Selasa, 15 Mei 2012

My Dear Black Rose

well... Udah lama nggak bikin genre yang kayak gini. Kalo nggak ngena feeli-nya, mohon maklum. Nikmatin aja bacanya :D

My Dear Black Rose
Oleh Firdausi R.

--- PROLOG ---
.
.
.

Gadis itu... aku tahu betul dengannya.

 Gadis  manis.
Setiap orang yang melihatnya akan berkata seperti itu. Senyum yang sempurna dengan sudut bibir simetris juga deretan gigi kecil yang rapi. Rambut panjang yang lurus selalu berayun lembut mengikuti jejak kakinya. Bahasanya begitu santun dengan suara lembut yang kemayu.

Aku mengenalnya sebab langkahku selalu mengekor ke mana ia pergi.

Dia gadis cantik, aku tahu itu. Jika kau pernah bertemu dengannya, kau pasti berpikir dia gadis polos nan suci, seperti malaikat yang akan memikat hatimu. Tapi aku tahu dia. Jauh di dalam dirinya, penyihir jahat sedang bersemayam. Ia adalah mawar putih penuh duri dengan racun yang teroles di setiap duri itu.

-AAA-
.
.
--- EVIL ---
.
.
.

Kematian itu keajaiban yang indah...

Ia sering berucap seperti itu. Kapan pun setelah membaca  berita pembunuhan maupun novel misteri atau semacamnya. Yaahh.. kurasa orang awam yang sok merasa psikopat atau merasa punya jiwa evil dalam dirinya juga sering mengatakan hal itu, seperti berandalan cetek di sekolahku. Tapi gadis ini beda.

Kurasa berandalan cetek hanya bisa berucap. Ketika kematian itu datang, ia juga akan menjerit-jerit ketakutan seperti anak bayi yang kehilangan orang tuanya. Gadis ini... selalu memiliki mata yang menatap jauh dengan pandangan kosong. Senyum polosnya tidak seindah malaikat, tapi bagai iblis yang menikmati jeritan siksa orang lain. Kau akan merinding jika pernah melihatnya.

Ia bukan mawar putih. Tapi mawar hitam yang memesona.
-AAA-
.
.
--- VICTIM ---
.
.
.

Darah mengalir, menutupi lantai semen gudang yang penuh debu. Masih hangat, kurasa. Sebab darah itu masih terus mengalir dari tubuh yang tak berdaya tergeletak di samping si gadis “malaikat”.

Mayat seorang gelandangan... ah , bukan.  Kurasa berandalan yang mencoba menggodanya sebab aku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia digoda dan dibawa ke gudang ini. Kurasa temanku itu dengan sukarela mengikutinya sebab setengah pakaian atasnya terbuka menampilkan pakaian dalamnya yang terciprat oleh darah. Dan kurasa ia memang sengaja untuk menjadikan berandalan itu korban kesenangannya. Sungguh malang laki-laki bejat itu.

Mengenaskan. Tubuhnya penuh irisan-irisan kasar. Kurasa akibat gadis malaikat itu mencoba memotongnya dengan gunting kain setelah membunuhnya dengan menusukan gunting tepat di jantungnya.Wajahnya rusak. Ada luka belah yang ingin dibentuk simetris horizontal dari ubun-ubun sampai batas leher atas dan simetris vertikal dari telinga kiri sampai telinga kanan. Ah, ngomong-ngomong telinganya sudah terpisah dari tubuhnya dan sudah menjadi potongan-potongan kecil di atas paha gadis itu. Matanya tak berbentuk lagi sebab berkali-kali ditusuk oleh gunting pada tempatnya.

Mataku bukannya terpaku pada mayat yang masih mengalirkan darah segar dari bagian jaringan kulit yang terbuka, tapi aku terpaku pada gadis yang masih dengan duduk melipat kaki, sibuk dengan telinga yang belum selesai ia gunting seperti kertas yang ringan. Matanya kosong, tapi senyum di sudut bibirnya mengatakan bahwa ia menikmati apa yang ia lakukan. Aku bisa mendengar suara tawa kecil dari mulutnya yang terkatup seperti suara kesenangan iblis yan tertahan.

Dadaku berdegup kencang. Tapi bukan karena shock maupun takut dengan apa yang kulihat, sungguh. Sebab aku terpesona padanya. Mawar hitam itu terlihat indah di tengah lautan merah tua. Ia menjadi berkali-kali lipat lebih cantik di mataku.

“Jack... Keluarlah. Aku tahu kau di situ,” ujarnya masih dengan mata yang sama seakan ia tak sadarkan diri saat mengucapkan itu padaku. “Kau lihat, ia karya seniku...” senyumnya masih sama; senyum yang entah bisa membuatmu bergidik atau terpesona padanya.
-AAA-
.
.
--- THAT BLACK ROSE ---
.
.
.

Aku hanya duduk begitu saja seakan-akan sedang menikmati film horror yang sedang ditayangkan. Bedanya aku bisa mencium bau amis darah yang menetes dari tubuh yang tergantung di depanku.

Kali ini korbannya perempuan, seorang wanita yang sungguh ia benci sebab perempuan itu selalu manis di depannya dan menggunjingkannya di belakang. Perempuan mati itu tergantung terbalik dengan tubuh tanpa sehelai kain pun. Sang mawar hitam memotong lidahnya, kemudian menjahit mulutnya yang telah tercabik, lalu tenggorokannya ia tusuk dengan sebuh pisah dapur berkali-kali. Yah, sepintas kupikir aku beruntung menjadi sahabat baiknya.

“Mulut dan suaramu itu benar-benar hal paling jelek yang pernah aku dengar, sungguh,” ia mengucapkannya sambil berkali-kali menusukan pisau pada luka yang telah ia buat di tenggorokan wanita malang itu.

Puas ia mengalirkan darah dari tenggorokan yang tergantung ke bawah, ia beralih pada organ genital perempuan itu. Perlahan ia memasukan pisau pada lubang kemaluan wanita tersebut kemudian membuat robekan selambat mungkin sampai perut di bawah pusar seakan-akan ia menikmati setiap gesekan pisau dengan kulit dan otot tebal yang tanpa perlawanan itu. Tawa kecilnya mewarnai tiap  tusukan pada ulu hati mayat yang tergantung. Tangannya kemudian masuk melalui celah dari luka robekan yang ia buat di bagian perut. Ia nampak mencari-cari sesuatu. Ekspresi wajahnya mengatakan bahwa ia berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan, dengan kasar ia kembali mengeluarkan tangannya dan sebuah organ yang kurasa adalah kantung rahim telah tergenggam di tangannya.

“Bersyukurlah kau tak akan punya anak dari rahim ini, Anne,” bisiknya pada raga yang sudah pasti tak bernyawa lagi.

Masih berbekalkan pisau, ia mencincang rahim tersebut perlahan-lahan sebab ia masih menikmati adrenalin yang memuncak ketika ia melakukan hal itu.

I told you, Jack. Death is a wonderful magic. Dia mati dengan indah dan mulut kotor itu tak akan ada lagi. Like a magic, I made it gone.”

That’s enough, Janne. I think we should go home right now. I can’t stand it any longer.”

Ya, sungguh. Aku tidak tahan lagi. Bukan karena aku mual dan jijik dengan apa yang dilakukan gadis itu. Tapi adrenalinku juga sudah melebihi batas ambangnya. Beda dengan Janne yang menikmati tiap aliran darah yang hangat, aku tidak peduli bagaimana orang itu mati, siapa yang menjadi korbannya, atau nafsu pembunuh dalam diriku. Bahkan aku tak punya nafsu seperti itu. Adrenalineku meningkat drastis hanya karena melihat keanggunannya memainkan pisau untuk merenggut nyawa orang.  Dia malaikat kematian terindah yang pernah kutemui. Keegoisanku membiarkan kematian orang lain untuk mendapatkan kepuasanku tersendiri.

Seandainya aku tetap membiarkan gadis itu bermain-main, kurasa aku tak bisa menahan diri lagi untuk menyerangnya. Aku ingin menciumnya, menjadikannya bagian dari diriku. Bercumbu dengannya yang berbalut cipratan darah di wajah dan tangannya. Sang mawar hitam itu...

“Kuharap kematianku juga akan indah,” gumamnya dengan menggenggam rahim yang telah hancur dan mendekatkan ke pipinya seakan itu kucing kesayangannya.
-AAA-
.
.
--- WISH CAME TRUE ---
.
.
.

Jantungku berpacu lebih dari sebelumnya. Napasku berat. Aliran darah seakan-akan tak terbendung lagi.

Janne... gadis itu masih sangat cantik. Tubuhnya telanjang, tapi tertutupi oleh cairan merah yang kental. Tubuhnya penuh luka robek yang besar, tapi aku kembali menjahitnya hanya dengan benang nilon. Beberapa kututup dengan kawat yang kukait dari satu sisi luka robek ke luka lainnya. Kaki kirinya terpisah dari tubuhnya  tapi aku berusaha menyambung kembali dengan kawat sisa. Begitu pula jari-jari tangan yang terpotong oleh kapak pemotong kayu.

Aku beralih menoleh wajahnya. Rambutnya masih selurus dan seindah biasanya. Hanya saja kali ini basah oleh cairan merah yang hangat. Wajahnya masih mulus tanpa satu pun luka gores sekecil apa pun. Kulihat wajah itu tersenyum dengan mata hampir tertutup pada kepala yang telah terpisah dari tubuhnya. Kurasa ia puas dengan kematiannya.

Aku menjatuhkan kapak yang kugenggam sejak tadi untuk menciptakan kematiannya yang indah lalu mengangkat kepalanya. Aku tak tahu kalau kepala itu begitu kecil dan ringan. Aku mencium bibir yang tersenyum kaku itu. Masih terasa sedikit kehangatan dari kulit yang tak menerima aliran darah lagi.

Aku yang membunuhnya. Sungguh, sebanarnya aku tak punya nafsu membunuh. Aku hanya punya hasrat untuk melihat sosok mawar hitam lebih indah. Aku punya hasrat mengabulkan keinginan sang ratu mawar. Dan aku punya cara sendiri untuk memuaskan hasrat yang semakin meledak-ledak; membunuhnya.

Kutempelkan pipi kepala yang terpisah dari tubuhnya ke pipiku agar ia bisa merasakan kehangatan tubuhku. Ada suatu perasaan kompleks yang bertengkar jauh di sudut hatiku. Rasa puas, sedih, sepi, juga candu bertabrakan dan menciptakan lubang hitam dalam hati. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mataku.

Because, I love you, my dear Black Rose...
-AAA-

0 komentar: