Satu Langkah
Satu Langkah
Firdausi R.
.
.
.
Hanya butuh waktu 24 jam untuk menyadari bahwa aku
menyukaimu. Tapi untuk melupakanmu, bahkan 365 hari pun tak pernah bisa cukup.
Kupikir aku telah bebas dari perasaan yang mencekat itu. Tapi pada akhirnya aku
hanya lepas dari satu ranting yang mengikatku. Kupikir aku telah berhasil lari,
tapi pada akhirnya yang kulakukan hanya mengambil satu langkah dari batas aku
tertinggal. Aku tak akan mengakui bahwa aku tergila-gila padamu. Hanya saja
waktu yang kulalui bersamamu terlalu berharga hingga sulit untukku membuangnya.
Tetapi semakin aku ingin menyimpannya, semakin tercekat rasanya seakan-akan aku
hampir mati.
Kusebut diriku bodoh. Tak ada gunanya mengenang
masa yang sudah kadaluarsa, aku sendiri tahu hal itu. Tapi kekeraskepalaanku tetap
mempertahankannya. Kusebut hatiku batu, tak akan hancur meski kau pukul. Tapi
aku juga tahu bahwa batu pun bisa terkikis suatu hari nanti. Sama halnya hatiku
yang cepat atau lambat akan terkikis oleh kegersangan di dalamnya dan oleh air
mata yang kadang masih sering meledak tak terkendali. Tapi tetap saja, kusimpan
kau di sudut-sudut hatiku yang kosong meski hanya ilusinya saja.
Dunia kita saat itu entah nyata atau hanya
delusiku, aku sendiri bahkan tak yakin. Ah, mungkin sejak awal aku tahu bahwa
kita hanya membual dalam detik-detik itu. Tapi sudah terlanjur kuceburkan kedua
kakiku ke dalam lumpur. Seluruh tubuhku telah tenggelam. Orang bilang aku mulai
kerontang dan hampa. Tapi kurasa aku tidak sehampa itu. Sebab kubiarkan
bayang-bayangmu tetap tinggal di sela hatiku. Bayang-bayangmu masih betah
tinggal. Aku tidak hampa sebab ngilu yang kau berikan mengisi kekosongan
hatiku.. Tapi aku menikmati nyeri yang kadang terasa tiba-tiba. Ya, saat itu
aku gila, telah menjadi masokis yang menikmati rasa tak nyaman itu.
Sekarang aku mengerti, entah itu hanya wahamku
atau memang realita yang pernah terjadi di antara kita, pada akhirnya kita
hanya saling bersinggungan tanpa pernah saling bersatu. Kau pada akhirnya tak
berakhir di garis tempat aku berada. Sungguh, sejak awal aku memang sudah
mengerti. Aku tahu itu. Tapi kenapa... kenapa sulit untukku lepas dari fantasi
itu. Seakan-akan aku terjebak di antara jaring laba-laba yang lengket. Semakin
aku ingin melarikan diri, rasanya semakin hancur seluruh tubuh hingga tulangku.
365 hari... tahu kah kau bahwa aku hanya bisa maju selangkah dalam waktu selama
itu? Detik-detik berikutnya aku hanya bisa jalan di tempat. Kadang aku
memandang kembali pada batas yang kutinggalkan, tapi pada akhirnya hal itu
membuatku semakin merasa lumpuh. Sesungguhnya aku lelah untuk terus jalan di
tempat. Tapi untuk melihat jalan di depanku pun mataku buta. Sulit, karena apa
yang telah terjadi diantara kita menjadi dinding tebal yang menghalangiku.
Yaahh... kupikir aku menyerah untuk melangkah maju
dan bahkan menyerah untuk berusaha kembali mundur. Aku akan diam di tempat yang
kudapat setelah kulalui 365 hari untuk satu langkah maju itu. Tempat tanpa
batas dan hampa. Aku akan diam di sana, menikmati rasa sakit yang diberikan
oleh ilusi-ilusi yang kadang masih menghampiri. Menikmati aliran masa lalu yang
masih bisa menembus. Menikmati sisa-sisa cinta yang terus kujaga. Bersama dengan air mata yang kadang masih
menitik, kunikmati segalanya. Hingga suatu saat nanti sebuah cahaya akan
menuntunku kembali melangkah lagi. Hanya satu keyakinan itu yang mambuatku
mampu bertahan. Ya... pasti... aku tahu itu.
0 komentar: