Selasa, 02 Juli 2013

Satu Langkah

Satu Langkah
Firdausi R.
.
.
.



Hanya butuh waktu 24 jam untuk menyadari bahwa aku menyukaimu. Tapi untuk melupakanmu, bahkan 365 hari pun tak pernah bisa cukup. Kupikir aku telah bebas dari perasaan yang mencekat itu. Tapi pada akhirnya aku hanya lepas dari satu ranting yang mengikatku. Kupikir aku telah berhasil lari, tapi pada akhirnya yang kulakukan hanya mengambil satu langkah dari batas aku tertinggal. Aku tak akan mengakui bahwa aku tergila-gila padamu. Hanya saja waktu yang kulalui bersamamu terlalu berharga hingga sulit untukku membuangnya. Tetapi semakin aku ingin menyimpannya, semakin tercekat rasanya seakan-akan aku hampir mati.
Kusebut diriku bodoh. Tak ada gunanya mengenang masa yang sudah kadaluarsa, aku sendiri tahu hal itu. Tapi kekeraskepalaanku tetap mempertahankannya. Kusebut hatiku batu, tak akan hancur meski kau pukul. Tapi aku juga tahu bahwa batu pun bisa terkikis suatu hari nanti. Sama halnya hatiku yang cepat atau lambat akan terkikis oleh kegersangan di dalamnya dan oleh air mata yang kadang masih sering meledak tak terkendali. Tapi tetap saja, kusimpan kau di sudut-sudut hatiku yang kosong meski hanya ilusinya saja.
Dunia kita saat itu entah nyata atau hanya delusiku, aku sendiri bahkan tak yakin. Ah, mungkin sejak awal aku tahu bahwa kita hanya membual dalam detik-detik itu. Tapi sudah terlanjur kuceburkan kedua kakiku ke dalam lumpur. Seluruh tubuhku telah tenggelam. Orang bilang aku mulai kerontang dan hampa. Tapi kurasa aku tidak sehampa itu. Sebab kubiarkan bayang-bayangmu tetap tinggal di sela hatiku. Bayang-bayangmu masih betah tinggal. Aku tidak hampa sebab ngilu yang kau berikan mengisi kekosongan hatiku.. Tapi aku menikmati nyeri yang kadang terasa tiba-tiba. Ya, saat itu aku gila, telah menjadi masokis yang menikmati rasa tak nyaman itu.
Sekarang aku mengerti, entah itu hanya wahamku atau memang realita yang pernah terjadi di antara kita, pada akhirnya kita hanya saling bersinggungan tanpa pernah saling bersatu. Kau pada akhirnya tak berakhir di garis tempat aku berada. Sungguh, sejak awal aku memang sudah mengerti. Aku tahu itu. Tapi kenapa... kenapa sulit untukku lepas dari fantasi itu. Seakan-akan aku terjebak di antara jaring laba-laba yang lengket. Semakin aku ingin melarikan diri, rasanya semakin hancur seluruh tubuh hingga tulangku. 365 hari... tahu kah kau bahwa aku hanya bisa maju selangkah dalam waktu selama itu? Detik-detik berikutnya aku hanya bisa jalan di tempat. Kadang aku memandang kembali pada batas yang kutinggalkan, tapi pada akhirnya hal itu membuatku semakin merasa lumpuh. Sesungguhnya aku lelah untuk terus jalan di tempat. Tapi untuk melihat jalan di depanku pun mataku buta. Sulit, karena apa yang telah terjadi diantara kita menjadi dinding tebal yang menghalangiku.
Yaahh... kupikir aku menyerah untuk melangkah maju dan bahkan menyerah untuk berusaha kembali mundur. Aku akan diam di tempat yang kudapat setelah kulalui 365 hari untuk satu langkah maju itu. Tempat tanpa batas dan hampa. Aku akan diam di sana, menikmati rasa sakit yang diberikan oleh ilusi-ilusi yang kadang masih menghampiri. Menikmati aliran masa lalu yang masih bisa menembus. Menikmati sisa-sisa cinta yang terus kujaga.  Bersama dengan air mata yang kadang masih menitik, kunikmati segalanya. Hingga suatu saat nanti sebuah cahaya akan menuntunku kembali melangkah lagi. Hanya satu keyakinan itu yang mambuatku mampu bertahan. Ya... pasti... aku tahu itu.

0 komentar: