Selasa, 03 Januari 2012

To Be Honest, I...

Hahahah, saya nyuri waktu buat nulis di tengah ujian  karena stress saya udah sampai puncak ubun-ubun. Idenya sudah lama ada, tapi nggak sempat ketulis. Kemaren akhirna saya tulis dalam waktu 3 jam nonstop. Karena cepat-cepat dan kemampuan menulis saya menurun , mohon dimaklumi kalo berantakan.

To Be Honest, I
Original Story by Firdausi R.

- Mirrei’s Pov-

“Dia pacarmu, kan?”
Aku menoleh ke arah pandangan mata temanku itu sedang menatap.
“Yap,” jawabku singkat lalu kembali berkonsentrasi pada makanan di depanku.
“Kenapa nggak sama-sama kamu? Pacarmu, kan? Kok dia dengan wanita lain,” ia sedikit terdengar gusar untuk mewakiliku.
“Temannya. Tidak apa-apa,” jawabku sembari menyumpit udang goreng yang kubawa dari rumah.
Temanku itu terus menggerutu gusar, memprotesku yang hanya diam saja tanpa menunjukan ekspresi apa-apa. Aku… cemburu pun sebenarnya tak punya hak. Hubungan kami dimulai hanya karena merasa senasib akan patah hati masing-masing. Tidak ada cinta di antara kami.

-AAA-

Dulu aku dan laki-laki dengan wajah manis itu sama sekali tak punya hubungan apa-apa. Kami hanya teman satu sekolah di SMP yang jika bertemu hanya saling memberi senyum. Ia temannya teman baikku, Zen, yang pada musim panas menjadi kekasihku. Sejak itu aku mulai bertegur sapa dengannya. Lalu pada musim gugur, Kanata namanya, ia menjalin hubungan dengan sahabatku, Ami.
Aku dan Kanata bukan lagi teman saling tegur sapa atau saling memberi senyum. Dibilang teman baik pun, kurasa bukan. Kami hanya sering saling mencurahkan perasaan saja. Itu pun hanya melalui chatting di jejaring sosial. Kami tak pernah sekali pun berbincang ketika bertemu secara langsung.
Hingga pada musim dingin, aku putus dengan Zen. Kanata pun tak lagi bersama dengan Ami tak lama setelah aku berpisah dengan Zen. Sebulan setelah itu kami tahu bahwa Ami dan Zen sudah lama saling mencintai.
Malam itu bulan tampak redup. Butiran salju sedikit-sedikit turun dengan gemulai dari langit tak berbintang. Pandangan mataku kosong, duduk di atas ayunan di taman dekat rumahku. Zen… ia sungguh tak mengerti seberapa sakitnya hatiku yang terlanjur jatuh cinta padanya. Dinginnya malam itu tak terasa lagi di kulit. Aku mati rasa.
Ayunan di sebelahku berderit sedikit. Aku tahu ada seseorang yang duduk di situ juga. Entah sejak kapan dia ada di situ. Tapi aku tak punya niat untuk menoleh untuk melihat siapa yang ada di sampingku. Aku terlalu tenggelam pada kekalutan hatiku.
“Nggak dingin?” ia memecah keheningan. Dari suaranya aku tahu itu Kanata. Aku tersenyum sendu.
“Kurasa aku sudah mati rasa.”
Keheningan kembali menguasai. Yang terdengar hanya bunyi decitan rantai ayunan yang digerakan perlahan olehku dan Kanata. Kurasa ia juga sedang mengurung diri dalam pikirannya juga. Aku memandang langit, menghembuskan napas panjang. Kepulan udara napasku menunjukkan betapa dinginnya malam bersalju itu.
“Zen brengsek…” gumamku.
“Aku tahu.”
“Brengsek. Ami juga. Kenapa tega padaku. Dasar brengsek. Tak punya perasaan.”
“Ya.”
“Apa kau nggak kesal? Aku merasa dibodohi. Zen bodoh itu nggak tahu seberapa aku menyukainya. Apa kau nggak kesal, hah?” pada akhirnya air mataku tak terbendung lagi.
“Ya, aku mengerti. Berhentilah menangis, Mirrei,” ia membawaku bersandar di pundaknya. “Bagaimana pun aku tak bisa memaksanya.”
Dari tangannya yang mengelus kepalaku, aku tahu ia juga sama sakitnya denganku. Suaranya sedikit bergetar, kurasa ia juga ingin menangis. Tapi ia lebih bisa bertahan dibanding denganku. Kami sama-sama merasa sakit dikhianati teman sendiri. Merasa sakit karena dicintai dalam kepalsuan.
Seiring dengan salju yang tak turun lagi, tangisanku berhenti. Aku sudah lelah dan air mataku kering. Kepalaku masih bersandar di pundaknya. Ia juga masih tak berhenti mengelus kepalaku.
“Bagaimana kau bisa bertahan begitu sabar, sih?” tanyaku heran. Ia tersenyum simpul dengan sebuah dengusan.
“Karena sepertinya kau lebih terguncang daripada aku. Yaah, setidaknya harus ada satu orang yang bisa menenangkanmu.”
“Kuharap sakitmu itu juga cepat berlalu,” tanganku tanpa sadar mengelus kepalanya.
Kami diam sesaat, terpaku pada momen itu. Ia menatap mataku dalam. Matanya yang teduh itu mampu membuatku tak bisa berpaling. Aku tak bergerak, mungkin terpesona pada mata yang mampu membuatku nyaman. Bahkan aku tak sempat untuk menghirup udara. Kurasa aku lupa bagaimana caranya saat itu karena pikiranku penuh dengan bola mata coklat itu.
“Mirrei, kita pacaran saja, yuk,” ia kembali angkat bicara dengan pernyataan yang cukup mengejutkanku. Aku diam dalam keterkejutanku. “Nggak, bercanda. Nggak usah ditanggapi ucapanku itu,” ia tertawa kecil melihat reaksiku.
“Boleh saja,” jawabku kemudian. Kali ini ia yang menunjukkan ekspresi terkejutnya. “Boleh saja. Kita pacaran, kurasa tidak apa-apa. Setidaknya kita bisa saling menopang hingga rasa sakit ini benar-benar sembuh dan tak muncul lagi,” lanjutku.
Kanata tak menjawab lagi. Ia hanya meraih tanganku dan menggenggamnya. Lagi-lagi matanya tajam menatapku dalam. Detik itu aku tahu apa yang akan ia lakukan. Aku pun menutup mata perlahan dan kurasakan hangat di bibirku. Dan sejak itu dimulai hubunganku dengannya.

-AAA-

Langit sudah berubah kemerahan. Pelajaran tambahan di sekolah pada akhirnya selesai. Aku segera merapikan barang bawaanku dan bergegas keluar kelas karena aku tahu Kanata menungguku di depan gerbang sekolah.
Kulihat pohon-pohon di sekitar halaman sekolah tidak berdaun lagi. Ternyata sudah memasuki musim gugur. Pantas akhir-akhir ini angin yang lewat kadang-kadang menusuk kulit. Yahh, kupikir-pikir hubungan anehku dengan Kanata sudah berjalan hampir setahun. Entah bagaimana hubungan ini masih terus berlanjut. Tak satu pun dari kami ingin memisahkan diri meski kadang kejadian seperti tadi saat istirahat terjadi. Karena aku tak punya hak untuk cemburu, karena aku tak ingin berpisah darinya. Sebab kini bukan lagi hubungan tanpa cinta bagiku.
Kulihat sesosok laki-laki sedang bersandar di depan gerbang sekolah. Kakinya menghentak-hentakkan tanah dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Kepalanya mengangguk-angguk kecil mengikuti irama musik yang mengalir melalui earphone yang menempel di telinganya membuat poni cacahnya bergerak lembut. Kurasa ia sedang mendengar lagu All Time Low, band kesukaannya. Aku hanya tersenyum maklum dan segera berlari kecil mendatanginya.
Ia sadar akan keberadaanku yang berlari ke arahnya. Ia lalu melepas earphone-nya, tersenyum kecil padaku, dan melambaikan tangannya sekali. Aku suka dengan gayanya yang santai dan tenang itu.
“Sudah lama?” tanyaku.
“Nggak, baru aja. Ayo pulang,” ujarnya lalu berjalan di depanku.
Ia kembali memasang earphone-nya hanya saja kali ini hanya satu telinga. Satu telinganya ia biarkan terbuka agar dapat mendengar dan mengawasiku. Tangannya kembali masuk ke dalam saku celana. Lama kutatap tangannya yang bersembunyi. Aku ingin tangan itu menggenggam kembali tanganku seperti malam itu. Kupikir-pikir selama kami pacaran, tak pernah sekali pun ia mencoba menggandeng tanganku. Kenangan indahku dengannya hanya terjadi pada malam bersalju saat aku dan dia resmi menjadi kekasih.
Kubuang segera pikiran itu. Aku tahu aku tak berhak berpikir seperti itu. Jadi kusamakan langkahku dengannya dan berjalan di sampingnya. Ia sibuk bersiul mengikuti lagu yang didengarkannya. Time-bomb. Dari nadanya, aku tahu lagu itu yang sedang ia dengarkan. Aku tahu itu lagu kesukaannya.
“Hei, temanku tadi Tanya kenapa kau dengan wanita lain,” ujarku dengan senyuman.
“Begitu? Terus, kau bilang apa?”
“Yaah, kubilang nggak apa-apa.”
“Kau benar-benar nggak cemburu, nih? Harusnya sebagai pacar, kan, kau cemburu.”
“Aku nggak punya hak untuk itu. Kalau kau suka dengannya, ya tidak apa-apa. Kau mau minta putus pun nggak apa-apa,” jawabku seraya tertawa kecil.
“Kau ini nggak lucu, ah,” gerutunya menanggapi jawabanku dengan tawa kecil pula.
Seandainya boleh jujur, aku cemburu. Ya, sungguh aku cemburu. Entah sejak kapan rasa sakit karena dikhianati Zen dan Ami menjadi rasa sakit karena Kanata yang seharusnya jadi penopangku. Aku ingin sentuhan hangatnya. Aku ingin belaian lembutnya lagi. Aku… entah sejak kapan telah jatuh cinta pada kebaikan Kanata, jatuh cinta pada dirinya.

-AAA-

- Kanata’s Pov-

Kupandangi layar ponselku. Tak satu pun panggilan masuk. Tak satu pun pesan baru masuk. Aku melempar ponsel itu di atas tempat tidur di samping tubuhku. Aku menggerutu kesal sembari menggaruk-garuk kepalaku yang tak terasa gatal dan menjatuhkan kepala di atas bantal empuk. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul Sembilan malam dan tak satu pun panggilan atau pun pesan baru masuk.
Mirrei, gadis itu benar-benar tak mengerti perasaanku. Hampir setahun hubunganku dengannya dan tak pernah sekali pun ia yang pertama kali menghubungi aku. Aku tahu bahwa hubunganku dengannya hanya karena merasa satu nasib pada awalnya. Tapi kini berbeda. Tidak. Kurasa sejak awal memang bukan begitu. Merasa senasib, itu hanya dalihku. Sejak awal aku memang jatuh cinta pada gadis tangguh itu.
Memang pada awalnya aku tertarik pada Ami, sahabatnya. Kemudian di tengah hubungan itu, aku mulai saling bertukar cerita dengan Mirrei. Aku dibuatnya terbuai dengan nasihat-nasihatnya. Aku dibuat nyaman dengan kata-kata semangatnya. Ia sungguh gadis yang mampu menjadi penopang orang lain. Entah sejak kapan, aku mulai jatuh cinta padanya. Ami… perasaanku padanya mulai pudar. Hubunganku dengannya juga tak berjalan dengan lancar. Hingga pada akhirnya aku tahu bahwa Ami mencintai Zen dan begitu pula sebaliknya. Sakit hati… kurasa tidak. Aku hanya kecewa karena Ami tak benar-benar mencintaiku. Tapi aku tak berhak untuk merasa seperti itu karena aku pun akhirnya berpaling di tengah jalan.
Di malam bersalju itu, entah karena seluruh inderaku sensitif pada keberadaan Mirrei atau memang hanya kebetulan, aku menemukannya sedang duduk di ayunan di taman ketika aku lewat ingin membeli makan malam. Matanya sendu, kurasa begitu meski aku tak benar-benar bisa melihatnya dengan jelas. Padahal salju setia turun dari langit, tapi ia terus diam di situ membiarkan dirinya ditempeli butiran-butirab es.
Malam itu aku tahu bahwa Mirrei begitu mencintai Zen. Ia tenggelam dalam kesedihannya karena Zen. Aku kesal. Aku marah. Tapi kupendam saja. Zen brengsek katanya dan aku mengakuinya karena ia mampu membuat Mirrei tak berdaya. Tapi bagaimana pun sekali lagi, aku tak punya hak.
Ketika aku bilang ingin jadi kekasihnya, aku tak pernah mengatakannya dengan bercanda. Hanya saja reaksinya yang diam terkejut itu membuatku berkata bahwa aku tak serius. Dan kemudian ia mengiyakan pernyataanku, balik membuatku terkejut. Meski tak ada cinta dari persetujuannya, aku senang. Meski dalam kepalsuan, aku bahagia. Yang kuharapkan hanya kepalsuan itu akan berubah dengan ia yang perlahan-lahan mencintaiku. Itu saja.
Setelah berpikir lama, akhirnya aku mengambil ponselku kembali. kuketik nomor yang sudah kuhapal di luar kepala. Suara sambungan yang monoton segera berganti dengan suaranya yang menjawab telepon yang berarti ponselnya tak jauh dari dirinya. Kalau memang tak sejauh itu, kenapa ia tak mau menghubungiku duluan. Sungguh, aku kesal.
“Halo?” ujarnya.
“Sedang apa?” tanyaku.
Baru saja selesai mandi. Kau sendiri?”
“Kau baru mandi jam segini?!”
“Nggak, sih. Kira-kira setengah jam yang lalu.”
“Terus sekarang sedang apa?”
“Ngg… tiduran.”
“Ck, kau ini benar-benar bikin kesal.”
“Kenapa, sih?”
“Ya, sudahlah. Nggak apa-apa.”
Hening. Gadis itu benar-benar membuatku ingin berteriak. Entah karena ia tidak mau bicara atau memang tak tahu harus bicara apa, tapi setiap kali aku menelepon ia tak pernah memulai percakapan. Selalu harus aku.
“Hei. Kau tidur, ya?”
“Nggak,” jawabnya singkat. “Kau belum jawab pertanyaanku. Sedang apa?”
“Mikirin kamu, bodoh.”
“Bercanda lagi. Kau ini, benar-benar, deh. Nggak bosan denganku? Kau bicara begitu, nanti calonmu yang itu bisa lepas, tahu.”
“Hhh… benar juga,” jawabku tak tertarik. Entah ia pura-pura bodoh atau memang tak mengerti, yang pasti aku sering dibuatnya kesal dengan sikapnya yang tak pernah menganggap serius perkataanku. “Ngomong-ngomong, ulang tahun kau mau apa?”
“Dirimu~”
“Aku tanya serius, Mirrei…” ujarku karena aku tahu ia tak serius, membuatku kesal.
“Hehe. Apa, ya? Aku lagi ingin blackforrest. Itu saja boleh, deh. Belikan, ya.”
“Yang mau memberimu siapa? Aku Cuma tanya saja.”
“Cih, brengsek!” gerutunya. Aku tertawa kecil.
“Sudah malam. Kau cepat tidur, ya. Besok kujemput.”
“Iya, selamat malam.”
“Malam.”
Telepon ditutup. Percakapan selesai kurang dari dua puluh menit. Memangnya ada pasangan kekasih yang bicara di telepon secepat itu. Aku kadang bingung ingin bicara apa dengannya. Ia sendiri tak pernah sekali pun memulai pembicaraan. Aku lelah dengan hal itu, tapi aku terlanjur mencintainya hingga dasar hatiku.

-AAA-

-Third person perspective-

Ulang tahun Mirrei besok. Kanata ingin memberinya hadiah. Blackforrest yang diinginkan Mirrei, ia ingin memberikan itu dengan sebuah tulisan di atasnya. Ia rasa sudah waktunya untuk menyatakan perasaannya sekali lagi. Kue ulang tahun itu sudah ia pesan dan siap untuk diserahkan keesokan harinya.
Ulang tahun Mirrei kebetulan bertepatan pada hari Minggu. Jadi Kanata mengajaknya jalan-jalan untuk mencari hadiah bersama. Lebih mudah baginya jika yang ingin diberikan hadiah memilih hadiahnya sendiri. Mereka janji bertemu di taman tempat pertama kalinya mereka memulai hubungan itu.
Seperti biasa, telinga Kanata dipasangi earphone kesayangannya. Ia memang senang sekali mendengar lagu dari iPhone-nya. Lagu yang lalu di telinganya tak terdengar lagi ketika ia terpaku melihat sosok Mirrei dengan dandanan minimalis di wajahnya sedang duduk di ayunan. Bibirnya dipoles warna merah ranum yang sederhana. Rambutnya diatur sedemikian rupa dengan sedikit gelombang di bagian bawahnya. Mini dress kaos abu-abunya dengan model sportif dan sedikit besar membuatnya terlihat lebih mungil tapi manis. Kanata jatuh cinta untuk kedua kalinya.
Mirrei sengaja berdandan sedemikian rupa. Meski malu dengan dandanan itu karena tidak terbiasa, ia berusaha percaya diri. Dengan itu, ia berharap Kanata akan menatapnya. Berharap Kanata bisa jatuh cinta padanya sebagaimana ia jatuh cinta pada Kanata.
“Sudah lama menunggu?”
“Sekitar lima belas menit.”
“Maaf,” ujar Kanata. “Kau dandan?”
“Kenapa? Manis, ya?”
“Nggak, Cuma nanya. Untung nggak kelihatan kayak tante-tante, ya,” Kanata mengejek berusaha menyembunyikan kegugupannya.
“Kurang ajar.”
“Nggak, bercanda. Kalau kau nggak manis, mana mau aku denganmu, ‘kan?”
“Bicara saja sana sesukamu. Heh!”
Kanata hanya tertawa geli melihat tingkah manis Mirrei yang merajuk. Dengan berakhirnya pertengkaran kecil itu, mereka mulai pergi. Mereka berjalan berdampingan. Tapi jarak di antara mereka terlampau jauh. Kanata terlalu gugup untuk berdekatan dengan Mirrei yang terlihat lebih manis dari biasanya. Padahal ia ingin sekali menggenggam tangannya. Untuk hari ini, ia padahal ingin menunjukkan perasaannya. Tapi jantungnya yang terlalu kencang berdegup membuatnya tak sanggup melakukan hal itu.
Mirrei berharap tangan yang selalu masuk ke saku celana itu menggandeng tangannya hari ini. Tapi sepertinya hari ini pun tak mungkin terjadi karena ia lihat sepertinya Kanata cuek seperti biasa. Rasanya ingin Mirrei menarik sendiri tangan itu. Tapi ia tak sanggup, ia tak berhak.
“Kau mau apa untuk hadiah ulang tahunmu?” tawar Kanata setelah sampai toko aksesoris.
“Kubilangkan aku mau dirimu.”
“Ayolah, sekali saja, tolong jangan bercanda,” Kanata kesal dengan kalimat yang seperti candaan itu. Tapi bagi Mirrei, itu adalah kalimat yang serius ia ucapkan.
Mirrei melemparkan pandangannya, mencari barang yang menarik perhatiannya. Lalu sepasang strip HP dengan gantungan tokoh Jack dan Sandy di The Nightmare Before Christmas menghentikan gerakan bola matanya.
“Ini saja. Yang Jack buatmu dan Sandy buatku.”
“Strip pasangan?” Kanata kurang suka karena menurutnya hal seperti itu kelihatan konyol baginya.
“Kau nggak suka? Ya, sudah. Nggak usah saja kalau begitu.”
“Tidak, tidak apa-apa. Kau nggak mau sesuatu yang lebih mahal?”
“Belikan aku mobil kalau begitu.”
“Kau gila!?”
“Makanya nggak usah sok mau membelikan sesuatu yang mahal. Ini saja aku senang,” Mirrei tersenyum lembut.
“Ya, sudahlah. Kau tunggu saja di luar, ya,” Kanata sedikit menyembunyikan setengah wajahnya dengan tangan. Sesaat ia terpesona dengan senyum itu.
Mirrei mengangguk dan menurut. Ia berdiri di depan pintu masuk toko sambil bersandar ke dinding. Ia bersenandung senang. Paling tidak ada yang menandakan bahwa ia adalah kekasih Kanata dengan adanya strip pasangan itu. Matanya berkeliling melihat keramaian jalan sekitar pertokoan untuk cuci mata. Lalu matanya menangkap dua orang yang tak asing baginya.
Tiba-tiba adrenalinnya meningkat, jantungnya berpacu cepat. Aliran darahnya mengalir tak terkendali, tapi ia tak mampu untuk bergerak dari tempatnya. Dua orang itu tiba-tiba merenggut senyumnya dalam sekejab. Dadanya sakit karena dua orang yang ada di masa lalunya, Zen dan Ami. Yang ia khawatirkan bukan Zen, tapi Ami. Ia tahu bahwa Kanata mencintai Ami. Entah bagaimana untuk saat ini, tapi ia khawatir perasaan Kanata akan timbul kepermukaan lagi. Ia tenggelam dalam ketakutannya itu.
“Maaf, menunggu lama,” ujar Kanata setelah selesai membayar barang belanjaannya. Tak ada jawaban dari Mirrei. “Oy…” panggilnya.
Tapi Mirrei masih pada posisinya dan tak bergerak. Kanata bisa lihat badanya sedikit gemetar dalam posisi diam itu. Ia menelusuri pandangan mata Mirrei dan menemukan apa yang membuat Mirrei terpaku. Sama seperti Mirrei, adrenalinnya terpacu. Sebegitunya kah Mirrei mencintai Zen hingga membuatnya tak mampu mengalihkan pandangan seperti itu? kehadirannya yang hampir setahun itu tak sekali pun masuk menyusup lapisan hati Mirrei? Ia kesal. Rasanya ingin ia membawa Mirrei segera pergi dari situ.
Kanata terlambat membawa Mirrei pergi karena pandangan mereka tanpa senagaja saling bertemu. Gelagat dua orang itu terlihat canggung pertama kalinya. Tapi mereka merasa tidak nyaman jika pura-pura tak melihat dan tak kenal. Pada akhirnya mereka memutuskan mendatangi Mirrei dan Kanata. Kanata menggerutu dalam hati.
Mereka berempat memutuskan untuk bicara di bangku terdekat. Rasa canggung masih menyeruak di antara mereka berempat. Mirrei menunduk, merasa khawatir akan perasaan Kanata. Sedang Kanata kesal dengan kehadiran Zen, pria yang pernah begitu dicintai Mirrei. Zen dan Ami dipenuhi rasa bersalah pada mereka.
“Kalian apa kabar?” Zen memulai percakapan.
“Seperti biasa,” jawab Kanata bicara sebaik mungkin tapi terdengar ketus.
“Kubelikan minuman dulu, ya,” ujar Ami yang berusaha kabur dari kecanggungan itu dan berjalan menuju mesin penjual minuman otomatis.
Zen memberi isyarat pada Kanata agar membantu Ami. Ia ingin bicara berdua dengan Mirrei. Kanata pada awalnya tidak ingin meninggalkan mereka berdua. Tapi Zen terus memohon padanya dengan isyarat mata. Pada akhirnya ia kalah dan menurutinya. Yang ia harapkan hanya tak akan terjadi apa-apa di antara mereka berdua.
Mirrei masih diam. Matanya mengikuti langkah Kanata yang pergi meninggalkannya dan pergi mendatangi Ami. Sesuatu di dalam dadanya berdenyut, begitu sakit, begitu nyeri. Ia begitu berat untuk mengambil napas. Tapi ia berusaha kuat dalam diamnya.
“Mirrei, kau apa kabar?”
“Aku… kurasa baik-baik saja,” ia menjawab sambil lalu. Matanya masih lengket menatap Kanata.
“Mirrei… Maaf… untuk waktu itu. Aku sungguh merasa bersalah padamu.”
Mirrei diam. Matanya menangkap sosok Kanata yang mulai membantu Ami yang kesulitan untuk membawa empat kaleng soda sekaligus.
“Kau ulang tahun, kan, hari ini? Selamat ulang tahun, ya, Mirrei. Dan sekali lagi aku minta maaf padamu.”
Mirrei masih diam. Kini yang ia lihat Ami tersenyum meminta maaf pada Kanata karena telah merepotkannya dengan membantunya membawa kaleng-kaleng yang hampir jatuh di tangannya. Kanata menghela napas lalu tersenyum maklum. Ia tahu Ami selalu ceroboh. Sekali lagi jantung Mirrei seakan-akan ada yang mencengkramnya dengan keras. Lebih sakit dari sebelumnya. Senyum Kanata itu seakan-akan ia akan kembali pada masa lalunya.
“Kau… kenapa muncul di saat seperti ini?” Mirrei akhirnya angkat bicara. “Aku tak peduli lagi bahwa kau pernah menyakitiku. Aku tak peduli lagi dengan kesalahanmu. Tapi kenapa kau harus muncul hari ini dengan Ami? Aku… aku…” air matanya tak mampu dibendung lagi. Ia segera menghapus air matanya dan berdiri. “Aku mau pulang!”
“Ah, hei!” Zen tak sempat menghentikannya karena Mirrei segera melesat berlari.
Kanata melihat itu. Ia segera berlari ke arah Zen. Ia mencengkram kerah baju Zen murka, menghakiminya secara sepihak.
“Kau apakan dia?”
“Lepaskan aku. Dia menangis begitu saja. Dari tadi ia terus menatapmu lalu pergi begitu saja,” jawab Zen dengan tenang agar tak memancing emosi Kanata lebih dari itu.
“Cih, sial!” gumam Kanata kesal.
Ia melepaskan semua kaleng yang ia pegang kemudian berlari mengejar Mirrei tanpa peduli pada Zen dan Ami yang merasa bingung. Kakinya terus berlari di tengah kerumunan manusia mencari sosok yang ingin sekali ia peluk. Tak lama ia menemukan sosok itu. Kakinya semakin cepat melangkah. Ketika tangannya punya kesempatan untuk merai tangan Mirrei, ia segera melakukannya.
Kaki Mirrei terhenti untuk melangkah. Pipinya sudah basah dengan air mata yang berderai. Ia tak bicara. Kanata masih menggenggam lengan Mirrei agar ia tak hilang lagi selama ia mengatur napasnya yang terengah. Kanata lalu menatap Mirrei setelah napasnya mulai tenang.
“Kau, sebenarnya ada apa?” tanya Kanata. Mirrei diam. Ia perlahan melepaskan tangan Kanata yang menggenggamnya.
“Kanata, sebaiknya kita putus saja. Kau carilah wanita yang kau cintai,” ujar Mirrei dengan senyum getir di tengah air mata yang semakin berjatuhan. “Bye.”
Kanata terpaku di tempatnya. Ia shock dengan ucapan Mirrei. Di tengah kerumunan orang, di tengah keramaian itu, ucapan Mirrei terdengar jelas di telinganya. Untuk beberapa saat terus mengiyangi telinganya. Sesaat tenaganya untuk melangkah menguap oleh kata-kata itu. Pada akhirnya ia kembali tersadar. Kakinya menendang udara, merasa kesal. “Cih, apa-apaan!!”

-AAA-

Mirrei mengurung diri di dalam kamarnya. Ia membekap diri di bawah selimut, membiarkan dirinya merasa nyaman di kegelapan dan tempat sempit. Hatinya memang berat melepaskan Kanata. Selama ini ia memang bisa menahan rasa cemburu ketika Kanata bersama wanita lain karena ia tahu hati Kanata yang sebenarnya bukan untuk mereka. Tapi pertemuannya dengan Ami hari ini menyadarkannya bahwa tak ada perasaan yang terjalin ketika hubungan itu dimulai. Ia dan Kanata hanya berdiam diri dalam kepura-puraan yang terlihat nyata. Tak ada hati untuk wanita-wanita itu, tak ada hati pula untuknya.
Handphone-nya berdering. Layar telepon menunjukan nama Kanata yang meneleponnya. Sengaja tak ia angkat, ia tak mau bicara karena saat ini ia pasti tak sanggup bicara dalam sesegukannya. Beberapa kali handphone-nya berdering, tapi ia kukuh pada pendiriannya yang tak mau mengangkat telepon. Lalu handphone-nya sekali berdering menandakan satu pesan baru masuk. Mirrei membukanya. Dari Kanata dengan bunyi, “LIHAT KELUAR, DASAR BODOH!”
Penasaran, ia mengintip dari jendela kamarnya di lantai dua. Ia melihat sosok Kanata berdiri di depan pagar rumahnya dengan sebuah blackforrest besar di tangannya. Yang membuatnya terkejut adalah tulisan “happy birthday” di jalan depan rumahnya yang disusun dengan daun-daun kering yang berguguran.
“Cepat turun, idiot!” Kanata berbisik dengan isyarat mulut pada Mirrei yang bersembunyi di balik tirai. Ia malu berdiri di depan rumah orang dengan daun-daun yang mengotori jalan.
Mirrei segera mendatangi Kanata. Matanya sembab, jadi ia membawa syal untuk menutupi setengah wajahnya. Kanata menyerahkan balckforrest dengan lilin berangka satu dan enam di atasnya. Mirrei bisa melihat tulisan berantakan di atas kue itu. Tertera kalimat “daisuki dayo”.
“Kenapa…”
“Karena aku suka padamu, bodoh,” ujar Kanata. Ia berusaha agar tak terlihat memalukan. Tapi telinganya terlihat merah sekali. “Apa aku harus mengucapkannya secara langsung seperti ini. Cih,” gumamnya kecil sembari memalingkan wajahnya. Ia tak sanggup terus-terusan berpura-pura tenang.
“Tapi… Ami… Kau sejak kapan…” Mirrei tak mampu bicara dengan jelas.
“Jawablah, jangan banyak bicara. Aku malu dan harus segera menyingkirkan  daun-daun yang menghalangi jalan ini.”
“Aku suka… Aku sayang padamu… Kukira kau masih sayang pada Ami. Makanya…” sekali lagi air mata Mirrei berderai. Tapi kali ini karena lega. Kanata membawanya dalam pelukan seraya menepuk-nepuk kepala Mirrei dengan lembut untuk menenangkannya.
“Jadi karena itu kau pergi begitu saja dengan air mata seperti itu. Lebih dulu aku jatuh cinta padamu, bodoh.”
“Sejak kapan?” tanya Mirrei yang melonggarkan pelukan untuk melihat wajah Kanata. Kanata memalingkan wajahnya yang sedikit memerah.
“Tidak tahu. Tapi ketika aku mengajakmu pacaran waktu itu, aku sebenarnya serius.”
“Begitu…” kali ini Mirrei yang tertunduk malu.
“Hei…” panggil Kanata di samping telinga Mirrei, menggelitik hatinya.
Mata mereka berdua saling bertemu. Seakan-akan menelisik ke dalam diri masing-masing, keduanya terpaku memahami lawan mereka. Mencari rasa nyaman dan hangat pada kedua mata teduh yang ditelisik. Dan mereka terbuai pada detak jantung yang seirama semakin meningkatkan aliran darah. Mereka tersenyum lembut lalu saling mendekatkan wajah.
“Pada akhirnya kau dapatkan blackforrest-mu dan aku di hari ulang tahunmu, ya. Happy birthday.”
“Ya, terima kasih.”
Dan bibir mereka saling bertautan di antara daun-daun yang melayang diterpa angin.
-AAA-

0 komentar: