Rabu, 12 Oktober 2011

Paranoid


Paranoid
Original story by Fidausi

Matahari telah membiaskan warna oranye-nya pada awan-awan yang menggumpal dengan lembutnya entah sejak kapan. Dari jendela besar terlihat ranting-ranting kering pohon yang cukup lama hidup di tempat itu kadang-kandang mengetuk saat angin sepoi singgah menyapanya. Kadang-kadang angin yang menyusup melalui ventilasi menyebarkan bau khas buku-buku tua yang cukup berdebu.
Di tengah keheningan tanpa manusia lain, aku berkonsentrasi mencoba merasuki buku yang ada di hadapanku, mencoba merasuki jiwa tiap tokoh yang mengalami petualangan hebat dari rangkaian alphabet yang tersusun hingga memiliki sebuah makna.
Ketika aku mengaitkan rambut yang mulai mengganggu jarak pandangku, suara kursi di depanku yang digeret menjadi gangguan yang lain. Aku tak mendongak untuk melihat siapa yang berusaha menggangguku karena aku tahu itu dia. Aku kembali berjalan-jalan dalam alur buku petualangan yang sibuk kubaca.
Ia duduk di depanku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hening. Yang terdengar hanya suara gesekan lembaran kertas buku yang dibalik olehku maupun dia. Bahkan suara napasnya yang tenang pun bisa terdengar samar di telingaku. Aku mulai tak nyaman pada keheningan ketika ada seseorang yang ikut membaca di tengah dunia imajinasiku.
“Ngapain ke sini?” aku mulai memecah keheningan tapi masih fokus pada buku yang kubaca.
“Cuman sedang senggang,” jawabnya yang tidak bisa lepas dari buku pula.
“Nunggu pacarmu, ya?”
“Hemm.”
Kembali hening. Aku keluar sebentar dari dunia buku dan memperhatikannya dengan mata sembunyi-sembunyi. Kulihat ia menopang dagunya. Matanya menatap lurus dengan serius menangkap tiap kata yang ia baca agar otaknya mudah mencerna. Rambutnya yang berponi cincag pendek kadang-kadang bergerak gemulai saat ia mengubah posisi wajahnya; masih dengan menopangkan dagunya.
Laki-laki itu…semakin terlihat dewasa di mataku entah sejak kapan. Tujuh belas tahun bersamanya, semakin hari semakin aku melihatnya sebagai seorang pria. Sejak suaranya mulai serak dan menjadi rendah. Sejak tulang wajahnya begitu sempurna. Sejak ia menyaingiku dalam tinggi badan. Sejak tangannya… mampu menggenggam tangan orang lain.
“Pacarmu sedang apa?”
“Kegiatan klub. Dia memang aktif di klub-nya,” ia menjawab dengan senyum simpul di wajahnya. Masih tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
“Kau… cinta padanya?”
Ia hanya mengembangkan senyum yang ambigu. Entah apa artinya, tapi senyum itu mampu menggigit hatiku hingga nyeri. Aku berusaha tenang dengan tak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Nggak usah mengurusi orang. Kau sendiri kapan cari cowok yang bisa melindungimu?” kali ini matanya menatap lurus mataku. Aku menunduk.
“Itu….” Kalimatku seakan-akan menyangkut di tenggorokanku.
Ia seakan tak peduli, terdengar suara gesekan kertas saat ia membalik halaman buku yang ia baca. Aku menghela napas berat, menunduk dalam-dalam menyembunyikan kerutan alisku yang semakin dalam. Menyembunyikan kekalutan hatiku yang semakin menjadi-jadi.
“Aku takut,” gumamku.
“Hmm?”
“Menurutmu… apa manusia itu akan dengan mudahnya jatuh cinta pada seseorang lalu kemudian dengan mudah mencintai orang lain?”
Ia kembali menatapku. Matanya lurus dan serius. Kurasa tak ada lagi niat untuknya membaca buku. Topik yang kubuka kali ini lebih menarik perhatiannya.
“Nggak semua manusia begitu mudah pindah ke lain hati.”
“Kau… bagaimana?”
“Apa karena rasa takutmu itu kau menolakku dulu?”
Ia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang menyulitkanku. Aku menggeleng cepat, tapi aku tahu kepura-puraanku telah terlihat jelas. Ia masih tak bicara menunggu jawaban dariku. Matanya tak mau lepas hingga aku hanya bisa duduk dengan ketegangan di depannya seakan-akan didakwa di meja hijau.
“Orang bilang… ketika dua orang menjadi sepasang kekasih, rasa sayang itu akan hilang setengahnya. Ketika perasaan itu hilang setengahnya di awal, sampai kapan ia bisa bertahan dengan perasaan yang tinggal separuhnya itu? Lama-lama perasaan itu pula akan hilang bersamaan detik yang tak berhenti berbunyi.”
“Lalu bagaimana dengan mereka yang telah menjadi tua renta dan hidup mati bersama? Apa menurutmu mereka bersama hingga mati tanpa perasaan itu? Kau… sungguh bodoh.”
“Bukan. Aku mengerti. Tidak semua manusia di dunia menhilangkan apa yang ia dapatkan. Tapi… apa aku bisa mendapatkan orang yang sanggup bersama denganku hingga kematiannya menjemput?”
“Kau… kau sendiri, menurutmu kau orang yang bagaimana? Semudah itukah kau melupakan orang yang kaucintai?”
Sekali lagi aku menggeleng. Kali ini aku menggeleng dengan kesungguhan hati. Air mataku pun mulai tak terbendung. Kekalutan hatiku sungguh telah menguasai diriku sepenuhnya. Aku memeluk diri.
“Aku bukan orang yang semudah itu melupakan orang lain. Tapi aku takut dicintai kemudian dilupakan ketika aku sungguh-sungguh ingin bersamanya.”
“Aku juga, bodoh!” Ia meradang. Emosinya meninggikan suaranya hingga ia menghentak meja ketika berdiri. “Aku sungguh menyayangimu, Lys.”
Kulihat di wajahnya adalah keseriusan dari dalam dirinya. Kulihat matanya yang teduh menatapku lembut. Kerutan di keningnya menjadi pengakuan dirinya secara tak langsung bahwa selama ini ia menahan rasa sakit yang luar biasa. Tapi aku tetap tak mau menghadapi kenyataan itu.
Aku mencintainya, sungguh. Ia satu-satunya lelaki yang mampu merasuki dinding hati yang tebal itu. Hatiku mengerti, tapi logikaku tak mau diajak bekerja sama. Ia terus membantah apa yang diteriakkan oleh hati yang semakin tersiksa. Sesungguhnya, logika hanya tak ingin hati terluka saat waktu nanti membawa sosok laki-laki itu pergi. Tapi hati sudah terlanjur terluka. Dan konflik dalam diriku menghancurkan aku.
Aku kenal dia sejak aku bisa bicara, berjalan, dan tahu apa itu bermain. Aku kenal ia sejak tinggal di sebelah rumahnya. Aku tahu sifat-sifat jeleknya. Aku tahu kebaikan-kebaikannya  yang mampu menyelimutiku dalam kehangatan. Dia… satu-satunya laki-laki yang mengenalku lebih dari siapa pun.
“Kau bohong.”
“Apanya?! Aku nggak pernah bohong padamu. Aku mencintaimu, Lys. Sungguh.”
“Jika kau mencintaiku, lalu untuk apa kau bersama dengan gadis lain? Kau benar-benar nggak tahu hatiku terenyuh setiap kali kau cerita tentang kekasihmu itu.”
“Kau yang bodoh, kan? Kenapa nggak sejak awal kau bilang bahwa kau juga suka padaku?”
“Kupikir… daripada kehilanganmu ketika aku sudah benar-benar memilikimu, lebih baik tetap menjadi teman sejak kecil saja. Kupikir ketika aku tak perlu memilikimu, aku bisa memiliki hatimu yang hanya tertuju padaku. Kupikir begitu. Pada akhirnya kau sungguh berjalan mengikuti waktu yag membawamu pada gadis itu.”
Aku memandangnya. Segelintir senyum menengahi air mata yang tak berhenti jatuh di pipiku. Aku berusaha tenang dengan menarik napas dalam di tengah isak tangisku yang tak terkendali.
Samar-sama kulihat alis matanya semakin dalam mengkerut saat lensa mata kabur oleh air mata. Ia gusar dan meradang. Ia beranjak dari tempat duduknya, dengan kasar menjauhkan kursinya hingga bunyi geretan di lantai memekakkan telinga. Ia menarik tanganku yang menutupi wajahku yang basah seluruhnya.
“Aku nggak terbawa oleh waktu!” ia berseru.
Matanya sungguh-sungguh ingin merasuki diriku, berusaha membujuk logika yang masih dengan keras kepalanya menolak keberadaan laki-laki itu di hatiku. Aku menggeleng, masih berusaha menolaknya.
“Dengar aku, Lys! Sampai detik ini aku masih memikirkanmu. Aku berusaha dibawa oleh waktu dengan mencoba bersamanya. Tapi aku terlalu kukuh terpaku pada sosokmu.”
Ia menarikku ke dalam dekapannya. Lengannya yang membelitku sungguh sangat kuat hingga napasku terasa sesak. Entah karena kekuatan dekapannya atau perasaanku yang ingin muntah meledak, jantungku semakin cepat mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Lengannya seakan-akan tak mengijinkanku untuk pergi sekali lagi. Tangannya seakan-akan berkata bahwa aku adalah sesuatu yang berharga baginya.
Aku tak mampu untuk melepaskan diri. Kudongakkan kepala untuk melihat wajahnya. Kini matanya mampu rasuk pada jiwaku. Bibirnya berkali-kali membisikkan kata cinta di telinga. Aku… luluh untuk saat itu. Ia perlahan mendorongku pada lemari buku di belakang meja tempat kami bersama tadi. Bibirnya mulai melumat bibirku.
Napasku sesak. Setiap kali ia melumat bibirku, setiap saat itu pula aku bisa mengerti seberapa besar rasa sayangnya padaku. Tiap momen yang ia buat, mengalirkan kehangatan pada diriku. Tangannya erat merangkul pinggangku dan aku semakin tak berdaya. Ia terus memukul hancur dinding pertahananku. Logikaku hampir mati ketika oranye langit telah berubah menjadi kebiruan. Hingga akhirnya suara pintu terbuka, membangunkan kembali kesadaranku.
Aku melepaskan bibirku dari bibirnya yang begitu lembut. Tapi aku tak mampu keluar dari lingkaran tangannya. Napasku memburu, begitu pula ia. Hanya saja kami berusaha agar napas itu tak terdengar oleh siapa pun.
Kami tetap bersembunyi di balik rak buku tinggi dengan buku-buku yang tersusun rapat serta rapi hingga mampu menutupi keberadaan kami. Aku tak mampu menatapnya. Tapi aku tahu bahwa matanya tak lepas dariku. Ia mencari-cari sebuah jawaban.
“Ray, kau di sini, kan?”
Kudengar sebuah suara tinggi seorang wanita memanggil laki-laki yang sedari tadi tak mau melepaskanku. Laki-laki itu tak menjawab. Ia hanya fokus berusaha mencari celah untuk kembali masuk ke dalam diriku. Tapi aku tetap menunduk dalam-dalam.
“Lys... Tahan aku, kumohon,” ia berbisik getir.
Aku diam sesaat kemudian mengambil oksigen untuk kembali menenangkanku. Kali ini aku memandang laki-laki itu. Kuberikan ia sebuah senyum dan kecupan di pipinya. Dengan sebuah isyarat, aku menyuruhnya untuk melepaskanku.
Lagi-lagi. ekspresi itu yang ia tunjukkan. Ekspresi seakan-akan ia telah terluka. Tapi pada akhirnya tangannya membiarkanku lepas.
“Terserah kalau memang itu maumu. Aku… akan coba berjalan mengikuti arus waktu. Bye, Lys,” ia pergi meninggalkanku dengan sebuah senyum berat.
Ia telah pergi. Kini di ruangan dengan bau khas buku tua penuh debu, aku sendirian. Pada akhirnya hatiku kalah pada logika yang terus merasa ketakutan. Aku kalah pada logika yang sempat mati. Aku… pada akhirnya terluka parah meski aku tak sempat memilikinya.

Paranoid.

Tolong, aku butuh seseorang yang mampu membunuh ketakutan pada logikaku yang semakin menjadi-jadi…
*****

0 komentar: