Jumat, 02 September 2011

Sepenggal Kisah Ia Si Gadis Papua


Sebentar lagi di SMANSA Banjarbaru bakal ada bulan bahasa lagi, ya. Tahun lalu kalau nggak salah diadakan bulan Oktober. Saya ikut lomba menulis cerpen tahun lalu. Sayang tahun ini nggak bisa ikut lagi karena udah lulus. Dan ini karya saya tahun lalu yang sebenarnya nggak pantas dijadikan pemenang meski cuma perlombaan antar kelas saja. Check this out :)
___________________________________________________________________________________  

Sepenggal Kisah Ia Si Gadis Papua
Original Story by Firdausi

Coba kalian renungkan, seberapa sering kalian mengejek teman kalian yang berkulit hitam dengan sebutan dasar anak papua atau Irian banget sih mukamu. Lalu seberapa sering kalian temukan orang-orang yang malu bahkan tidak mengakui kota kelahirannya yang berada di bagian timur Indonesia. Sebenarnya apa yang salah dari hal itu? Apa begitu memalukannya kah jika gen timur terbaca di bentuk wajah dan tubuh kita? Banggalah kalian pada Indonesia yang memiliki suku yang beragam dan kau adalah bagian dari hal itu.
****

Aku punya sebuah cerita tentang seorang siswi baru yang masuk ke kelasku pada pertengahan semester ganjil. Kulitnya kecoklatan dengan rambut ikal dan bentuk wajah yang begitu khas. Namanya Ruth Rumawas. Benar saja, ia berasal dari Timika, Papua Barat.
Aku bisa mendengar tawa-tawa kecil yang mengejek dari sisi kelas hanya karena ia berasal dari Papua. Aku bisa merasakan pandangan-pandangan merendahkan yang ditujukkan padanya. Tapi gadis yang terlihat sederhana itu tetap berdiri teguh dengan penuh percaya diri di depan kelas saat memperkenalkan diri. Ia tidak bereaksi terhadap pandangan sinis itu dan tetap tersenyum ramah. Dari situ aku kagum padanya.
*****

Satu bulan sudah ia ikut mengisi kelas yang begitu ramai dan kulihat baru dua tiga orang yang mau berteman dengannya. Itu pun mereka yang cukup terkucilkan di kelas. Para siswi lain lebih memilih berkumpul dengan kelompok elit-nya masing-masing daripada bergaul dengan si kampungan yang sederhana itu. Para siswa pun tidak ada yang peduli dengannya. Aku bisa merasakan bahwa ia terkucil di kelas ini.
Sering kuperhatikan, ia senang menyendiri dengan membaca buku yang kelihatan sulit untuk otak yang tak rajin membaca kalimat rumit. Kadang-kadang ia mengaitkan rambut ikal sebahunya di balik telinga agar tidak mengganggu matanya yang sedang menikmati deretan alphabet hingga otak pun semangat untuk menyerap. Kadang pula kulihat beberapa siswa mengejek di belakangnya, tapi ia tidak peduli. Atau mungkin pura-pura tidak peduli. Ia selalu diam dan tersenyum meski tahu bahwa ia menjadi bahan ejekan. Ia berbeda dengan gadis-gadis yang kukenal senang mendandani diri mengikuti trend barat dan kulihat ia mencintai kota kelahirannya.
“Rian! Apaan, sih. Kayaknya kau memandangi si Papua itu,” salah seorang siswi membuyarkan lamunanku.
“Nggak, nggak apa-apa,” jawabku. “Ngomong-ngomong, memangnya ada yang salah dengannya jadi kalian sepertinya tidak berminat untuk berteman dengannya?”
“Ng… gimana, ya? Bukannya nggak mau, sih. Tapi keliatannya dia sulit. Lagipula dia dari kota di Papua begitu, pasti nggak akan nyambung bicara dengannya. Males.”
“Kenapa nggak dicoba saja?”
“Nggak, ah. Mana mungkin dia ngerti apa yang kami bicarakan. Fashion terbaru saja, pasti dia nggak tahu.”
Aku berhenti bicara dan kembali melemparkan pandanganku pada gadis Timur itu. Kurasa dia memang tidak tahu masalah fashion terbaru. Tapi aku yakin, ia banyak tahu dengan kebudayaannya sendiri. Aku lebih suka gadis yang mencintai fashion tradisional daripada gadis-gadis yang selalu ribut dengan trend baru dan lupa dengan kekhasan bangsanya sendiri.
*****

“Ruth. Kamu, ya, yang jadi kandidat Miss of Indonesian Culture di acara ulang tahun sekolah nanti,” sekelompok siswi mendatanginya yang sedang asyik berkencan dengan buku.
Aku bisa lihat bahwa mereka menawarkan hal itu dengan pandangan mengejeknya. Mereka ingin mempermalukannya di tengah umum. Tersirat kejahatan kecil dari senyum ramah mereka. Aku tanpa sadar berdiri dan menghampiri mereka dengan kesal. Aku kesal mereka mempermainkan gadis baik seperti dia.
“Kalian ini bicara apa, hah?” labrakku.
“Nggak. Kami cuma ngerasa cocok aja kalau dia yang jadi kandidat. Habis, mukanya saja sudah Indonesia banget,” jawab mereka dengan terkekeh kecil. Aku benar-benar kesal dengan mulut yang hanya bisa merendahkan orang itu.
“Hen…”
“Makasih, Rian. Tapi aku terima. Nggak apa-apa, kok,” ia memotong kalimatku dengan senyum penuh keyakinan. Ia benar-benar gadis yang baik.
*****

Tidak ada yang peduli dengan Ruth. Mungkin hanya aku yang terus memperhatikannya. Aku selalu melihatnya berjuang dan berusaha agar menjadi kandidat Miss of Indonesian Culture yang terbaik. Meski tahu ia dijadikan kandidat hanya karena direndahkan, ia tetap berjuang keras. Setiap hari ia membaca buku-buku kebudayaan. Kadang kulihat ia mengangguk-angguk, seakan paham isi dari buku tersebut. Kadang pula ia menggerakkan jemarinya dengan gemulai, mencoba mengikuti gambar tari daerah dari buku.
Aku bisa melihat kepercayaan diri yang begitu besar dari pencaran matanya yang menatap lurus ke depan. Tidak ada yang mengatakan padanya kalimat pemberi semangat. Ah, mungkin ada. Tapi selalu ada maksud tersirat dari kalimat selamat berjuang yang terucap oleh mereka. Aku mendekatinya mencoba memberi semangat seikhlas mungkin.
“Ruth, berjuang, ya. Jangan kalah dengan kata-kata mereka.”
“Thanks. Kau baik,” jawabnya dengan senyum tegas seakan tak ada satu pun yang bisa membuatnya terjatuh. Kembali kekaguman merasuk mengaliri tiap organ tubuhku.
“Kau tahu banyak budaya Indonesia?”
“Nggak juga karena Indonesia itu punya banyak suku dan budaya. Jadi aku nggak tahu semua budaya Indonesia.”
“Sebagian besar?”
“Kayaknya. Tahu nggak kalau tas juga bisa jadi simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan?”
“Begitukah?”
“Di Papua barat ada tas namanya Noken. Noken terbuat dari kulit kayu dan perempuan Papua mengalungkannya di leher untuk membawa hasil bumi atau menggendong bayi.”
“Menarik juga.”
“Begitulah,” ia tersenyum tanpa beban.
“Kau nggak minder dengan kota kelahiranmu itu?” tanpa sadar pertanyaan itu terlontar. “Ah, nggak. maksudku, kan banyak yang nggak suka mengakui bahwa mereka dari Indonesia bagian Timur. Tapi kulihat kau nggak begitu.”
“Untuk apa malu? Papua itu bagian dari Indonesia. Mereka juga orang Indonesia, dan aku juga sama. Yahh, gen kita memang beda, tapi tetap saja satu Negara. Indonesia itu punya ragam suku bangsa dan budaya. Jadi banggalah kalau kau merupakan satu dari sekian banyak suku itu. Kadang-kadang perbedaan itu menyatukan dan semakin mempererat hubungan persaudaraan.”
“Kau benar.”
“Sudah, ya. Sebentar lagi giliranku.”
Break a leg, ya.”
Ia hanya tersenyum lalu menuju belakang panggung. Aku berdiri di bawah panggung. Dari sekian banyak gadis cantik berkulit putih susu yang memakai baju daerah, mataku hanya tertuju padanya yang berdiri tegap tanpa ada keragu-raguan dalam bola mata berwarna hitam pekat itu. Rambutnya digerai dengan rapi. Tak ada sedikit kegugupan yang bisa kulihat. Ia begitu teguh dan kuat. Tak bisa dipatahkan oleh siapa pun. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan dari juri dengan lancar dan jelas menggunakan pengetahuannya yang luas.
Ia memang tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Tapi aku bisa melihat kecantikan dari dalam yang terpencar di hari itu. Ia bukan sekuntum mawar atau pun secantik melati. Ia bukan tanaman hias yang begitu cantik seperti bonsai yang ditata rapi. Ia adalah ilalang. Tumbuhan liar yang tetap kuat meski angin menerpanya. Tumbuhan liar yang memiliki daya tarik tersendiri. Jika kau lihat ilalang begitu saja, tak ada keindahan dari tanaman itu. Tapi jika kau lihat dari sudut yang berbeda, tanaman liar itu begitu indah hingga kau ingin bermain-main di tengah padangnya. Sama seperti gadis Papua yang kukenal itu.
Hari itu, seorang gadis bernama Ruth Munawas dinobatkan menjadi Miss of Indonesian Culture. Gadis yang tidak cantik fisik tapi cantik jiwanya. Dengan keteguhannya, ia membuktikan bahwa ia tidak memalukan. Dengan kepercayaandirinya, ia meninggikan derajatnya di mata orang lain. Hari itu ia membuktikan bahwa dirinya bukan untuk dikucilkan karena perbedaan, sebab Indonesia memiliki beragam warna tapi sejiwa.
*****

“Ayah, kata ibu cepat ke dapur. Makan malam sudah siap,” seorang gadis kecil berambut ikal namun bermata sipit yang menurun dariku membuyarkan lamunanku.
“Iya, ayah akan ke sana. Sebentar, ya.”
Aku menutup album masa mudaku dan mengakhiri rekaman-rekaman yang terputar kembali lalu berjalan menuju dapur. Seorang wanita Timur menyambut kedatanganku dengan senyum ramahnya. Ia tidak pernah berubah sejak dulu. Tetap teguh dan terus menumbuhkan kekaguman menjadi benih bunga di hatiku.
Ya, memoriku yang kembali terputar adalah segelintir kisah masa lalu istriku yang berdarah papua.
*****

0 komentar: