Rinai Air Penutur Prosa
“Well then I give up if you just stop this
whole thing altogether.
You used to be my trasure.
What if I say goodbye for the last time?
I’m closer than you realize” - We Are The In Crowd, See You Around –
Lagu itu… Ya, mungkin kau bukan penggemar band Pop-rock sepertiku. Dan mungkin kau sama sekali tak mengenal band
itu. Tapi lagu-lagu mereka, lirik-lirik yang terkandung di dalamnya…
mengingatkanku padamu. Tentang kita, tentang waktu di antara kita. Mungkin kau
sama sekali tidak tahu. Tapi kutuliskan sebuah prosa pendek untukmu, untuk
mengenangnya, untuk mengakhirinya.
-o0o-
.
.
.
Rinai Air Penutur Prosa
Di kala hujan buku terbuka, kemudian ketika hujan pula lembaran habis
untuk ditulis. Satu tahun antara hujan yang memulai dan rintik-rintik yang
mengakhirinya, ada kisah antara aku dan kau yang melibatkan hati satu pihak.
Ada sulur yang mati sebelum mengembangkan bunganya. Ada jeritan sunyi rintihan
tangis terkubur di antara kata-kata manis.
Kala itu hujan. Awan sama sekali tak memberikan celah pada birunya
langit. Ia berkuasa dengan kelabunya yang menutupi bias mentari.
Kala itu hujan. Riuh hantaman tetes-tetes air di atas atap seng membaur
dengan suara detik jam yang terdengar keras. Bau tanah basah yang khas tercium dengan
debu-debu yang menjadi berat untuk berterbangan.
Lidahku kelu, otakku mati untuk berpikir di kala kau diam duduk di
hadapanku. Seakan-akan udara memadat, punggungku berat oleh kecanggungan yang
mengalir, memaksa aku untuk terus menunduk memandangi layar ponsel, kadang dua
mangkuk kosong di atas meja meski mataku sungguh ingin sekali memandangimu. Ruangan
empat kali empat meter itu sungguh terasa semakin menyempit.
Rinai hujan masih membaur dengan detik-detik yang masih berputar.
Telingaku peka di antara riuh mendengar jemarimu yang mengetuk-ngetuk layar
ponsel dengan bosan. Sesekali kau menoleh ke luar jendela, memantau kerapatan
molekul-molekul air yang masih menguasai udara. Aku tahu sebab telingaku peka
pada suara gerakmu meski irisku tak mau lepas dari layar ponsel atau dua
mangkuk kotor yang terabaikan olehmu.
Masih dikuasai hujan. Sedetik kemudian aku sadar bahwa ada satu suara
lagi yang membaur menguasai ruang di antara kita. Datang dari ruang antara
rusuk-rusuk, terdengar samar kemudian semakin jelas. Mungkin kau tak mendengar
sebab kau sibuk menyamakan ritme ketukan jari dengan detik yang berlalu tanpa
sadar. Tapi lalu aku paham. Benih yang sengaja kusimpan dalam gersang, kini
hujan telah menyiramnya. Terlanjur. Satu sulur mulai timbul, lembar pertama
telah terbuka. Hujan menyadarkanku bahwa kau adalah lakon dari bagian kisahku.
Hujan berhenti. Aku menulis, merekammu sebagai memori-memori tak
ternilai. Merekam satu-dua kalimat manis darimu yang terus kubaca meski aku
tahu tak pernah satu kata pun yang kau rangkai adalah suatu kebenaran. Tapi, hei, kebohongan itu telah menjadi fakta
dalam kehidupanku meski mustahil menjadi realita.
Satu tahun… Ya, kurun waktu itu hujan kadang-kadang bertamu. Tapi bukuku
belum tertutup. Aku masih sibuk menarikan pena, menjadikanmu semakin berperan dalam
kisah itu. Menuliskan semua laku manismu sebagai injeksi euforia dalam darah
yang mengalir. Kau telah menjadi bagian yang sangat penting, kadang mengarahkan
alur tanpa kusadari.
Kembali hujan menyapa. Satu tahun setelah rintik yang menyiram benih. Kali
ini hujan datang untuk mematikan akarnya, membuatnya tenggelam lalu mati. Riuh
suaranya menarikku dari fantasi.
365 hari hidup dalam kebohongan yang selalu aku ketahui. Sejak awal,
sejak sebelum hujan membuka lembaran pertama, kita memulainya dengan
keterusterangan tentang dusta. Kita memulainya ketika kekosongan sama-sama
saling mengisi, ketika goyah dan butuh pegangan.
Tapi tiap detik adalah delusi yang semakin jelas sebagai fakta. Terasa
begitu nyata. Aku jatuh pada fantasi, semakin jauh dari realita.
Kala itu hujan. Dering ponsel yang khas mengantarkan untaian kata yang
kau rangkai. Kali ini bukan untuk menginjeksikan euforia pada darah yang
mengalir. Tapi sebagai ribuan jarum yang menyumbat pembuluh darah. Sirkulasiku
terhambat. Sarafku seakan mati membiarkan udara sulit bertukar. Terenyuh, satu
bagian di belakang tulang dada terasa nyeri dengan ketukan-ketukan yang
anarkis. Kau… bangunkan aku dari dimensi ilusi.
Kala itu hujan. Rintik-rintik semakin merapat. Hampir tak ada celah
untuk udara oleh molekul-molekul air. Tak ada celah untuk biru oleh kelabunya
awan. Sama seperti aku yang terus mencari pintu masuk, tak ada celah di antara
kebohonganmu.
Seandainya memang kau ingin menghentikan semua dimensi ilusi di antara
kita, aku bangunkan realita. Pada lembar terakhir, kutuliskan selamat tinggal
dengan tinta putih. Cerita fantasiku telah berakhir. Meski ketukan-ketukan anarkis
masih belum tenang, kututup buku bersamaan dengan rinai-rinai yang hampir berhenti.
-o0o-
0 komentar: