Senin, 16 Januari 2012

Staring At You

Anw, saya emang cinta main DDR, mesin game yang nari-nari ikutin arah panah itu. Tapi cerita di bawah ini tidak ada hubungannya dengan kejadian atau pun tokoh sebenarnya. Kalau pun ada kesamaan, itu cuman fiktif belaka. Ini cuma ide cerita yang tiba-tiba muncul dan mengalir dalam pikiran sebelum aku tidur tadi malam. nyehahahah. Btw, judulnya kampungan. Saya emang suck kalo masalah bikin judul. harap maklum saja.

Staring At You
Original by Firdausi R.

Kakinya tak berhenti menghentak di atas mesin game dansa. Gesit ia menari mengikuti panah yang ditangkap oleh matanya dari layar di depannya. Matanya lurus menatap layar, begitu serius, begitu dingin. Entah sejak kapan, aku seakan-akan dihisap oleh tatapan matanya yang lurus dan dingin itu. Seakan-akan dipaksa untuk terus menatapnya, tapi aku sama sekali tak keberatan. “Laki-laki” cantik itu…
Beberapa hari terakhir, “Laki-laki”… maksudku perempuan itu selalu datang ke game centre ini hanya untuk memainkan sebuah mesin game dansa yang marak digunakan untuk pecinta break dance atau semacamnya. Entah sejak kapan aku mulai memerhatikannya. Mungkin sejak ia datang pertama kali. Mungkin sejak itu aku sudah mulai jatuh cinta.
Aku memang sering ke pusat game di sini. Bisa dibilang tempat ini adalah tempat di mana aku melepas penat karena kuliahku yang padat. Hampir setiap hari aku datang ke tempat ini, biasanya setelah pulang kuliah. Tapi akhir-akhir ini aku selalu menyesuaikan jadwal dengan waktu saat gadis itu datang.
Pukul lima sore, biasanya ia datang dan tanpa ragu menuju mesin yang ingin ditakhlukannya. Hari ini pun aku lihat ia datang. Perhatianku tersita olehnya hingga aku tak bisa konsentrasi pada permainan yang kumainkan. Aku sengaja meninggalkan mesin game yang sedang kumainkan.
Gadis itu masih sama, selalu saja datang dengan gaya maskulinnya. Kaos tanpa lengan putih gobor dipadukan dengan celana jeans gobor pula. Kalung tali hitam tanpa mata beberapa menghiasi lehernya. Tangannya dipenuhi gelang karet dan tali. Rambutnya pendek dicacah cocok dengan wajahnya yang kecil.  Aku bukannya tidak suka, sih. Hanya saja ia jadi kelihatan lebih gagah daripada aku sendiri. Sedikit ironis memang.
Di awal permainan saja ia sudah memilih lagu yang paling sulit. Kurasa dia memang ahli dalam permainan itu. Dalam sekejap, hampir seluruh pasang mata di area ini memandangnya. Kecepatan kakinya mengikuti arah gerak panah memang menakjubkan. Tidak heran jika orang-orang memandangnya kagum bahkan sampai berdecak pula. Di samping itu, wajahnya juga memikat, bukan hanya bagi para pria, tapi wanita juga terpikat padanya. Bagiku juga, sosoknya yang berkeringat kelihatan keren.
“Kok, pikiranku maniak begini…,” gumamku tanpa sadar telah memikirkan hal yang memalukan seraya bersandar di punggung temanku.
“Kau kenapa, sih?” tanyanya heran, sedikit waspada padaku karena ucapan itu.
“Tidak apa-apa…”
“Ngomong-ngomong, dia hebat, ya. Kakinya itu… apa benar kaki manusia? Cepat sekali,” komentarnya tentang gadis yang tak kuketahui namanya.
“Yahh, begitulah,” tanggapku. “Kau. Kau jangan sampai terperangkap olehnya, ya. Jangan sampai!”
“Apa, sih? Semakin hari kau semakin aneh,” lagi-lagi ia memandangku waspada.
Aneh, ya. Mungkin. Sebab aku sudah masuk dalam perangkap gadis itu.

-000-

Gadis itu… sudah kubilang wajahnya itu terlihat dingin. Tapi kurasa hatinya tak sedingin itu. Aku sering melihatnya datang ke sini sendiri. Tapi tak jarang pula ia datang dengan teman-temannya berkelompok. Mungkin itu teman-teman satu “geng”-nya. Sebab yang ia bawa selalu teman yang itu-itu saja. Jika aku melihatnya sendirian menakhlukan mesin itu, memang jarang sekali kulihat ekspresinya. Hanya sebuah wajah dingin dengan mata yang menatap lurus layar dan kadang-kadang aku bisa melihat kekesalan di wajahnya karena ia melakukan sedikit kesalahan. Tapi ketika ia bersama teman-temannya, wajah es itu sedikit retak oleh senyum dan tawanya bersama teman-temannya. Ia tidak sedingin itu kurasa.
Ada satu teman laki-lakinya yang kurasa berbeda. Ketika ia bersama pria itu, matanya jadi terlihat lebih teduh. Senyumnya juga dibarengi oleh wajah semunya. Suasananya berbeda ketika ia bersama pria jangkung itu. Mungkin ia menaruh perhatian pada pria itu? Pikiran macam itu sungguh membuat hatiku panas. Sepertinya aku benar-benar sudah jatuh cinta pada gadis “tanpa nama” itu. Yah, paling tidak aku jarang melihat ia bersama pria itu karena ia sering datang sendiri dibandingkan dengan teman-temannya.
Aku juga sering melihatnya main bersama anak SD, mungkin kelas lima, yang akhir-akhir ini juga sering datang ke pusat game ini. Pada awalnya anak itu sering mencari masalah pada gadis itu. Hanya saja perempuan itu sama sekali tak marah meski kulihat ada sedikit rasa kesal dari senyum yang ia berikan. Pada akhirnya bocah itu pun takhluk dengan wanita es itu. Kurasa memang ia berbakat mendekati anak kecil.
“Hei, dik…,” aku memanggil bocah itu yang sepertinya kesal karena kalah bermain dengannya.
“Apa?” sungguh ketus kata-katanya. Kalau saja aku tidak menginginkan sesuatu darinya, sudah kujitak kepalanya.
“Kau akrab dengannya, kan?” aku mengisyaratkannya dengan mata yang memandang gadis itu. “Kau tahu namanya siapa?”
“Kak Eimi.”
“Lengkapnya? “
“Susugi Eimi. Sekolahnya di SMA dekat sini. Kau tahu kan SMA terkenal di kota ini. Ia sekolah di situ. Katanya kelas 3 SMA,” tanpa kutanya lagi, ia sudah memberikan informasi lengkap untukku. “Kenapa? Kau tertarik padanya, ya?” bocah ini berani menggodaku. “Kukasih tahu dia, ah.”
“Kuhajar kau kalau bicara yang tidak-tidak,” ancamku. “Lain kali kutraktir kau minum, deh,” aku memberikan roti sisa makan siangku yang belum terbuka.
Ia pergi masih dengan cengiran yang mengejekku. Tapi kurasa dengan itu ia tidak akan bicara macam-macam pada gadis yang bernama Eimi itu.
Tanpa kusadari sebuah senyum yang tak sanggup kukulum, terkembang di wajahku. Akhirnya ada sedikit kemajuan meski bukan dalam hubunganku dengan gadis itu. Paling tidak aku sudah tahu siapa namanya. Eimi…

-000-

Jam lima sore, ketika langit akan ditinggalkan oleh penerangnya, ia yang bernama Eimi kembali datang ke game centre. Ada yang beda darinya. Kalau dilihat sekilas memang tak ada yang beda. Style laki-lakinya tak berubah. Aksesoris yang melekat di tubuhnya pun tetap sama. Tapi kurasakan auranya sedikit berbeda. Mendung. Kulihat tersirat kesedihan di balik sorot matanya yang tajam dan dingin itu.
Aku tak mampu berpaling darinya. Jadi terus kuperhatikan ia. Kakinya masih sama lincahnya dari sebelumnya untuk mengikuti panah yang mengalir di layar kaca. Tapi wajahnya tidak setenang biasanya. Setiap kali ia main, wajahnya serius tanpa ekspresi. Kali ini tidak. Alisnya mengkerut dalam. Ia menggigit bibirnya kuat, hampir-hampir aku merasakan rasa sakit dari bibir bawahnya yang hampir berdarah. Tiba-tiba gerakannya melambat lalu berhenti. Padahal lagu belum selesai. Tak biasanya ia begitu.
Kulihat ia tetap memaku diri di tempatnya. Ia menunduk, wajahnya begitu keruh seakan-akan jiwanya telah melayang. Terdengar suara mesin berteriak “game over”. Biasanya ia akan berdecak kesal. Kali ini tidak. Ada yang salah dengannya. Lalu tiba-tiba saja ia terisak. Air matanya begitu banyak jatuh di pipinya. Sekali lagi ia menjadi pusat perhatian. Tapi tak seorang pun punya inisiatif untuk mendekatinya.
“Ini,” aku menyorongkan sapu tangan padanya. Ia mendongak untuk melihat wajahku, lalu entah kenapa ia malah semakin terisak. Mau tidak mau aku harus membawanya jauh dari tempat ramai itu.
Kubawa ia ke tempat duduk terdekat. Tak ada suara kecuali isak tangisnya. Eimi menutupi wajahnya dengan sapu tangan yang kuberi. Ia masih belum puas menangis atau mungkin karena air matanya memang sulit untuk dihentikan.
Kuperhatikan ia. Dari jarak sedekat ini, ia terlihat semakin cantik. Ternyata dia benar-benar seorang wanita meski penampilannya layaknya lelaki. Secepatnya aku memalingkan wajah. Bisa gawat kalau ia lihat wajahku bersemu karena menatapnya. Sungguh, aku sudah terjerat olehnya.
“Kau… boleh cerita padaku kenapa kau menangis kalau kau mau,” ujarku setelah tangisnya sudah cukup reda.
“Terima kasih. Kau sungguh baik,” ujarnya menunjukkan senyum tulus. Gawat.  Dia sekali lagi membuatku jatuh cinta. “Aku sudah merasa baikkan. Aku mau pulang. Lain kali kalau aku bertemu denganmu, kutraktir sesuatu, deh. Sampai jumpa,” ujarnya lalu beranjak pergi dari situ.
Ia melangkah dengan mantap. Gadis itu benar-benar tegar.

-000-

Kutraktir sesuatu, katanya. Tapi itu pertemuanku terakhir dengannya. Waktu mengalir bagaikan air. Satu tahun telah lewat. Tapi aku masih terpaku menatap mesin tari itu, berharap gadis itu datang lagi menantang besi dingin itu dan mengalahkannya. Tapi ia tak kunjung datang. Aku tak tahu pasti ia pergi ke mana. Bahkan bocah yang akrab dengannya pun tak punya kabar tentangnya.
Gadis itu sungguh tak bertanggung jawab. Mengikatku dalam cinta sepihak tapi tak melepaskanku bahkan tak memberiku kesempatan untuk bicara lebih banyak lagi bersamanya. Rasanya hampa. Tiba-tiba datang, lalu pergi. Padahal ia belum menyelesaikan lukisan pada dinding jantungku. Aku masih mengharapkannya datang.
“Hei, bocah. Main denganku. Kalau kau menang, kutraktir kau makan,” tantangku pada bocah yang sudah menginjak enam SD itu.
Ia sekarang malah jadi akrab denganku. Kurasa ia juga kesepian karena Eimi tak pernah datang. Dan kurasa diam-diam ia juga jatuh cinta pada kebaikan Eimi. Rival cintaku, mungkin. Tapi aku tak menganggap bocah enam SD itu benar-benar jadi rival cinta. Aku menganggapnya sebagai adik laki-laki yang suka mengganggu kakaknya, itu saja.
Kakiku bergerak ringan mengikuti panah yang muncul di layar. Sekarang aku bisa dibilang ahli dalam permainan ini. Satu tahun aku bergelut dengan game ini sambil terus berharap Eimi datang. Dan hasilnya aku jadi bisa pandai memainkannya.
“Sialan. Kau pasti curang, kan? Bagaimana bisa kau sekarang jadi lebih hebat dariku? Yang mengajarimu main, kan, aku,” bocah itu menggerutu karena nilaiku lebih tinggi dibandingkan nilai yang ia dapatkan. Aku hanya tertawa renyah sembari mengacak-acak rambutnya, memaklumi kekesalannya.
Tanpa sengaja aku menoleh ke belakang. Aku sesaat terdiam. Kuharap bukan mimpi. Aku menemukan Eimi berdiri di belakang mesin game. Entah sejak kapan ia ada di situ. Sesaat kulihat ia terhentak kaget ketika mata kami saling bertemu. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan tapi kemudian melirik ke arahku lagi. Tubuhnya kaku. Ia ragu ingin menyapaku atau tidak. Sikapnya yang malu-malu itu sungguh manis. Aku tertawa geli melihatnya.
“Selamat datang kembali,” sambutku dengan senyum.
“Terima kasih,” ia balas tersenyum padaku. Suasana kaku itu berhasil dilelehkan.
Aku senang. Pada akhirnya Tuhan mempertemukanku dengannya lagi.

-000-

Café yang sederhana. Tapi desainnya sungguh cantik. Tak ada dinding yang menutupi café itu. Hanya atap dengan jerami yang dianyam yang menaungi dari sengatan matahari. Hijaunya rumput dan pepohonan membuat udara terasa lebih segar. Air terjun buatan di samping kasir menimbulkan beriak suara air yang saling bertemu. Berisik memang. Tapi tak mengganggu pendengaran. Malah rasanya aku seakan-akan berada di tempat yang sejuk dan nyaman.
Saat ini kami –aku, Eimi, dan satu bocah pengganggu- memang sedang berada di café itu setelah puas bermain. Lima set aku menantang Eimi bermain, dan tak sekali pun aku bisa menang darinya. Sekali pun kemampuanku bisa dibilang hebat, tapi aku masih tak mampu menandinginya. Sepertinya ia memang punya bakat alami memainkan permainan itu.
Kulirik ia diam-diam. Ia sedang mengaduk-aduk kecil es lemon yang ada di depannya. Kuperhatikan ia. Ada yang beda darinya. Gaya berpakaiannya sudah tidak semaskulin yang dulu. Yang ia pakai sekarang big jill hitam lengan panjang yang sedikit kedodoran. Celana jeans yang menempel memperlihatkan bentuk kakinya yang jenjang. Meski ia masih terlihat maskulin dengan sneakers putih bercorak hitam.
Rambutnya juga sudah lebih panjang dari terakhir yang kulihat. Wajahnya tak sepolos dulu. Sekarang ia sudah memakai kosmetik tipis untuk merias wajahnya meski itu hanya menggunakan bedak juga pewarna bibir pink yang tipis. Matanya juga tidak sedingin yang dulu. Sekarang ia sedikit terlihat lebih lembut. Atau mungkin memang sejak dulu ia seperti itu, hanya saja aku tak menyadarinya.
Gawat… Benar-benar gawat. Aku tak sanggup menatapnya lama-lama. Kali ini aku sungguh melihatnya sebagai wanita. Aku tak tahu seberapa merahnya wajahku saat ini. Tapi kuusahakan untuk menyembunyikannya di balik lengan yang menopang wajahku. Bahkan hanya dengan memandangnya saja, adrenalinku terpacu lebih dari saat aku menatapnya dari kejauhan waktu itu.
“Hei..!” bocah itu menyikut perutku. Ia kesal melihatku yang terpesona pada gadis yang ia kagumi.
“Aku tahu, bodoh…,” bisikku padanya.
“Ternyata kau hebat juga main, ya,” komentar Eimi.
“Yahh… itu…” aku masih tak sanggup menatap matanya. Tatapannya begitu kuat. Sepertinya ia memang diajari bahwa ketika bicara harus menatap mata orang.
“Aku yang mengajari,” bocah itu memotong kata-kataku.
“Tapi kau malah didahului olehnya, ya,” kadang kata-kata Eimi benar-benar menusuk meski ia bicara dengan senyum tanpa dosa. Si bocah hanya berdecak kesal sembari melipat tangannya di atas perut.
“Kau sekarang kuliah, kan? Di mana?”
“Di universitas sini juga. aku ambil jurusan manajemen dan bisnis.”
Satu universitas denganku rupanya. Meski begitu wajar saja aku tak pernah melihatnya. Aku dan dia beda fakultas dan jurusan. Lagipula universitas tempat aku kuliah itu kawasannya sangat luas.
“Kenapa kau tidak pernah datang lagi?”
“Ternyata kau sering melihatku di sana, ya,” ia tertawa kecil.
“Yahh, begitulah. Biasanya kau semangat sekali kalau menyangkut dengan game itu,” jawabku tanpa memberitahukannya bahwa hampir setiap hari aku memerhatikannya.
Kali ini dia diam. Ia tak bicara satu patah kata pun. Tapi tangannya masih mengaduk es lemon di depannya yang mulai tak dingin lagi dengan sedotan. Wajahnya sendu. Warna matanya sama seperti ketika aku melihat ia terakhir kali tahun lalu. Begitu mendung, seakan-akan ia sedang digerayangi oleh kesedihan. Udara rasanya tiba-tiba terasa berat hingga aku sulit bernapas.
“Kau ingat saat aku menangis dulu?” tanyanya setelah lama diam. Aku hanya menggumam. “Kau pernah liat, kan, kalau aku kadang-kadang main dengan teman-temanku? Satu dari mereka yang mengajariku memainkan game itu.”
“Ohh…” gumamku tak tertarik karena aku yakin yang dibicarakannya adalah laki-laki yang selama ini ia tatap dengan pandangan lembut.
“Aku menyukainya…” ujarnya lagi.
Kulihat wajahnya merah. Hatiku berdesir. Rasanya aku ingin marah melihat ia tersipu hanya karena satu laki-laki itu. Ya, boleh dibilang aku cemburu. Kenapa bukan aku? Eimi… dia sungguh kejam. Tanpa ia sadari telah menjeratku dalam jaringnya, tapi aku dibiarkan begitu saja tanpa ia perhatikan. Sekarang ia malah membahas laki-laki yang ia sukai.
“Aku menangis karena dia,” kali ini ia membuatku terkejut dengan pernyataannya itu. Ia mengembangkan senyum simpul yang sendu. “Dia…teman kakakku, dua tahun lebih tua dariku. Aku jatuh cinta padanya. Ia baik padaku, seakan-akan menaruh perhatian lebih padaku. Tapi ternyata… aku hanya dijadikannya sebagai pelampiasan karena bertengkar dengan kekasihnya. Makanya, waktu itu aku menangis.”
“Lalu, saat ini kau masih berhubungan dengannya?”
“Aku tak bisa lepas darinya. Kebaikannya membuatku semakin jatuh cinta meski aku tahu hal itu akan semakin menyakitiku. Kau pasti tahu ada pepatah yang mengatakan cinta membuat seseorang menjadi masokis. Yah, begitulah. Meski tahu aku berkali-kali dicampakkannya, tapi aku tak bisa membiarkan diriku jauh darinya. Aku senang berada di sampingnya. Ironis, ya,” tampak sebuah senyum kembali ia kembangkan, tapi yang aku lihat ia hanya menahan tangisnya. “Hari ini juga aku kembali dicampakkannya. Sepertinya ia menemukan kekasih baru,” sekali lagi wajahnya mendung. “Aduh… kenapa aku jadi cerita padamu, ya.”
Menyebalkan… Benar-benar menyebalkan. Dadaku bergemuruh panas. Rasanya otakku pun mendidih. Aku benci pada ia yang mau dibodohi karena mencintai. Aku benci pada ia yang jatuh cinta pada pria brengsek seperti itu. Aku benci pada ia yang tanpa sadar malah melukai hatiku dengan ceritanya. Tapi yang benar-benar membuatku marah, aku cemburu pada laki-laki brengsek yang berhasil membuat Eimi berbuat begitu jauh untuknya.
Aku mengepalkan erat kedua tanganku, menahan agar amarahku tak berhamburan keluar.  Tapi seberapa pun aku ingin menahannya, tetap saja ada sebagian amarah yang tak mampu kutahan dan menguap keluar.
“Kau, apa kau bodoh!? Kau itu dipermainkannya, tahu! Memangnya kau bukan manusia yang punya hati?! Kau bilang kau bahagia, tapi wajah jelekmu itu ketahuan sekali ingin menangis, tahu! Kenapa kau sebodoh itu? Apa kau pikir tak ada laki-laki yang lebih baik dari dia?” sebagian emosi itu membuatku tak berhenti membentaknya dengan suara yang semakin meninggi dan tak sadar aku berdiri menghentak meja.
Bocah enam SD di sampingku sedikit merasa takut. Ia terkejut melihatku yang tiba-tiba marah. Eimi juga tercengang mendengar bentakanku. Tapi sekali lagi ia tersenyum maklum. Sepertinya begitulah ia menakhlukan bocah itu dulu. Dengan senyum, lalu orang yang dihadapinya tak berdaya lagi, sama sepertiku saat ini.
Aku kembali duduk sembari meremas sebagian rambutku, menyembunyikan wajahku. Aku tahu saat ini wajahku terlihat jelek sekali. Kelihatan sekali bahwa aku sedang kesal dan cemburu. Aku hampir lupa bagaimana merilekskan alis yang mengerut dalam.
“Maaf…”
“Aku mengerti kau marah. Tidak apa-apa. Terima kasih,” ujarnya.
Kami diam. Aku masih tak sanggup menatap wajahnya. Si bocah juga tak berani bicara dalam suasana yang begitu berat itu. Lalu dering ponsel Eimi memecah keheningan. Ia menatap layar ponselnya. Dari raut wajahnya yang berubah tegang, aku tahu telepon itu dari laki-laki brengsek itu.
Eimi mengangkat teleponnya. Aku tak tahu apa yang dibicarakan laki-laki itu sebab Eimi tak mengucapkan apa-apa. Ia hanya tiba-tiba mengalihkan pandangan, jauh keluar dari kawasan café. Kutelusuri pandangan itu, dan kutemui lelaki jangkung yang tak asing bagiku. Setidaknya aku tahu dia meski tak kenal. Laki-laki yang mampu membuat Eimi terlihat menyedihkan.
“Maaf, aku keluar dulu,” ijin Eimi setelah menutup telepon.
“Kau mau mendatanginya? Sudah cukup! Apa kau tak merasa kasihan pada dirimu sendiri?”
Ia hanya tersenyum. Lalu beranjak dari tempatnya.
Aku tak menoleh padanya ketika ia beranjak pergi. Aku tak mau melihat sosok wanita itu berlari pada laki-laki lain. Bodoh sekali. Aku jatuh cinta pada wanita yang menyedihkan. Yang tak bisa lepas dari laki-laki yang menyakitinya. Tapi… bagaimana pun juga aku tidak bisa menyalahkannya sepenuhnya. Pada kenyataannya, meski aku tahu ia menaruh perhatian pada lelaki lain, aku tetap menyimpan hatiku untuknya. Bahkan aku tahu ia mencintai orang lain sebelum aku bisa saling bertegur sapa seperti ini dan aku jatuh cinta padanya juga jauh sebelum ini. Aku sama bodohnya dengan ia yang tak bisa dengan mudah melupakan orang yang mencampakan dirinya.
“Dasar pemarah!” gerutu bocah yang akhirnya bersuara.
“Berisik!”
“Kenapa kau tidak tahan dia?”
“… aku… juga inginnya begitu…” gumamku kecil. “Sudahlah. Aku mau pulang. Kau juga pulanglah, bocah,” aku beranjak dari tempat dudukku, meninggalkan bocah itu.
Baru saja aku ingin pergi menjauhi area café, aku dikejutkan dengan sosok Eimi yang ingin kembali ke dalam café.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Kau sendiri? Tidak jadi ke tempat pria brengsek itu?” tanyaku ketus.
“Kan kubilang aku pergi sebentar saja. Aku bertemu dengannya untuk bilang bahwa aku tidak bisa lagi berada di sampingnya,” ujarnya tersenyum. Kali ini senyumnya terlihat lebih segar. “Semua berkat kata-katamu. Aku hari ini kembali ke game center itu juga karena berusaha mencari kenangan-kenangan indah bersama dia agar aku tetap kuat berada di sampingnya. Tapi seperti kata-katamu, aku ternyata benar-benar bodoh.”
“Baguslah kalau kau mengerti,” kali ini aku melembutkan suaraku tapi berusaha untuk tidak terlihat terlalu senang dan lega hingga tetap terdengar agak ketus. “Lalu ia bilang apa?”
“Ia bilang tidak apa-apa. Ia juga merasa terlalu jahat padaku. Makanya ia membiarkanku pergi dari sisinya. Makanya, jangan sebut dia brengsek terus. Sebenarnya dia orang baik,” koreksinya. Kalimat terakhirnya yang memuji pada pria itu sedikit membuatku cemburu. Tapi kali ini aku bisa menangani rasa cemburu itu. “Makasih, ya, ng…”
“Izumi… Sakurai Izumi.”
“Aku Susugi Eimi.”
“Aku tahu,” jawabku dengan senyum tulus padanya. “Kita berteman baik dari sekarang, ya.”
Ia hanya mengangguk dengan senyum yang manis. Rasanya seperti lama sekali aku tak melihat senyumnya yang seperti itu.
“Mau pulang bersama-sama?” tawarnya.
“Boleh saja. Lain kali… kita main sama-sama, ya.”
“Iya. Ngomong-ngomong, mana bocah itu?”
“Sudah kusuruh pulang,” jawabku dengan tawa renyah.
“Dasar,” tegurnya tapi sama sekali tak ada kemarahan dari nada suaranya.
Kami berjalan, menyelaraskan langkah kaki di sepanjang jalan. Tak ada kekesalan lagi dalam hatiku. Tak ada lagi rasa cemburu. Rasanya aku lega. Berdua dengannya dengan jarak sedekat ini, sungguh membuatku bahagia. Kadang-kadang lengan kami saling bersentuhan tanpa sengaja. Kuberanikan diri untuk menggandeng tangannya. Ia hanya tersenyum.
Aku semakin menyukainya dari waktu ke waktu. Berjalan berdua dengannya, dapat menyentuhnya untuk saat ini, sudah cukup bagiku. Setidaknya untuk saat ini perjalanan cintaku mengalami kemajuan. Aku hanya berharap, setidaknya waktu tidak akan membawaku jauh darinya lagi.

-000-

0 komentar: