Jumat, 22 Juni 2012

In Heaven


In Heaven
Oleh Firdausi


Ketika waktu memberi kesempatan kedua untuk mengubah takdirmu, kecemasan itu akan menggerogoti. Saat kau pejamkan mata, detik yang berbunyi monoton itu seakan-akan memanggilmu masuk pada kegelapan yang lebih pekat.
Tik tok... tik tok...
Tiap bunyi dengan ketukan yang sama itu seperti menjilatimu, menyulurkan akar, mengikatmu,  mencoba menarikmu pada gelap yang pernah kau lalui.
Ketika waktu memberimu kesempatan kedua untuk mengubah takdirmu. Sanggupkah kau mencari cahaya diantara pekat gelap yang memelukmu?
-oo0oo-

Hari minggu. Jam tanganku menunjukan bahwa waktu telah lewat dari jam delapan pagi. Kakiku masih melangkah dengan irama yang sama. Tangan kiriku mementeng satu kantong plastik besar berisi bahan-bahan makanan dan sayur hijau. Cukup berat, tapi aku senang melakukannya.
Sekali lagi aku melihat jam tangan. Masih menunjukan waktu yang sama. Kurasa laki-laki itu saat ini masih tidur di kasurnya dengan lelap tanpa menghiraukan matahari yang mencuri masuk lewat sela gorden kamar. Bahkan aku yakin ia tidak menghiraukan alarm yang lupa ia matikan. Ia memang biasa tidur seperti beruang yang sedang hibernasi jika memasuki hari libur. Membayangkannya membuatku tersenyum geli. Walau bagaimana pun aku mencintai pria jangkung satu itu.
Kupercepat irama langkah kakiku, tidak sabar ingin menemuinya segera.
-oo0oo-

Rumahnya masih sama. Pekarangannya luas dengan dekorasi taman yang indah. Tanahnya dilapisi rumput jepang yang rapi dengan alur jalan bebatuan putih. Beberapa pohon rindang menaungi jalanku menuju depan rumahnya.
Rumah itu sendiri sederhana. Tidak terlalu besar, tapi bukan ukuran rumah kecil. Dindingnya dicat putih dan masih bersih juga jendela dengan bingkai kayu yang di cat putih pula. Pintunya kaca buram tebal yang pinggirnya dilapisi kayu putih.
Aku menekan bel rumahnya. Aku bisa mendengar derap kaki yang terburu-buru menuju pintu. Tak lama kemudian seorang pria dengan rambut yang masih berantakan mengenakan kaos putih polos lengan panjang yang tipis berdiri di depanku. Aku takjub. Biasanya meskipun lima kali bel kubunyikan, ia tetap bersikukuh untuk tetap terbuai dalam mimpi sehingga aku dititipi kunci cadangan untuk masuk sendiri tanpa bersusah payah membangunkannya.
“Rhea...,” aku melihat sebuah kelegaan tergambar dari raut wajahnya. “Terima kasih,” ucapnya sambil menunduk seakan-akan menahan air mata yang ingin keluar.
“Kau kenapa, sih? Tumben beterima kasih. Tiap hari minggu aku ke sini buat bikin makanan untuk sarapanmu, baru kali ini kau bilang makasih,” jawabku sedikit tersipu.
“Nggak apa-apa. Masuk saja. Biar kubantu kau memasak,” ujarnya masih dengan wajah kelegaan dan kelembutan yang sama.
-oo0oo-

Ray itu biasanya suka seenaknya. Kadang ia memperlakukan aku seperti budak suruhannya. Aku tahu ia sayang padaku. Tapi biasanya ia jarang menunjukan kelembutannya padaku. Sekali pun aku setiap hari minggu datang ke rumahnya untuk menyiapkan sarapan karena ia tinggal sendiri, ia sama sekali tidak pernah ikut membantuku. Yang ia lakukan selalu mengkritik masakan buatanku meski pada akhirnya masakan itu dilibas habis dan ia tersenyum puas lalu mengatakan pujiannya.
Hari ini ia aneh, sungguh. Ia lebih lembut dari biasanya. Lebih memerhatikanku. Lebih... yah, pokoknya berbeda dengan Ray yang sebelumnya. Ia tidak mengkritikku hari ini, tidak juga bersantai-santai selagi aku memasak. Ia juga bangun lebih pagi dari biasanya.
Kami duduk di sofa ruang tengah, menonton dvd yang sudah lama ia simpan untuk kutonton. Ray begitu merapatkan tubuhnya padaku. Tangan kirinya merangkul bahuku santai, sedang tangan kanannya menggenggam tangan kiriku, mengelus-elus jemarinya.
“Rhea. Aku mencintaimu.”
“Iya, aku tahu. Kau aneh hari ini, sungguh. Aku malu mendengarnya,” kusembunyikan wajahku dengan menunduk dalam. Jarang sekali ia bicara seperti itu.
“Kau sayang padaku?”
“Iya, bodoh. Sudahlah. Topik seperti ini kayak bukan kita saja.”
“Rhea...” sekali lagi ia memanggilku.
Suaranya ringan, tapi penuh tekanan yang berat. Sepertinya ia sedang ingin serius bicara. Aku menoleh, menatap matanya. Ada suatu kekeruhan di raut wajahnya. Aku bisa melihat mendung dari sorot matanya yang teduh. Alis matanya mengerut dalam.
“Rhea... Aku... Teruslah di sisiku, kumohon. Kau jangan pergi ke mana pun, ya? Aku sayang padamu, sungguh. Aku...”
Ia tidak meneruskan kata-katanya. Suaranya seakan sangkut di tenggorokan. Tangan yang menggenggam tanganku itu begitu erat namun gemetar. Seakan-akan ia berusaha bertahan agar tidak jatuh, berusaha agar aku tidak pergi.
“Sudahlah, Ray. Aku akan terus di sampingmu. Kau ini kenapa? Apa ada yang salah?” aku membalas genggamannya yang gemetar. Ia mengangkat wajahnya. Kini sebuah senyum yang ia lemparkan, tapi masih menyiratkan sedikit kecemsan. Tangan kirinya beralih dari bahuku, menepis poni yang menutupi keningku, lalu sebuah kecupan ringan yang hangat mendarat di atasnya.
“Iya, nggak apa-apa,” ujarnya. “Eh, Rhea. Seandainya... aku pergi jauh dari sisimu, apa kau akan menangis?”
“Apaan sih? Daritadi bicaramu aneh! Kau mau pergi? Kau punya selingkuhan, ya? Kau mau meninggalkanku, begitu?”
“Nggak. Aku Cuma nanya, bodoh. Mau tahu seberapa besar cintamu padaku,” sebuah cengiran besar menampakan deretan giginya yang rapi. Akhirnya Ray yang usil telah kembali.
“Idiot. Kau pergi, tentu saja aku menangis,” jawabku ketus untuk menyembunyikan rasa malu. “Tapi kalau kau pergi dengan selingkuhan, bakal kukejar biar kubunuh dengan kejam.”
Ia tertawa renyah. Melihatnya seperti itu seakan-akan Ray telah kembali. Sejak tadi pagi suasananya sedikit melankolis sebab mendung sekan-akan menaunginya. Sikapnya yang berubah, kelembutannya yang berlebihan, membuatku takut ia akan benar-benar pergi. Tapi aku lega, sepertinya Ray tidak lagi dinaungi awan mendung.
“Ray, besok sekolah libur, kan? Aku mau jalan. Kita ke taman bermain, ya? Ada wahana baru yang baru dibangun. Aku mau coba.”
Ray tidak langsung menjawab. Tatapannya menerawang menuju pada kalender yang tergantung di dinding sebelah televisi. Sebuah senyum ambigu terpulas di wajahnya. Samar-samar aku merasakan kembali tekanan berat yang tadi pagi ia tunjukkan. Lalu ia cepat menoleh padaku, mengibas kemendungan yang kurasakan. Ia tersenyum manis.
“Boleh, deh,” ujarnya. Aku bersorak senang, memeluknya gembira.
-oo0oo-

Di ujung jalan, kulihat Ray berlari tergopoh-gopoh. Kulihat jam, memang ia terlambat lima menit. Tapi ini benar-benar waktu tercepatnya untuk datang ke tempat janjian. Dua hari ini Ray membuatku takjub berkali-kali. Ia biasanya sering terlambat datang ke tempat janjian. Bahkan waktu tercepatnya adalah lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Saat itu pun ia selalu memasang tampang polos tak berdosa yang sering membuatku kesal.
Tapi kali ini beda. Ray datang lebih cepat dari biasanya. Hanya terlambat lima menit. Dan itu pun lari dengan tergopoh-gopoh. Aku bisa liat ia tergesa-gesa dari butiran peluh yang membanjiri tubuhnya. Dan, Wow! Ia sungguh sangat bersalah datang terlambat.
“Sorry. Aku benar-benar minta maaf karena datang terlambat. Maaf banget,” ujarnya berkali-kali sembari membungkuk dan menangkupkan kedua tangannya di depanku.
“Yahh, nggak apa-apa, sih. Ini rekor tercepatmu, lho. Selamat, ya,” aku menepuk punggungnya dan tertawa sedikit menyindir. Ia hanya tersenyum lalu menggandeng tanganku. “Ah, kau bau keringat.”
“Iya, Sorry, deh. Kalau nggak mau, aku pulang aja, nih,” ia sedikit kesal.
“Nggak apa-apa, aku suka,” kutunjukan deretan gigi dengan senyum yang lebar.
Ray erat sekali menggandeng tanganku. Ia merapatkan badannya padaku, seakan-akan menjagaku dari sesuatu. Satu dua mobil lewat dekat dengan kami, ia lebih mengeratkan genggamannya. Hari ini entah kenapa ia jadi lebih protektif sampai-sampai aku sendiri merasa canggung.
“Apa nggak bisa pakai mobil lebih hati-hati apa,” gerutunya.
“Kau sendiri juga begitu, kan. Sok nasehatin orang,” aku menghela napas. “Ngomong-ngomong, kenapa nggak pakai mobilmu?”
“Nggak. Aku lebih suka jalan kaki. Lagipula waktu bersamamu jadi lebih panjang, kan,” ia menampilkan deretan giginya, berkata tanpa malu-malu.
“Gombal. Dasar bodoh.”
Ia tertawa renyah melihat reaksiku.
-oo0oo-

Kami berdiri di depan gerbang taman bermain yang tertutup. Taman bermain diliburkan. Aku bisa melihat kekecewaan di wajah Ray. Tak kusangka ia juga ingin menikmati wahana-wahana yang memang sering kami naiki.
“Gimana lagi. Sudahlah. Ke cafe biasanya saja, yuk,” ajakku.
Ia hanya tersenyum mengiyakan. Sekali lagi ia menggenggam erat tanganku. Kami melangkah bersama menuju cafe yang tak jauh dari taman bermain itu. Lambat sekali. Ray sepertinya sengaja memperlambat langkahnya. Sekali lagi aku dapat melihat kemendungan padanya hari ini. Memang ada sesuatu yang salah padanya sepertinya.
Aku terus memerhatikannya. Tatapannya menerawang jauh ke depan seakan-akan jiwanya sedang berkelana di suatu tempat. Sesekali ia menghela napas berat lalu mengeratkan genggamannya padaku.
“Ray...” panggilku khawatir.
“Ah, nggak apa-apa. Sudah sampai. Duduk di tempat biasa, kan?” ia berusaha mengembalikan suasana dengan senyumnya, tapi sesungguhnya tak berhasil.
Kami duduk di meja paling ujung sudut ruang cafe. Ray masih sama, kadang-kadang jiwanya pergi tak memerhatikan. Bahkan ia tak sadar dengan tiga pelayan cafe di belakangnya  menyanyikan lagu happy birthday dengan sedikit fals dan membawa sebuah cake ulang tahun untuknya.
Setelah kupanggil ia baru tersadar dengan nyanyian yang sejak tadi berkumandang di belakangnya. Aku bisa melihat ekspresi keterkejutan di wajahnya. Kulihat wajahnya bersemu merah, antara malu dan bahagia.
“Happy birthday, Ray. Aku berani bertaruh, kau pasti lupa hari ini ulang tahunmu, kan? Aku tahu taman bermain tutup hari ini. Aku Cuma beralasan untuk mengajakmu ke sini. Rencanaku berhasil, bukan?” tanyaku dengan bangga.
Ia tak menjawab tapi menundukan kepalanya. Kulihat tubuhnya gemetar. Ah, sepertinya ia sedang menangis. Aku mendekatinya, duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya dan mengelus punggungnya.
“Ray, kau nggak apa-apa?”
“Makasih, Rhea... Makasih. Ternyata... ini yang ingin kau tunjukan saat itu. Makasih...” ujarnya seraya mendongakkan kepalanya. Ia tidak menangis ternyata. Tapi jelas sekali ia menahan air mata yang ingin tumpah.
“Ray, kau sungguh tidak apa-apa? Kau ada masalah?”
“Nggak apa-apa. Makasih. Aku sayang padamu,” ia mengecup pipiku lembut kemudian memelukku erat dalam diam. Lama ia memelukku tanpa bicara apa pun sehingga sesaat kurasa suasana mulai canggung.
“Anu, Ray...”
Ia melepaskan pelukannya. Tapi matanya jelas dalam sekali menembus lensaku.
“Kumohon, Rhea. Aku tak ingin berpisah darimu hari ini,” ujarnya lirih. “Aku takut tak bisa melihatmu lagi setelah hari ini. Aku takut  kau benar-benar akan pergi jauh dariku setelah hari ini.”
“Aku nggak kemana-mana, Ray.”
“Siapa yang tahu, bodoh! Ketika kupikir kau tak akan pernah meninggalkanku, ternyata kau pergi. Aku menyesal, Rhea. Saat itu aku sungguh menyesal,” ia membentakku lalu suaranya kembali lirih dan gemetar.
“Aku tak paham kau bicara apa. Tapi aku berjanji tak akan mati meninggalkanmu karena aku sayang padamu,” aku mengangkat wajahnya, mengecup bibirnya ringan. Kuharap ciuman itu dapat mengangkat bebannya yang membuatnya lelah beberapa hari ini.
-oo0oo-

Ray diam dalam perjalanan pulang. Genggamannya masih seerat tadi. Tapi kali ini aku merasakan ia gemetar hebat seakan-akan sesuatu yang ia takuti sedang menghadangnya di perjalanan pulang. Sedetik pun ia tak pernah melepaskan tanganku. Ia selalu berjalan di sebelah kananku, menghindarkanku dari gangguan-gangguan jalan raya.
Sesekali kuperhatikan ia. Tatapannya awas ke sekeliling. Tubuhnya menegang dengan tangan yang masih gemetar menggenggam tanganku. Ia seakan mehadang sesuatu. Setiap langkahnya berat dan berhati-hati. Ia sedang bertarung dengan sesuatu yang tak terlihat.
“Aku sampai di sini aja, Ray,” ujarku di persimpangan jalan.
“Kenapa? Aku mau mengantarmu sampai rumahmu.”
“Aku ada janji dengan kakakku di depan sana. Berlawanan arah dengan jalan pulangmu, kan?”
“Nggak. Biar kuantar kau sampai ke sana.”
“Nggak usah. Kau pulang saja. Sungguh, aku nggak akan kemana-mana. Ya?”
Ia diam sesaat menatapku. Aku kembali menatapnya untuk meyakinkannya. Akhirnya ia kalah, menuruti kemauanku meski dengan berat hati.
“Aku akan menunggu di sini sampai kau berhasil menyeberang dan hilang di ujung jalan sana.”
“Iya, terserah kau saja. Aku pergi dulu, ya. Sampai jumpa,” kukecup pipinya setelah menariknya agar sedikit menunduk.
Kulambaikan tangan lalu berjalan menjauh. Aku berdiri di depan zebra cross, menunggu lampu pejalan kaki berwarna hijau. Zebra cross sepi. Hanya aku seorang diri yang berdiri menunggu untuk menyeberang. Aku bisa merasakan tatapan yang sedang mengawasiku.
Aku menoleh ke belakang. Ray masih berdiri di tempatnya, memasukan kedua tangannya ke dalam kantong jaket sambil terus menatapku. Aku kembali melambai padanya dengan menampilkan deretan gigi di tengah senyum lebar. Ia menunjuk-nunjuk lampu lalu lintas membuatku otomatis menoleh ke arah yang ia tunjuk. Lampu pejalan kaki telah hijau. Aku kembali melambaikan tangan lalu berjalan melalui zebra cross.
Meski lampu pejalan kaki sudah berubah hijau, bukan berarti semua kendaraan mematuhi peraturan. Ketika aku mencapai titik tengah zebra cross, sebuah mobil kijang putih melaju dengan cepat seraya membunyikan klakson dengan panik. Aku terpaku di tempatku. Aku tahu seharusnya aku berlari. Tapi pada keadaan shock, kakiku tak mau bergerak. Ia kaku, seakan-akan telah disebar lem di jalan aspal itu. Tapi pada saat nol koma sekian detik sebelum mobil menghantam tubuhku, Ray meneriakan namaku, sebuah lengan telah memelukku erat dan perasaan de javu menghantuiku.
-oo0oo-

Aku tak sanggup bergerak. Mataku kabur, tak bisa melihat jelas. Tapi aku bisa merasakan cairan kental mengalir dari batok kepalaku. Dua buah tangan begitu erat memelukku meski kurasa sudah tak ada tenaga lagi untuknya. Itu Ray, aku tahu.
De javu. Ah, bukan. Aku pernah mati sekali, mati seorang diri. Sesaat sebelum mobil menghantamku, ingatan-ingatan itu sempat kembali. Bagaimana ketika aku mati, ketika aku dengan kesal sambil menangis menunggu Ray yang tak kunjung datang, semuanya pada hari yang sama seperti hari ini. Ya, aku pernah mati sekali.
Pandangan mataku semakin menjadi gelap. Suara ambulan yang datang perlahan-lahan semakin pelan ditangkap oleh telinga. Lalu kemudian senyap.
-oo0oo-

Pembohong. Kau bilang kau tak akan pergi begitu saja. Tapi hari itu kau menghilang tiba-tiba. Bahkan kau tak akan pernah kembali. Aku menyesal, sungguh. Hari dimana kau pergi, kau pergi dengan kesedihan. Aku menyesal. Kuakui aku sudah kelewatan membiarkanmu menunggu selama satu setengah jam. Seaandainya aku tahu kau tak akan pernah kembali lagi semudah itu, aku akan terus menepati janji.
Setiap detikku kini hanya penyesalan yang semakin lama semakin menggerogoti. Kau pergi. Kau pergi tanpa tahu seberapa berharganya kau dalam hidupku.
Kubilang itu keajaiban.
Waktu terulang, memberiku kesempatan kedua untuk terus menggenggammu. Dalam waktu yang terulang itu, kuisi detikku mengucap maaf padamu. Kuisi tiap waktuku untuk lebih mencintaimu. Kuisi tiap waktuku untuk menggenggammu, mendekapmu lebih erat lagi.
Tapi sungguh, tiap detik yang berbicara, menumbuhkan benih-benih kecemasan di hati yang telah gelap oleh penyesalan. Setiap kali kupejamkan mata, suara itu semakin jelas. Semakin membuatku samar di tengah kegelapan hati. Ia bagai api yang menjilat mencoba membakar jiwaku.
Kemudian hari itu kembali datang. Aku semakin didekap oleh kegelapan hati yang penuh penyesalan dan kecemasan. Namun bagaimana pun, kematianmu tak bisa dihindarkan. Tapi takdir telah berubah.

“Ketika waktu memberimu kesempatan kedua untuk mengubah takdirmu. Sanggupkah kau mencari cahaya diantara pekat gelap yang memelukmu?”

Kematian itu menakutkan. Ketika waktu memberi kesempatan kedua, takdir telah berubah. Tapi hal yang besar membutuhkan bayaran yang besar. Nyawa.
Kematian itu menakutkan. Ketika waktu memberi kesempatan kedua, gelap begitu erat mendekapku. Tapi tubuh yang kupeluk saat sabit ditebaskan, menjadi satu titik cahaya yang menghangatkan tubuhku diantara kegelapan tanpa batas.
Kau dan aku... kini kita bersama, saling menggenggam tangan, tak terhalang oleh waktu yang berusaha memisahkan kita.
-oo0oo-
In Heaven – JYJ english translation
I’m going to leave now
Don’t leave
I’m going to come back so…
Liar, liar
No- don’t you know how much I love you?
Can’t you show that love to me right now?
I love you…
Can’t we love again?
As of right now, I can’t say anything
The miracle of you- it all seems like a fantasy
The last image of you seems to be locked only in my memories
I wonder if you are watching me from somewhere
Even if I regret, it’s too late- I can’t see you anymore
The tears of the shadows of my memories are watching over that place
I can’t say those words, I really can’t- as much as you were by my side
I’m sorry but I can’t- everything comes shaking back to me now
By waiting a little more, by wandering through my dreams
I’m afraid I will close my eyes inside of you
* Don’t leave, don’t leave- can’t you stay by my side?
Lies, all lies- I don’t hear anything
I love you, I love you- can’t you show me those words?
I love you, I love you- will you love me again?
Time already passed like this
I try looking for your traces but they are erased
The last memories of you are locked in the rims of my tears
Just end it, end me- if you’re not going to be next to me
I’m sorry but I’ll leave now- following your footsteps
Following the road with no end- as I wander to find you
I’m afraid I will lose you and be sad
Don’t leave, don’t leave- can’t you stay?
Lies, lies, I don’t hear anything
I love you, I love you- can’t you show me?
Can’t you love me, love me, love me?
Don’t leave, don’t leave- can’t you stay?
Lies, lies, I don’t hear anything
I love you, I love you- can’t you show me?
Please come back


A.N: Inspired by In Heaven - JYJ

0 komentar: