tau-tau mereka berdua menjalin hubungan sebagai kekasih.
Sejak itu aku mulai memelihara perasaan perih di hatiku. Aku mencintai Allan. Ya. Sejak dulu dan aku mengetahuinya. Aku sudah sadar sejak aku pertama kali memiliki perasaan itu terhadap Allan. Hanya saja aku diam. Aku tak sanggup bicara. Keadaanku saat itu sudah cukup nyaman, hanya berada di samping laki-laki itu. Kemudian Lisa datang dan berhasil mencurinya. Aku kesal, tapi tak bisa marah. Aku ingin memonopoli Allan, tapi aku merelakannya untuk Lisa. Karena aku tak mau merusak tempat ternyaman untukku di dunia ini, di antara mereka berdua.
Aku ingat betul di ruangan ini, di ujung sofa panjang yang kududuki, mereka berdua duduk saling menautkan jari masing-masing dengan semangkuk popcorn besar di antara mereka. Mereka duduk dengan mesra, berpura-pura memperhatikan film yang kuputar di depan mereka, padahal mereka asyik saling membagi kehangatan. Sedangkan aku hanya duduk di kursi sofa kecil, berpura-pura tak memperhatikan kemesraan mereka.
Sesungguhnya saat itu aku berusaha bertahan agar tak tenggelam dalam kesedihan. Aku berusaha bertahan dengan perih yang selalu muncul tiba-tiba. Karena aku tak ingin merusaknya. Tak ingin merusak kenyamanan dunia itu. Tapi pada akhirnya mereka sendiri yang merusak dunia kami bertiga.
Aku merebahkan diri di atas sofa, masih dengan memeluk kaki yang terlipat. Air mataku masih belum kering, mengingat kedua orang itu hari ini kembali bertemu. Aku tahu Lisa masih mencintai Allan. Dan aku tahu betul Allan pasti masih sangat mencintai Lisa. Aku ingin mereka kembali bersama. Harapanku seperti itu. Tapi setiap kali aku berharap untuk kebaikan mereka, rasa-rasanya air mata ini semakin tak memiliki limitnya. Palu yang terus memukul dinding jantungku seakan-akan permanen dan sudah ter-setting seperti itu untuk selamanya. Bagaimana pun aku menginginkan kebahagiaan mereka berdua, keegoisanku akan perasaanku sendiri semakin menyiksaku.
Saat aku berusaha menahan sesegukanku, terdengar suara mendecit pintu apartemenku.
“Bella...,” panggil suara Allan perlahan, takut kalau-kalau aku tak ada di rumah.
Aku tak menjawab, tapi langkah kakinya menuju tempatku saat ini menggulung diri. Ia menemukanku, tapi aku  tak mau menoleh kepadanya. Wajahku terlalu berantakan untuk ditampakan. Tapi aku bisa mendengar helaan napasnya yang maklum. Ia duduk pada tempat kosong di sofa yang kurebahi. Tangannya mengelus rambutku.
“Nggak usah nangis, Bella.”
“Kali ini aku bukan menangis untukmu,” aku jujur, tapi aku yakin ia menanggapinya sebagai kebohongan.
“Iya, iya,” jawabnya masih dengan mengelus-elus kepalaku. “Aku... Sudah bicara dengan, Lisa.”
Hatiku kembali terenyuh, masih belum siap untuk mendengar kisahnya yang bahagia.
“Minggu ini ia akan menikah dengan calon suaminya,” lanjutnya bercerita. Kali ini membuatku ikut duduk di sampingnya, mendengarkan ceritanya lebih lanjut. “Ia mencintai calon suaminya, Bella. Meski ia masih memiliki perasaan untukku, tapi saat ini perasaannya untuk David lebih besar lagi. Kami sudah nggak bisa kembali bersama kayak dulu. Dia sama kayak Wendy, Bella...” segelintir senyum getir ia tampakkan di wajahnya yang tampan itu. “Ia pernah mengajakku untuk menikah. Tapi aku nggak bisa. Belum untuk saat ini. Aku takut untuk menjadi dewasa. Aku nggak mau kehilangan dunia yang kita buat, Bella. Nggak bisa...”
Suaranya semakin lirih. Aku membawanya pada rangkulanku. Air mataku kembali mengalir, entah untuk merayakan kebahagiaan atau kesedihan yang kurasakan di sudut-sudut hatiku.
“Kali ini kalau kau ingin menangis, menangis saja, Allan.”
“Hmm...”
Ia bergumam menjawabnya. Tapi pada akhirnya tak ada satu tetes pun air mata yang keluar dari kelenjarnya.  Tapi bola matanya berkaca-kaca, sedikit tersapu oleh air yang tak sampai satu tetes.
Tangannya begitu erat menggenggam lenganku yang merangkul lehernya, agak gemetar.
“Bella, kumohon jangan pergi dari sisiku.”
“Ya...”
“Jangan sekali pun kau meninggalkanku sendiri.”
“Nggak akan, Alan.”
“Aku mencintaimu...”
“Aku juga mencintaimu, Allan.”
Kukecup keningnya. Ia tersenyum simpul, masih menyiratkan kesedihan namun terasa lebih nyaman. Aku kembali membawanya dalam pelukanku, berusaha memberikan kehangatan pada hati yang kesepian.
Kata-katanya bohong, aku tahu itu. Ia masih terjebak dalam Neverland yang ia buat sendiri. Aku hanya mengikuti jejaknya dan ikut terjebak dalam dunia itu. Suatu saat ketika ia mulai sadar akan kedewasaan, ketika jiwa anak-anaknya mati, kuharap ia membawaku keluar dari Neverland, menjadikan kata-kata itu nyata.
Tapi saat ini aku sudah puas hanya berada dalam dunia Neverland-nya. Berada di sampingnya, saling mengisi kesepian masing-masing. Terus menopangnya dengan perasaan yang terus kusembunyikan. Menyanyikannya lagu cinta dalam lara yang selalu kupendam. Karena ia adalah Peterpan dan aku Tinkerbell-nya.
-o0o-

0 komentar: