Harapan di Persimpangan
Ada yang mengatakan, setialah pada harapanmu. Tapi sampai
kapan kita harus setia pada harapan? Sampai mati kah? Sampai harapan itu nyata
kah? Tapi seandainya harapan yang selama ini ditunggu sesungguhnya tak pernah
ada, sampai kapan kita harus setia, sedang kita tak tahu apa harapan itu sungguh
ada atau sebatas fantasi belaka?
Ia tahu tentangmu dulu hanya
sebatas wajah. Lalu nama dan pada akhirnya setelah satu dan hal lain sebagainya
yang telah terjadi, ia mulai mengenalmu, saling bertegur sapa lewat jejaring
sosial, hanya sebatas itu. Waktu terus bergulir kemudian mempertemukan kalian. Pada
satu dua kali pertemuan itu, ada harapan yang tertanam di hatinya. Ada pintu
yang sedikit mulai sedikit terbuka untuk cahaya masuk. Ada ruangan untuk
menampung sikap dan kata-kata manismu padanya.
Ia terus menunggu, tapi kau tak
kunjung datang. Yang bertandang hanya kata-kata manis darimu. Tapi apa yang ia
harapkan tak pernah datang. Hingga akhirnya kau mengambil jalur yang berbeda,
meruntuhkan apa yang telah ia bangun. Telah layu dan sekarat apa yang telah
tumbuh di hatinya, menjadi parasit yang menimbulkan rasa sakit setiap ia
mengingat kenangan yang terpatri di otaknya.
Ratusan hari dan ribuan jam telah
mengalir. Rasa sakit itu masih ada tapi sedikit demi sedikit mulai mengabur. Entah
ia telah terbiasa atau lelah sehingga ia lupa. Ketika ia pikir ia telah bangkit
dan pergi dari persimpangan, kau kembali datang dengan sikap dan kata-kata
manismu. Pendiriannya rapuh sehingga sekali lagi ia diam di persimpangan. Sekali
lagi percaya pada harapan yang dulu pernah sekarat. Kembali tumbuh, terus
berkembang. Harapan itu sudah semakin menjadi-jadi. Ketika ia menunggu
pengharapannya menjadi nyata, kau kembali meninggalkannya, membiarkan yang
telah tumbuh tak sempat memekarkan kembangnya. Sekarat sekali lagi, menimbulkan
rasa sakit itu kepermukaan.
Dua-tiga kali kau datang dan pergi.
Seharusnya ia tahu bahwa setia pada harapan yang kau bawa adalah tindakan
sia-sia. Sesungguhnya ia tahu. Tapi perasaan itu selayaknya pohon yang mengakar
pada tanah lebih dari ratusan tahun. Meski telah mati, meski telah ditebang,
masih ada akar yang menancap di sana berusaha untuk tumbuh kembali meski tanah
tempat ia berdiri mulai gersang. Padahal ia tahu seharusnya kau hanya menjadi
bagian dari masa lalu yang hanya untuk dikenang. Tapi kenangan itu terus saja
terseret pada waktu yang mengalir saat ini seakan-akan melawan arus.
Setialah
pada harapanmu. Sampai kapan? Melebihi hitungan jari, ia terus bangkit dan
jatuh karena percaya. Melebihi hitungan jari ia terkhianati karena setia. Sampai
kapan ia harus setia seandainya harapan yang ia genggam sebenarnya tak pernah
ada? Sekarang ia muak. Perih itu telah mencapai batasnya. Ada bagian dari
dirinya masih percaya pada harapan yang kau berikan. Tapi kali ini ia berusaha
kokoh pada pendirian yang mencoba untuk berhenti menggantungkan diri pada
pengharapan yang tak pernah ada. Meski kadang perih itu membawa rindu, meski
kadang kenangan itu menumbuhkan kembali tunas yang ia kubur, ia mencoba untuk
percaya pada logika. Karena kata-kata manismu adalah omong kosong dan sikapmu
adalah basa-basi, sesungguhnya ia mengerti bahwa pengharapan yang ia coba
percayai dan setia tak pernah ada. Kali ini ia mencoba untuk melangkah lagi
meninggalkan fantasinya meski kadang kenangan-kenangan dan perasaan manis-pahit
itu mencoba menyandungnya dan menyeretnya kembali.
0 komentar: