My Dear Black Rose
well... Udah lama nggak bikin genre yang kayak gini. Kalo nggak ngena feeli-nya, mohon maklum. Nikmatin aja bacanya :D
My Dear Black Rose
Oleh Firdausi
R.
--- PROLOG ---
.
.
.
Gadis itu... aku
tahu betul dengannya.
Gadis manis.
Setiap orang yang
melihatnya akan berkata seperti itu. Senyum yang sempurna dengan sudut bibir
simetris juga deretan gigi kecil yang rapi. Rambut panjang yang lurus selalu
berayun lembut mengikuti jejak kakinya. Bahasanya begitu santun dengan suara
lembut yang kemayu.
Aku mengenalnya
sebab langkahku selalu mengekor ke mana ia pergi.
Dia gadis cantik,
aku tahu itu. Jika kau pernah bertemu dengannya, kau pasti berpikir dia gadis
polos nan suci, seperti malaikat yang akan memikat hatimu. Tapi aku tahu dia.
Jauh di dalam dirinya, penyihir jahat sedang bersemayam. Ia adalah mawar putih
penuh duri dengan racun yang teroles di setiap duri itu.
-AAA-
.
.
--- EVIL ---
.
.
.
Kematian itu keajaiban yang indah...
Ia sering berucap
seperti itu. Kapan pun setelah membaca
berita pembunuhan maupun novel misteri atau semacamnya. Yaahh.. kurasa
orang awam yang sok merasa psikopat atau merasa punya jiwa evil dalam dirinya juga sering mengatakan hal itu, seperti
berandalan cetek di sekolahku. Tapi gadis ini beda.
Kurasa berandalan
cetek hanya bisa berucap. Ketika kematian itu datang, ia juga akan
menjerit-jerit ketakutan seperti anak bayi yang kehilangan orang tuanya. Gadis
ini... selalu memiliki mata yang menatap jauh dengan pandangan kosong. Senyum
polosnya tidak seindah malaikat, tapi bagai iblis yang menikmati jeritan siksa
orang lain. Kau akan merinding jika pernah melihatnya.
Ia bukan mawar
putih. Tapi mawar hitam yang memesona.
-AAA-
.
.
--- VICTIM ---
.
.
.
Darah mengalir,
menutupi lantai semen gudang yang penuh debu. Masih hangat, kurasa. Sebab darah
itu masih terus mengalir dari tubuh yang tak berdaya tergeletak di samping si
gadis “malaikat”.
Mayat seorang
gelandangan... ah , bukan. Kurasa
berandalan yang mencoba menggodanya sebab aku melihat dengan mata kepala
sendiri bagaimana ia digoda dan dibawa ke gudang ini. Kurasa temanku itu dengan
sukarela mengikutinya sebab setengah pakaian atasnya terbuka menampilkan
pakaian dalamnya yang terciprat oleh darah. Dan kurasa ia memang sengaja untuk
menjadikan berandalan itu korban kesenangannya. Sungguh malang laki-laki bejat
itu.
Mengenaskan.
Tubuhnya penuh irisan-irisan kasar. Kurasa akibat gadis malaikat itu mencoba
memotongnya dengan gunting kain setelah membunuhnya dengan menusukan gunting
tepat di jantungnya.Wajahnya rusak. Ada luka belah yang ingin dibentuk simetris
horizontal dari ubun-ubun sampai batas leher atas dan simetris vertikal dari
telinga kiri sampai telinga kanan. Ah, ngomong-ngomong telinganya sudah
terpisah dari tubuhnya dan sudah menjadi potongan-potongan kecil di atas paha
gadis itu. Matanya tak berbentuk lagi sebab berkali-kali ditusuk oleh gunting
pada tempatnya.
Mataku bukannya
terpaku pada mayat yang masih mengalirkan darah segar dari bagian jaringan
kulit yang terbuka, tapi aku terpaku pada gadis yang masih dengan duduk melipat
kaki, sibuk dengan telinga yang belum selesai ia gunting seperti kertas yang
ringan. Matanya kosong, tapi senyum di sudut bibirnya mengatakan bahwa ia
menikmati apa yang ia lakukan. Aku bisa mendengar suara tawa kecil dari
mulutnya yang terkatup seperti suara kesenangan iblis yan tertahan.
Dadaku berdegup
kencang. Tapi bukan karena shock maupun takut dengan apa yang kulihat, sungguh.
Sebab aku terpesona padanya. Mawar hitam itu terlihat indah di tengah lautan
merah tua. Ia menjadi berkali-kali lipat lebih cantik di mataku.
“Jack... Keluarlah.
Aku tahu kau di situ,” ujarnya masih dengan mata yang sama seakan ia tak
sadarkan diri saat mengucapkan itu padaku. “Kau lihat, ia karya seniku...”
senyumnya masih sama; senyum yang entah bisa membuatmu bergidik atau terpesona
padanya.
-AAA-
.
.
--- THAT BLACK
ROSE ---
.
.
.
Aku hanya duduk
begitu saja seakan-akan sedang menikmati film horror yang sedang ditayangkan.
Bedanya aku bisa mencium bau amis darah yang menetes dari tubuh yang tergantung
di depanku.
Kali ini korbannya
perempuan, seorang wanita yang sungguh ia benci sebab perempuan itu selalu
manis di depannya dan menggunjingkannya di belakang. Perempuan mati itu
tergantung terbalik dengan tubuh tanpa sehelai kain pun. Sang mawar hitam
memotong lidahnya, kemudian menjahit mulutnya yang telah tercabik, lalu
tenggorokannya ia tusuk dengan sebuh pisah dapur berkali-kali. Yah, sepintas
kupikir aku beruntung menjadi sahabat baiknya.
“Mulut dan suaramu
itu benar-benar hal paling jelek yang pernah aku dengar, sungguh,” ia
mengucapkannya sambil berkali-kali menusukan pisau pada luka yang telah ia buat
di tenggorokan wanita malang itu.
Puas ia mengalirkan
darah dari tenggorokan yang tergantung ke bawah, ia beralih pada organ genital
perempuan itu. Perlahan ia memasukan pisau pada lubang kemaluan wanita tersebut
kemudian membuat robekan selambat mungkin sampai perut di bawah pusar
seakan-akan ia menikmati setiap gesekan pisau dengan kulit dan otot tebal yang
tanpa perlawanan itu. Tawa kecilnya mewarnai tiap tusukan pada ulu hati mayat yang tergantung.
Tangannya kemudian masuk melalui celah dari luka robekan yang ia buat di bagian
perut. Ia nampak mencari-cari sesuatu. Ekspresi wajahnya mengatakan bahwa ia
berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan, dengan kasar ia kembali mengeluarkan
tangannya dan sebuah organ yang kurasa adalah kantung rahim telah tergenggam di
tangannya.
“Bersyukurlah kau
tak akan punya anak dari rahim ini, Anne,” bisiknya pada raga yang sudah pasti
tak bernyawa lagi.
Masih berbekalkan
pisau, ia mencincang rahim tersebut perlahan-lahan sebab ia masih menikmati
adrenalin yang memuncak ketika ia melakukan hal itu.
“I told you, Jack. Death is a wonderful
magic. Dia mati dengan indah dan mulut kotor itu tak akan ada lagi. Like a magic, I made it gone.”
“That’s enough, Janne. I think we should go
home right now. I can’t stand it any longer.”
Ya, sungguh. Aku
tidak tahan lagi. Bukan karena aku mual dan jijik dengan apa yang dilakukan
gadis itu. Tapi adrenalinku juga sudah melebihi batas ambangnya. Beda dengan
Janne yang menikmati tiap aliran darah yang hangat, aku tidak peduli bagaimana
orang itu mati, siapa yang menjadi korbannya, atau nafsu pembunuh dalam diriku.
Bahkan aku tak punya nafsu seperti itu. Adrenalineku meningkat drastis hanya
karena melihat keanggunannya memainkan pisau untuk merenggut nyawa orang. Dia malaikat kematian terindah yang pernah
kutemui. Keegoisanku membiarkan kematian orang lain untuk mendapatkan
kepuasanku tersendiri.
Seandainya aku
tetap membiarkan gadis itu bermain-main, kurasa aku tak bisa menahan diri lagi
untuk menyerangnya. Aku ingin menciumnya, menjadikannya bagian dari diriku.
Bercumbu dengannya yang berbalut cipratan darah di wajah dan tangannya. Sang
mawar hitam itu...
“Kuharap kematianku
juga akan indah,” gumamnya dengan menggenggam rahim yang telah hancur dan
mendekatkan ke pipinya seakan itu kucing kesayangannya.
-AAA-
.
.
--- WISH CAME TRUE
---
.
.
.
Jantungku berpacu
lebih dari sebelumnya. Napasku berat. Aliran darah seakan-akan tak terbendung
lagi.
Janne... gadis itu
masih sangat cantik. Tubuhnya telanjang, tapi tertutupi oleh cairan merah yang
kental. Tubuhnya penuh luka robek yang besar, tapi aku kembali menjahitnya
hanya dengan benang nilon. Beberapa kututup dengan kawat yang kukait dari satu
sisi luka robek ke luka lainnya. Kaki kirinya terpisah dari tubuhnya tapi aku berusaha menyambung kembali dengan
kawat sisa. Begitu pula jari-jari tangan yang terpotong oleh kapak pemotong
kayu.
Aku beralih menoleh
wajahnya. Rambutnya masih selurus dan seindah biasanya. Hanya saja kali ini
basah oleh cairan merah yang hangat. Wajahnya masih mulus tanpa satu pun luka
gores sekecil apa pun. Kulihat wajah itu tersenyum dengan mata hampir tertutup
pada kepala yang telah terpisah dari tubuhnya. Kurasa ia puas dengan
kematiannya.
Aku menjatuhkan
kapak yang kugenggam sejak tadi untuk menciptakan kematiannya yang indah lalu
mengangkat kepalanya. Aku tak tahu kalau kepala itu begitu kecil dan ringan.
Aku mencium bibir yang tersenyum kaku itu. Masih terasa sedikit kehangatan dari
kulit yang tak menerima aliran darah lagi.
Aku yang
membunuhnya. Sungguh, sebanarnya aku tak punya nafsu membunuh. Aku hanya punya
hasrat untuk melihat sosok mawar hitam lebih indah. Aku punya hasrat
mengabulkan keinginan sang ratu mawar. Dan aku punya cara sendiri untuk
memuaskan hasrat yang semakin meledak-ledak; membunuhnya.
Kutempelkan pipi
kepala yang terpisah dari tubuhnya ke pipiku agar ia bisa merasakan kehangatan
tubuhku. Ada suatu perasaan kompleks yang bertengkar jauh di sudut hatiku. Rasa
puas, sedih, sepi, juga candu bertabrakan dan menciptakan lubang hitam dalam
hati. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mataku.
“Because, I love you, my dear Black Rose...”
-AAA-
0 komentar: