Senin, 25 Februari 2013

Hati yang Diam Dalam Gelas Kaca


blog ini udah hampir terbengkalai, nggak kesentuh sama sekali :')
Mau gimana lagi, saya kena writter block syndrome, sih. Dan beberapa bulan sebelumnya disibukan merampungkan multichapter story yang masih on going publish-nya di fictionpress.com :')
Dan hari ini tadi ngubek-ngubek lagi isi folder  di hard disk saya, nemu cerita ini. Kayaknya belum kupublish dimana pun. Ya udah, deh. buat ngehidupin lagi blog ini, jadi saya publish di sini aja.
Read it if you want :')
 
Hati yang Diam Dalam Gelas Kaca
Oleh Firdausi Riskiviawinanda

Aku ingin bertemu denganmu hari ini di tempat biasa jam dua belas siang. Aku menunggumu.

Sebuah pesan singkat baru saja kubuka dan kubaca setelah bangun dari lelapku tadi malam. Aku melirik ke arah jam dinding merah yang bertengger di atas lemari bukuku, memicingkan mata untuk memokuskan penglihatan yang masih samar-samar. Tidak begitu jelas, tapi kurasa jarum panjangnya mengarah ke angka sebelas dan jarum pendeknya menunjuk ke angka sepuluh. Kubuka tirai jendela coklat yang tepat di sebelah kananku. Bias cahaya surya sempat membutakan mataku yang refleks menggerakan otot-ototnya untuk menutup. Sudah siang sekali rupanya.
Kembali kulihat layar ponsel yang sedari tadi kugenggam. Bukan haya sebuah pesan singkat yang kuterima. Belasan missed call dari nama dan nomor yang sama terpampang di layar ponsel. Ia pula yang telah mengirimkan pesan janji sepihak itu padaku. Kulihat waktunya, tadi malam sekitar pukul 23.00 dan selisih belasan missed call itu rata-rata sama.
Kutarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tidak mengeluh. Kemudian aku segera beranjak dari tempat tidur, mengambil handuk dan pergi membersihkan diri.
*****

Terpantul sesosok wanita dua puluhan mengenakan baju tanpa lengan berwarna merah dipadukan dengan kardigan krim serta bawahan celana jeans hitam dalam cermin yang sedang kuperhatikan. Setelah merapikan rambut yang tanpa kusadari sudah sepanjang pinggang, kulempar kedua bola mataku pada jam dinding. Pukul 11.45. Bergegas aku mengenakan sepatuku dan pergi ke tempat yang telah dijanjikan.
Tanganku mendorong pintu café berhiaskan bunga plastik di depannya, secara otomatis membunyikan lonceng yang menandakan kedatangan tamu. Mataku segera tertuju pada satu titik; tempat di mana aku sering bertemu dengannya di sini; di sudut kiri paling pojok, sebelah kaca jendela yang terbilang lebar.
Di situ telah duduk seorang laki-laki bunduk membelakangiku, mengenakan kemeja lengan panjang bermotif kotak biru hitam, menampakkan lekuk tubuhnya yang kurus namun bidang itu. Lama tidak bertemu dengannya, punggungnya memancarkan kesepian dan aku pun merindukannya. Rambutnya yang kemerahan pun sudah semakin panjang.
Kakiku kembali melangkah menghampirinya setelah lama terdiam di depan pintu café, memperhatikannya yang sudah lama tak kulihat batang hidungnya. Aku duduk di depannya. Bersamaan dengan itu seorang pelayan menghampiri. Segera kupesan segelas lemon tea agar ia cepat-cepat pergi meninggalkanku dengannya berdua saja.
Saat ini aku dan dia sedang bertukar pandang seakan mengobati kerinduan yang sudah lama terpendam dan menumpuk, tetapi tidak. Tatapan itu seakan mencoba menelisik, merasuki alam pikirku. Ia terlihat lebih serius. Bahkan untuk membalas senyumku pun, ia hanya mengumbarkan senyum simpul yang amat kecil.
“Bagaimana kabarmu?” ia mulai memecah keheningan.
“Baik. Kau sendiri, Ray?”
“Seperti yang kau lihat.”
Percakapan kami terpotong oleh kedatangan seorang pelayan yang membawakan segelas lemon tea pesananku. Kembali keheningan mengambil alih. Hanya terdengar suara bising di luar dinding tak kasat mata yang kami ciptakan juga suara sendok yang menyentuh permukaan gelas saat aku mengaduk lemon tea di hadapanku.
“Lalu…. Ada apa kau memanggilku?” kali ini suaraku yang berusaha memecah keheningan.
“Aku sayang padamu,” itu yang ia katakan.
Meski mataku masih terfokus pada gelas di hadapanku, aku bisa merasakan aliran tatapan matanya yang begitu lurus semenjak tadi sembari mengatakan hal itu. Tak ada yang bisa kukatakan. Aku hanya bergumam pendek dan mulai menyeruput kesegaran minuman yang kupesan tadi.
“Sudah sejak lama dan kau tahu akan hal itu karena terlalu sering aku mengatakannya padamu.”
“Ya, aku mengerti.”
Ia diam, tapi tatapannya masih sama. begitu serius dan lurus berusaha menelisik dalam untuk mengorek isi hatiku. Aku juga, tak berniat untuk membalas tatapannya dan memutuskan untuk terus bergelut dengan gelas bening.
“Kau tahu berapa lama kita tidak bertemu?”
“Ya, sekitar satu bulan.”
“Dan apa kau ingat kapan aku menghubungimu terakhir kali?”
“Dua minggu terakhir ini.”
Lagi-lagi ia diam. Kali ini kuberanikan diri meliriknya sedikit sembari kembali menyeruput minuman dengan sedotan. Ia menyandarkan diri pada sandaran kursi sembari mencengkram sebagian rambutnya. Ia menghembuskan napas perlahan, sepertinya berusaha menenangkan diri. Emosi mulai ingin menguasainya. Bisa dilihat dari buku-buku kernyitkan dahinya. Kurasa ia kecewa akan sikapku saat ini.
Kembali aku mengalihkan bola mata agar ia tidak menyadari tatapanku saat ini. Aku tetap menggigit sedotan tanpa menggunakan daya hisap. Berpura-pura sibuk dengan sendok teh, memutar-mutarnya dalam larutan coklat bening.
“Dira, aku mengerti kalau kau memang belum menjadi kekasihku. Tapi kau seakan tak pernah menolak sikap baikku yang memiliki maksud padamu. Jujur saja, aku bingung,” ia mulai meneruskan pembicaraan.
Aku diam saja dan terus mengaduk-aduk lemon tea, kali ini dengan sedotan. Kurasa ia masih akan melanjutkan kalimatnya.
“Kau sebenarnya ingin aku bagaimana?”
“Entah. Aku sendiri tidak mengerti.”
“Lalu bagaimana? Sekali pun tak pernah aku mendengar kalimat sayang keluar dari mulutmu. Jujur saja, semakin lama aku semakin bingung dipermainkan oleh sikapmu yang setengah-setengah itu.”
Mulutku bungkam. Kuhentikan segala kegiatan tak penting yang sejak tadi kulakukan namun jemariku masih merengkuh sendok erat-erat. Hatiku ngilu mendengar ucapannya, menampar perasaanku keras.
“Apa hal itu harus diungkapkan? Apa tidak cukup hanya tindakan dan perasaan saling mengerti?” akhirnya lidahku bisa bebas dari rasa kelu.
“Bagaimana aku bisa tahu kalau sikapmu seperti ini? Bahkan kita tidak saling bertemu dan berhubungan lama pun kau bersikap tak acuh. Bagaimana aku bisa mengerti perasaanmu? Jelaskan, Dira…!” nadanya sedikit meninggi. Ia mulai kehilangan kontrol.
Aku tetap diam, kembali berkutat dengan minuman yang mulai kehilangan suhu dinginnya. Aku menggosok-gosok permukaan gelas yang berembun tanpa menatap laki-laki di depanku.
Beberapa mata memperhatikan kami. Pertikaian kecil itu sepertinya menarik perhatian beberapa orang. Ia kembali bersandar pada kursi dan memalingkan muka. Kudengar ia berdesis pendek, mencurahkan emosinya. Sejurus kemudian ia kembali menatapku – sama, dengan tatapan lurus yang menelisik. Ia menghembuskan napas perlahan sebelum mulai bicara lagi.
“Kau tidak pernah sekali pun menghubungiku lebih dulu. Haruskah aku yang selalu menghubungimu? Apa kau sama sekali tak punya hasrat untuk mendengarkan suaraku seperti aku yang selalu berharap mendengar suaramu tiap detiknya? Tidak kah kau ingin bertemu denganku tanpa harus aku yang mengajakmu?” seruntun pertanyaan ia sodorkan.
“Apa tidak cukup dengan sikap baikku padamu?”
Ia menarik tanganku yang semenjak tadi tak mau lepas dari gelas dan menggenggamnya. Genggaman tangannya kuat, penuh harapan dan kehangatan. Aku masih menunduk, tak sanggup membalas matanya yang tak bosan memaku diri padaku.
“Dira, mengertilah. Aku sayang padamu, sungguh. Kau sendiri tahu kan seberapa lama aku menautkan hatiku padamu? Tiga tahun. Ya, selama itu. Dan kau terus menggantungkan aku dalam ketidakpastian. Hari ini aku menemuimu ingin menanyakan kepastian darimu.”
Mulutku masih terkunci. Ia malah kembali menyeruput minuman yang kurang dari setengah lagi. Laki-laki itu juga masih diam tak melepaskan matanya dariku seakan tak mau melewatkan sedetik pun dari ekspresi wajahku. Kali ini kuberanikan diri untuk membalas matanya yang terasa menusuk. Aku menarik kembali tangan yang tergenggam oleh telapak tangan yang besar itu. Aku mengambil napas dalam sebelum mulai bicara.
“Aku tidak ingin mengekangmu.”
“Tapi aku tidak merasa terkekang. Bahkan aku terlalu bebas. Aku ini bagaikan burung yang tak memiliki sangkar.”
“Dan aku tidak ingin dikekang.”
“Ada kah diriku pernah mengekangmu? Aku hanya memberikan perhatianku padamu dan membebaskanmu melakukan apa yang kau mau selagi itu dalam batas kewajaran.”
Ia kembali menggenggam tanganku. Lagi-lagi lidahku kelu. Aku kembali melemparkan bola mataku jauh, menghindari tatapan matanya yang semakin lama semakin menusuk dan mendesakku untuk bicara. Berkali-kali ia memanggil namaku dalam bisikan, memohonku untuk membuka mulut dan memberikannya kepastian. Tapi hanya ribuan alasan saja yang saat ini ingin kupikirkan.
“Apa jika saling menyukai harus saling mengikat diri dalam hubungan yang disebut pasangan kekasih?”
“Aku tidak bermaksud begitu. Paling tidak sekali saja, katakan padaku bahwa kau pun sayang padaku. Katakan bahwa aku berarti dalam hidupmu. Bahwa aku tiang pondasi rumahmu.”
Hening kembali menyeruak.
“Maaf, aku tidak bisa,” hanya seuntai kalimat itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku masih menunduk, kali ini terfokus pada bongkahan es yang sudah mengecil karena penguapan dan mencair. Aku tak berani menatap matanya karena hanya ketidakjujuran yang bisa tersampaikan.
Kurasakan tangannya yang menggenggam tanganku erat tadi mulai melonggar. Kali ini ia yang menarik lengannya.  Aku melirik ke arahnya. Keningnya sungguh mengkerut begitu dalam. Ia menghela napas sembari mencoba tersenyum, namun hanya kesenduan yang kulihat dari senyum itu. Kekecewaan yang sangat besar mengalir dari dirinya. Kurasa aku telah mematikan satu lilin hidupnya. Aku telah mematikan keindahan pancaran mata biru yang biasa ia berikan.
“Aku memanggilmu ke sini untuk memastikan apa aku boleh terus berjuang atau harus menyerah mendapatkan hatimu yang sulit ditebak itu. Tapi aku sudah terlalu lelah. Kita akhiri saja hubungan ini, ya?”
Pertanyaan itu kembali menghantam jatuh mentalku. Tapi sebisanya aku tetap berdiri tegak, setidaknya ragaku bisa begitu dengan tetap tak mengekspresikan apa-apa. Aku menyeruput lemon tea yang tak sampai lima teguk lagi.
“Dira, tatap aku, kumohon. Bilang padaku bahwa kau sayang padaku. Cegah aku. Katakan tidak untuk pertanyaanku itu,” suaranya begitu lirih mengiris-iris bagian dalam tulang rusuk. Tapi aku tak bicara apa pun. Sekali lagi ia tersenyum lirih. Kali ini ia pasrah. “Bahkan saat terakhir ini pun aku masih berharap kau bicara padaku. Tapi sepertinya mustahil karena kau sama sekali tak peduli denganku.”
Ia beranjak berdiri dari tempat duduknya, masih diam sambil menatapku yang terus menunduk menyembunyikan bola-bola mataku. Ia perlahan mendekat padaku kemudian dengan lembut dan ringan mengecup kening kiriku. Aku bisa merasakan ia tersenyum, meski amat dipaksakan seraya mengelus kepalaku.
“Maaf sudah menyusahkanmu selama ini, Dira. Aku duluan. Selamat tinggal. Jaga dirimu baik-baik dan semoga kau bertemu dengan pria yang bisa mengerti dirimu melebihi kau sendiri,” ia bicara, ucapan yang akan menjadi kalimat terakhir yang kudengar darinya.
Aku mengangkat wajahku. Ia tersenyum lembut sebelum melangkah pergi meninggalkanku. Kali ini mataku yang terpaku menatap sosoknya yang hilang di balik pintu café. Punggungnya terlihat dingin. Sayapnya rapuh, mungkin telah patah satu. Tapi ia berusaha tetap berjalan tegap dalam kelunglaian mentalnya.
Di sini aku masih tetap duduk di meja tempat aku dengannya masih bersama beberapa saat yang lalu, menyeruput lemon tea tegukan terakhir tanpa mengalihkan pandangan dari pintu kayu yang dipoles cat coklat muda milik café ini. Kosong, tatapanku menerawang jauh. Mencari sosok pria yang tadi duduk di depanku, yang berharap bisa mengorek isi hatiku. Diam-diam sayapku ikut rapuh, mengikuti jejak pria bernama Ray itu. Aku ikut lunglai. Bukan karena iba, tapi karena kebodohanku, juga dirinya yang tak bisa bertahan dengan sikapku.
Ia bilang aku tidak peduli padanya. Ia bilang aku tidak mencintainya hingga ia memutuskan pergi meninggalkan kisah yang tertulis dalam buku kitabku. Lalu untuk apa bening-bening kristal ini jatuh dari pelupuk mata? Mengapa aku remuk redam setelah kepergiannya untuk selamanya? Beri aku alasan yang baik mengapa tiba-tiba kekosongan mengisi serumpun kehidupanku ini.
Aku hanya ingin ia mengerti bahwa aku tak ingin terikat. Aku tak ingin mengikat siapa pun untuk alasan apa pun. Aku hanya terlalu kaku. Lidahku kelu dan mulutku hanya bisa bungkam tanpa bisa bersuara menyerukan perasaanku. Aku terlalu takut untuk mengakuinya. Mengakui bahwa aku mencintainya.
Meluncur dengan cepat, bening-bening air yang terkuras dari kelenjar air mata, jatuh mengisi gelas bening yang tadi berisi lemon tea. Jika air mata bisa menjelaskan perasaanku, akan kusuguhkan segelas air mata untuknya agar ia mengerti, menggantikan kata-kata yang sangkut di tenggorokan. Tapi pada akhirnya gelas itu hanya menampung perasaanku yang tumpah ruah melalui tetesan yang jatuh dari pipi, menyaksikan aku yang perlahan hancur karena kepergiannya.
*****

0 komentar: