Kamis, 27 Februari 2014

A Little secret of A promise


A Little Secret of A Promise
Firdausi R.

Udara panas kota Jakarta menyambut kedatangan Selena semenjak langkahnya mengantar ke luar bandara. Hawa panas itu memang tidak jauh berbeda dari Osaka, tempat ia tinggal selama ini, hanya saja saat ini sedang musim dingin di sana. Keramaian dan kesibukan orang-orang mewarnai kota, memang tak jauh berbeda dengan Osaka, tapi di sini suara mesin bermotor lebih sering terdengar daripada di lingkungan tempat ia tinggal di barat Negara Jepang tersebut.
Tidak ada waktu untuk Selena mengalami shock culture. Ia memandangi jam tangan yang terpasang di lengan kirinya, kemudian dengan bergegas menarik koper biru miliknya menuju taksi argo yang berada paling dekat dari tempat ia berdiri, meminta supir taksi mengantarnya ke cafe yang tertulis di layar ponselnya. Entah dimana itu, Selena juga tak tahu.
*****


Ia pikir cafe itu terletak cukup jauh dari bandara. Ternyata hanya dalam waktu 30 menit, ia sudah sampai di sana dan sekarang duduk seorang diri di kursi paling pojok dekat dengan kasir, tepat di sebelah jendela yang menampakan kesibukan orang-orang yang lalu-lalang di pinggir jalan. Sekali lagi Selena melirik jam tangannya, masih pukul satu dan waktu janji pertemuannya masih sekitar satu jam lagi. Ia menghela napas pasrah, melirik ke luar jendela sembari mengaduk-aduk ice vanilla latte yang ia pesan.
Ia takjub dengan perubahan kota Jakarta yang begitu cepat. Rasa-rasanya hanya sekitar dua tahun yang lalu ia baru saja menginjakan kaki di kota itu. Lingkungan tempat cafe itu berdiri, sebenarnya ia tahu betul. Sepertinya cafe tempat ia menikmati ice vanilla late saat ini baru saja dibangun dalam dua tahun terakhir. Dulu cafe ini hanya tanah kosong dengan sebuah pohon besar, tempat Selena sering menyendiri. Di seberang sana adalah toko buku kecil yang menjual buku-buku bekas yang selalu Selena kunjungi sebelum tenggelam dalam dunianya di bawah pohon rindang yang dulu berdiri di tanah tempat cafe ini sekarang dibangun. Tak banyak orang lalu lalang di daerah itu karena hanya ada rumah-rumah yang jaraknya jarang. Tapi yang berdiri di seberang sana adalah toko buku yang cukup besar. Pemukiman penduduk mulai memadati lingkungan tersebut.
Perkembangan kota yang begitu pesat membuatnya mengira-ngira bagaimana perubahan pada orang yang mengajaknya temu janji hari ini. Kota Jakarta yang tak ia temui dua tahun saja sudah sangat berubah di matanya. Entah bagaimana dengan pria yang  delapan tahun sudah tidak ia temui itu. Mungkin ia sudah berubah lebih dewasa. Mungkin ia sudah tidak seketus yang dulu terhadap wanita. Mungkin ia sudah memiliki kerutan kecil di bawah matanya yang selalu tampak tajam. Pikiran Selena membawanya kembali menyelam pada kenangan-kenangan masa lalu.
*****

Tanpa permisi atau pun mengetuk pintu, Selena menerobos masuk ke dalam rumah Lintang kemudian selonjoran di atas sofa ruang tengah rumah tersebut. Tidak sopan memang, tapi entah Lintang tidak keberatan atau sudah pasrah dengan kelakuan Selena, ia hanya diam dan menghela napas. Padahal ia baru saja pulang dari kerja sambilannya, tapi perempuan itu tidak tahu menahu dengan rasa lelah yang ia rasakan saat ini.
“Ene,” begitu biasanya Lintang memanggil Selena. “Kamu mau buat keributan apalagi di rumahku. Aku lagi capek,” ia sedikit ketus.
“Nggak masalah, kan. ‘Toh biasanya memang aku sering datang setelah kamu pulang kerja.”
“Tetap aja. Nggak seharusnya kamu nggak minta izin pemilik rumah dan masuk seenaknya.”
“Kenapa, sih, jadi ketus begitu. Baru juga lulus kuliah, sombongmu, kok, minta ampun gitu. ‘Kan udah biasa aku masuk sembarangan ke rumah kamu,” Selena sedikit kesal. Tapi tak ada suara lagi yang keluar dari mulut Lintang, namun kerutan di dahinya cukup banyak. Selena meliriknya, mencoba menelisik isi hati laki-laki itu. “Pacarmu, ya? Dia marah lagi denganmu gara-gara aku?”
Suara decakan dari mulut Lintang mengiyakan pertanyaan itu. Selena tak lagi bertanya. Ia diam saja kemudian mencoba menenggelamkan diri pada buku yang ia beli dalam perjalanan menuju rumah Lintang. Untuk masalah seperti ini, Selena tak mau beradu mulut. Ia mengerti alasan kekasih Lintang marah padanya. Tapi ia juga tidak mau tahu bagaimana kesalnya kekasih Lintang padanya karena selalu dekat dengan pria itu.
Baginya tidak ada alasan untuk menjauhi Lintang. Laki-laki itu sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak pertama kali mereka saling kenal. Bukan berarti ia ingin Lintang menjadi kekasihnya. Hanya saja laki-laki itu telah banyak mengisi hari-harinya, sebagai sahabat, sebagai partner. Bahkan ketika Lintang bertelanjang dada seperti saat ini untuk mengganti pakaiannya, tidak ada perasaan canggung di antara mereka. Intinya, tidak ada cinta yang ingin saling memonopoli di antara mereka. Antara Selena dan kekasih Lintang, tentu Selena yang lebih lama mengenal Lintang. Itu sebabnya, bagi Selena tak ada yang berhak membangun dinding di antara hubungannya dengan laki-laki itu.
Baru saja Selena mulai tenggelam dalam imajinasinya, dering ponsel miliknya membuyarkan konsentrasinya. Tertulis di sana nama pria yang saat ini sedang duduk di singgasana hatinya. Kira-kira Selena tahu apa yang akan dibicarakan pria itu sebab saat ini mereka sedang dalam pertengkaran kecil. Oleh karena pertengkaran itu lah, Selena kabur menuju rumah Lintang. Ingin sekali ia mengabaikan panggilan itu, tapi hati nuraninya tidak terlalu tega membiarkan pria itu tenggelam dalam kekhawatiran.
“Iya, halo,” Selena menjawab seketus mungkin, berusaha terdengar masih marah.
“Kamu dimana, Ene? Berkali-kali teleponku nggak kamu angkat.”
“Salahmu sendiri mengabaikan aku. Seharian kemarin kamu nggak ada kasih kabar ke aku. Kamu yang nggak peduli denganku lagi, kan?”
“Kan, sudah kubilang aku sibuk mengurus kepindahan kita. Banyak masalah di perusahaan juga.”
“Seenggaknya, kan, kamu bisa kasih aku kabar, bodoh.”
“Hhhh... kamu dimana? Biar kujemput.”
“Nggak perlu.”
“Di tempat Lintang lagi, ya? Ngapain kamu ke situ, sih. Sadar nggak, sih, kalau aku ini tunanganmu. Lintang itu laki-laki, tahu. Gimana pun kamu nganggap dia sahabat, belum tentu nggak ada apa-apa di antara kalian, kan. Mungkin emang kamu nggak ada perasaan khusus ke dia. Tapi Lintang mungkin—“
“Sudah cukup, Ian! Aku nggak suka dengar kata-kata begitu lagi. Kalau aku sudah tenang, kuhubungi lagi kamu. Dah,” Selena mengakhiri panggilan dengan kesal.
Lintang bisa mereka-reka  isi percakapan Selena di ponsel. Ia mengambil botol mineral dari dalam kulkas kemudian duduk di sebelah Selena yang masih menggerutu kesal sembari meneguk sedikit demi sedikit air es yang menyegarkan tenggorokannya. Ia memperhatikan perempuan itu sebentar, kemudian kembali menghela napas.
“Tunanganmu, ya? Berantem?”
“Kamu bisa dengar sendiri, kan? Nggak Ian, nggak pacarmu, mereka sama aja.” Selena masih terbawa emosi. “Lintang. Apa... kita salah? Apa... kamu merasa terganggu dengan aku yang selalu dekat denganmu?”
Lintang diam. Ia menelisik ke dalam hati Selena, apa gadis itu menginginkan jawaban yang serius atau tidak. Tapi kekeruhan di wajah Selena membuatnya berpikir untuk menjawab pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh. Mungkin masalah ini sudah lama menjadi pikiran Selena. Mungkin sama halnya dengan dirinya yang terus terombang-ambing dalam masalah ini.
“Kalau aku merasa terganggu, udah dari dulu aku buang kamu, tahu.”
“Jahat banget...,” Selena berkomentar, membuat cengiran lebar terpampang di wajah Lintang.
“Gimana, ya... Partner in crime, gitu kan orang bilangnya? Aku ngerasa nyaman di sampingmu.”
Selena melirik ke arahnya. Ada sedikit semu di wajah Lintang yang coba ia sembunyikan dengan memalingkan wajah sedikit. Kata-katanya sendiri mungkin membuatnya malu. Tapi hal itu membuat Selena tersenyum lega. Sama halnya dengan Lintang, perasaan seperti itu juga mengisi hatinya. Ia paling nyaman berada di sisi Lintang. Ia paling merasa menjadi dirinya ketika ia bersama Lintang. Tak ada yang ia sembunyikan dari dirinya jika ia berhadapan dengan laki-laki itu. Ada perasaan hangat yang mengalir di antara keduanya ketika mereka bersama. Tapi tak satu pun dari mereka mengakui bahwa itu cinta. Sebab tidak ada rasa ingin saling memonopoli ketika mereka bersama.
Selena melipat kakinya di depan dada, menopangkan dagunya di atas lutut. Ia mengingat-ingat kembali pada masa sekolah dulu.
“Ingat nggak dulu kamu sering putus dengan  pacarmu waktu SMA gara-gara mereka bilang kamu selingkuh denganku?”
“Yaahh... Kurasa memang ada kejadian begitu.”
“Mantanmu itu posesif semua. Kan mereka tau kalau aku sama kamu sudah lama kayak begini. Kamu nggak kesal denganku? Kan gara-gara aku, kamu jadi putus.”
“.... Karena kupikir memang seperti itu lah hubungan kita, jadi aku juga nggak bisa merasa kesal denganmu. Bukan salahmu, bukan salah mereka juga. Mungkin salahku yang tidak bisa mengerti perasaan mereka. Aku Cuma mengikuti keegoisanku yang nggak mau berpisah darimu.”
“Teman-teman kita dulu bilang, nggak ada namanya persahabatan antara cowok-cewek. Yang ada malah bibit-bibit cinta tumbuh. Mereka selalu menanti-nanti kita jadian,” Selena terkekeh. “.... Lintang, apa... nggak pernah sekali pun terbersit dipikiranmu buat jadian denganku? Apa kamu nggak pernah merasa sekali saja tertarik denganku?”
“Kamu sendiri gimana?” Lintang sengaja melamparkan kembali pertanyaan itu.
“....Aku senang berada di dekatmu. Entah itu karena aku tertarik padamu atau nggak. Tapi gimana pun, bisa dibilang kamu bagian penting dari hidupku. Makanya aku sering kesal kalau ada yang menyuruhku untuk nggak dekat-dekat denganmu lagi.”
“Sama denganmu, Ene. Aku juga senang bersamamu. Entah itu karena aku memang jatuh cinta denganmu atau nggak. Tapi mungkin, karena kita terlalu sering bersama, ketertarikan itu tenggelam. Kita sama-sama nyaman dengan situasi seperti ini. Kita sama-sama menutup hati, mencoba mengelak dari perasaan yang sesungguhnya. Mungkin pada situasi lain,  ketika kita nggak sedekat ini, ketika kita nggak sesering ini bersama, perasaan itu tumbuh dengan leluasa. Jadi menjawab pertanyaanmu, aku nggak yakin apa aku benar-benar nggak pernah sekali pun berpikir bahwa aku jatuh cinta padamu. Sama halnya denganmu, kan?”
Hening. Keduanya saling tenggelam dalam pikiran masing-masing. Baru kali ini mereka berbicara tentang perasaan. Ada desiran-desiran baru yang mulai menggaung di antara palung hati keduanya. Mungkin bukan desiran yang baru, desiran itu sudah lama ada, tapi keduanya tak acuh dengan hal itu, berpura-pura untuk tidak mengetahuinya. Kini ketika mereka berdua mulai membicarakannya, sedikit demi sedikit apa yang tenggelam itu mulai muncul kepermukaan.
Selena melirik laki-laki yang duduk di sebelahnya yang masih menggenggam botol air mineral yang hanya terisi setengahnya. Dari semua laki-laki yang pernah ia temui, Lintang memang satu-satunya yang membuat dirinya merasa nyaman, bahkan lebih dari tunangannya sendiri. Bahkan di matanya, Lintang adalah laki-laki paling tampan yang pernah ia temui. Meski begitu, tak sekali pun ia ingin memonopoli Lintang. Yang ia inginkan hanya menghabiskan waktu bersama laki-laki tersebut, karena hari-hari dimana ia bersama Lintang adalah momen-momen paling berharga di hidupnya.
“Kalau memang begitu...,” Selena membuka suara memecah keheningan dengan kalimat menggantung yang berhasil membuat Lintang menoleh ke arahnya setelah lama tenggelam dalam pikiran. “Kalau memang begitu... apa sebaiknya kita coba pacaran saja?”
Lintang diam. Ia sulit untuk menemukan jawaban pertanyaan itu. Selena dapat menangkap hal itu dari ekspresi wajah Lintang yang terlihat kaku.
“Kupikir kata-katamu ada benarnya. Mungkin selama ini aku menutup hatiku agar kamu nggak masuk lebih dalam lagi. Karena kita terlalu sering bersama, situasi semacam ini sudah menjadi hal biasa bagi kita.”
“Kamu yakin dengan kata-katamu itu?”
Selena hanya tersenyum ambigu. Ia mungkin terombang-ambing dalam kebingungan. Ada sedikit kekeruhan yang terlihat di wajahnya. Lintang sangat paham akan hal itu. Karena apa yang mengganggu pikiran Selena, saat ini juga sedang mengiyang-ngiyang di kepalanya. Apa memang pada akhirnya ia jatuh cinta pada Selena? Apa memang sebenarnya dari dalam lubuk hatinya ada terbersit nafsu yang ingin memonopoli perempuan itu? Tapi di lain sisi, ada bagian dari dirinya yang menolak hal itu. Sebab baginya apa yang ada saat ini di antara mereka sudah cukup. Karena itu adalah hal yang berharga.
Keduanya saling bertukar pandang, menelisik satu per satu isi hati satu sama lain juga isi hati mereka sendiri. Ada sedikit percikan perasaan yang terbersit di antara kedua pasang bola mata itu. Ada desiran yang semakin kuat menyapu hati mereka dengan kehangatan. Ada adrenalin yang sedikit mulai sedikit memacu jantung mereka. Ada bibit yang mulai menumbuhkan sulur-sulurnya. Hingga pada akhirnya keduanya saling menautkan bibir, saling berbagi perasaan. Hingga Lintang mulai melingkarkan lengannya di pinggang Selena dan Selena melingkarkan lengan di leher Lintang. Mereka saling berbagi kehangatan.
Tapi sebelum mereka melangkah lebih jauh, Selena menghentikan gairah itu. Ia melepaskan bibirnya dan melonggarkan lengannya, begitu pula dengan Lintang. Mereka saling bertukar pandang, kali ini tanpa sedikit pun kekeruhan yang terlihat di wajah mereka. Selena tersenyum.
“Aku akhirnya mengerti, Lintang. Memang sebaiknya kita terus seperti sebelumnya saja. Karena kamu berharga untukku.”
“Aku tahu. Kurasa memang harus begitu. Aku nggak mau kehilanganmu. Batas kita memang sampai di situ. Aku suka kamu, melebihi dari seorang sahabat. Juga melebihi dari seorang kekasih. Kamu juga nggak kuanggap keluarga. Aku nggak bisa menjelaskannya. Tapi kamu memang paling berharga di hidupku...”
“Makanya, seandainya kita melangkah lebih dari ini, aku takut kehilanganmu. Kamu juga merasa begitu, kan?”
Lintang hanya tersenyum mengiyakan.
“Besok... aku akan pindah ke Osaka, bersama dengan tunanganku. Mungkin cukup lama sampai aku kembali ke Jakarta lagi. Lintang, aku ingin membuat janji denganmu. Ketika kita bertemu lagi, kapan pun itu, entah setelah besok atau pun setelah kita bertemu kembali beberapa tahun nanti, saat kamu sendirian dan merasa kesepian, saat ketika aku juga sudah sendirian, entah itu 40 tahun lagi atau saat kamu sudah jadi kakek-kakek, aku nggak keberatan menemanimu menikmati sisa-sisa hidupmu. Sampai kapan pun, kamu tetap laki-laki paling berharga di hidupku...”
“Hal itu juga berlaku untukmu. Aku nggak keberatan menemani sisa hidupmu kalau seandainya memang pada akhirnya kamu sendirian dan kesepian. Besok aku akan ikut mengantarmu.”
“Terima kasih,” Selena tersenyum lembut dibalas dengan senyuman teduh milik Lintang.
*****

Kemudian keesokan harinya yang Selena ingat, Lintang mengantar kepergiannya bersama dengan kekasihnya. Wanita di samping Lintang saat itu memang terlihat tersenyum saat mengantar kepergiannya. Ada tersirat kelegaan dari senyum itu, tapi ada kewaspadaan dan rasa cemburu dari bola matanya. Mungkin seandainya ia tahu apa yang terjadi sehari sebelumnya, Selena akan dibekali satu tamparan keras dari kekasih Lintang ketika mengantar kepergiannya.
Ingatan itu membuatnya membubuhkan senyum kecil di wajahnya. Janji itu masih ia ingat. Tapi selama delapan tahun ia tidak bertemu dengan Lintang, hanya dua kali mereka saling komunikasi, yaitu ketika Lintang memberikan pengumuman bahwa ia akan menikah lima tahun yang lalu, dan Selena yang memberikan berita pada Lintang bahwa ia akan menikah setahun sebelumnya. Itu pun hanya lewat email. Mereka tidak pernah saling berkomunikasi lagi. Baru beberapa terakhir ini mereka saling kontak dan hari ini berjanji saling bertemu.
“Ene...”
Suara yang sangat ia rindukan membuatnya bangun dari lamunan dan refleks menoleh. Di depannya berdiri pria hampir kepala tiga yang rupawan. Berbeda dari delapan tahun yang lalu, wajah ketus pria itu kini sedikit melunak dengan kantung mata kecil yang tergantung di kelopak bawah. Tubuhnya masih tetap tegap dan atletis. Dulu ia senang mengenakan kaos oblong dengan celana jeans yang menampakan sedikit bentuk kakinya. Kini yang ia kenakan setelan jas yang sangat cocok membalut tubuhnya, meski masih sedikit terlihat berantakan, dengan kemeja yang dibiarkan tidak masuk ke dalam celana dan dasi yang sedikit dilonggarkan. Laki-laki yang dulu ia kenal, kini telah menjadi pria dewasa yang menarik banyak perhatian wanita.
“Gimana kabarmu, Ene?” Lintang kembali bicara sembari duduk di depan Selena.
“Kayak yang kamu lihat,” Selena memberi cengiran khasnya. “Istrimu...”
“Sayang...” suara seorang wanita menginterupsi pembicaraan mereka. Ia bicara pada Lintang.
“Kalau kamu nanya istriku, dia istriku. Yang dia gendong anakku. Namanya Bintang. Cakep kayak aku, kan?”
“Heh. Turunan istrimu, makanya cakep.”
Lintang tertawa, istrinya tersipu malu. Wanita di sebelah Lintang itu, bukan wanita yang dulu merupakan kekasih Lintang. Entah bagaimana dan seperti apa mereka bertemu, Selena cukup yakin bahwa mereka bahagia. Selena senang melihat kebahagiaan itu. Meski ia menganggap Lintang berharga, jalan yang ia tempuh juga sama dengan Lintang. Pada akhirnya ia terus bersama dengan tunangannya yang saat ini menjadi suaminya. Selena dan Lintang memang saling menganggap bahwa satu sama lain berharga, tapi mereka juga sangat mencintai pasangan mereka saat ini. Makanya tak ada rasa cemburu sama sekali terbersit di hati Selena.
Ketika buah hati Lintang merengek karena buang air kecil, istrinya permisi dan membawa Bintang ke kamar kecil untuk menggantikan popok. Kini hanya tinggal mereka berdua duduk saling berhadapan. Selena tersenyum penuh arti.
“Sepertinya saat ini belum saatnya, ya...”
“Kurasa begitu. Kamu juga masih bahagia dengan suamimu, kan?” Lintang mengerti kalimat tersirat itu, ia menjawab dengan tersenyum.
“Tentu saja. Tapi, Lintang. Aku akan tetap memegang janjiku padamu waktu itu. Aku nggak akan melanggarnya karena sampai saat ini, apa yang kurasakan terhadapmu nggak pernah berubah.”
“Hal yang sama berlaku padamu, Ene.”
Mereka saling bertukar pandang, menyalurkan kerinduan yang tertumpuk selama ini. Saling berbagi perasaan yang lama tidak mereka bagi. Berkomunikasi melalui hati mereka yang sudah lama saling terhubung.
Desiran-desiran hangat itu masih ada di kedua relung hati mereka. Masih menggaung dengan keras bersama kerinduan yang terus menjadi-jadi. Cinta di antara mereka masih sama. Cinta yang melebih cinta terhadap sahabat. Cinta yang melebihi cinta untuk kekasih. Cinta yang berbeda dengan cinta mereka terhadap keluarga. Sulur yang mereka tumbuhkan adalah cinta yang berbeda. Perasaan yang kompleks yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Mungkin itu yang disebut dengan cinta yang tak harus saling memiliki. Perasaan yang bahkan tak seorang pun dapat menjelaskannya.
*****

0 komentar: