A Little secret of A promise
A Little Secret of A Promise
Firdausi
R.
Udara panas kota
Jakarta menyambut kedatangan Selena semenjak langkahnya mengantar ke luar
bandara. Hawa panas itu memang tidak jauh berbeda dari Osaka, tempat ia tinggal
selama ini, hanya saja saat ini sedang musim dingin di sana. Keramaian dan
kesibukan orang-orang mewarnai kota, memang tak jauh berbeda dengan Osaka, tapi
di sini suara mesin bermotor lebih sering terdengar daripada di lingkungan
tempat ia tinggal di barat Negara Jepang tersebut.
Tidak ada waktu
untuk Selena mengalami shock culture.
Ia memandangi jam tangan yang terpasang di lengan kirinya, kemudian dengan
bergegas menarik koper biru miliknya menuju taksi argo yang berada paling dekat
dari tempat ia berdiri, meminta supir taksi mengantarnya ke cafe yang tertulis
di layar ponselnya. Entah dimana itu, Selena juga tak tahu.
*****
Ia pikir cafe itu
terletak cukup jauh dari bandara. Ternyata hanya dalam waktu 30 menit, ia sudah
sampai di sana dan sekarang duduk seorang diri di kursi paling pojok dekat
dengan kasir, tepat di sebelah jendela yang menampakan kesibukan orang-orang
yang lalu-lalang di pinggir jalan. Sekali lagi Selena melirik jam tangannya,
masih pukul satu dan waktu janji pertemuannya masih sekitar satu jam lagi. Ia menghela
napas pasrah, melirik ke luar jendela sembari mengaduk-aduk ice vanilla latte yang ia pesan.
Ia takjub dengan
perubahan kota Jakarta yang begitu cepat. Rasa-rasanya hanya sekitar dua tahun
yang lalu ia baru saja menginjakan kaki di kota itu. Lingkungan tempat cafe itu
berdiri, sebenarnya ia tahu betul. Sepertinya cafe tempat ia menikmati ice vanilla late saat ini baru saja
dibangun dalam dua tahun terakhir. Dulu cafe ini hanya tanah kosong dengan
sebuah pohon besar, tempat Selena sering menyendiri. Di seberang sana adalah
toko buku kecil yang menjual buku-buku bekas yang selalu Selena kunjungi
sebelum tenggelam dalam dunianya di bawah pohon rindang yang dulu berdiri di
tanah tempat cafe ini sekarang dibangun. Tak banyak orang lalu lalang di daerah
itu karena hanya ada rumah-rumah yang jaraknya jarang. Tapi yang berdiri di
seberang sana adalah toko buku yang cukup besar. Pemukiman penduduk mulai
memadati lingkungan tersebut.
Perkembangan kota
yang begitu pesat membuatnya mengira-ngira bagaimana perubahan pada orang yang
mengajaknya temu janji hari ini. Kota Jakarta yang tak ia temui dua tahun saja
sudah sangat berubah di matanya. Entah bagaimana dengan pria yang delapan tahun sudah tidak ia temui itu.
Mungkin ia sudah berubah lebih dewasa. Mungkin ia sudah tidak seketus yang dulu
terhadap wanita. Mungkin ia sudah memiliki kerutan kecil di bawah matanya yang
selalu tampak tajam. Pikiran Selena membawanya kembali menyelam pada
kenangan-kenangan masa lalu.
*****
Tanpa permisi
atau pun mengetuk pintu, Selena menerobos masuk ke dalam rumah Lintang kemudian
selonjoran di atas sofa ruang tengah rumah tersebut. Tidak sopan memang, tapi
entah Lintang tidak keberatan atau sudah pasrah dengan kelakuan Selena, ia
hanya diam dan menghela napas. Padahal ia baru saja pulang dari kerja
sambilannya, tapi perempuan itu tidak tahu menahu dengan rasa lelah yang ia
rasakan saat ini.
“Ene,” begitu
biasanya Lintang memanggil Selena. “Kamu mau buat keributan apalagi di rumahku.
Aku lagi capek,” ia sedikit ketus.
“Nggak masalah,
kan. ‘Toh biasanya memang aku sering
datang setelah kamu pulang kerja.”
“Tetap aja. Nggak
seharusnya kamu nggak minta izin pemilik rumah dan masuk seenaknya.”
“Kenapa, sih,
jadi ketus begitu. Baru juga lulus kuliah, sombongmu, kok, minta ampun gitu. ‘Kan
udah biasa aku masuk sembarangan ke rumah kamu,” Selena sedikit kesal. Tapi tak
ada suara lagi yang keluar dari mulut Lintang, namun kerutan di dahinya cukup
banyak. Selena meliriknya, mencoba menelisik isi hati laki-laki itu. “Pacarmu,
ya? Dia marah lagi denganmu gara-gara aku?”
Suara decakan
dari mulut Lintang mengiyakan pertanyaan itu. Selena tak lagi bertanya. Ia diam
saja kemudian mencoba menenggelamkan diri pada buku yang ia beli dalam
perjalanan menuju rumah Lintang. Untuk masalah seperti ini, Selena tak mau
beradu mulut. Ia mengerti alasan kekasih Lintang marah padanya. Tapi ia juga
tidak mau tahu bagaimana kesalnya kekasih Lintang padanya karena selalu dekat
dengan pria itu.
Baginya tidak ada
alasan untuk menjauhi Lintang. Laki-laki itu sudah menjadi bagian dari hidupnya
sejak pertama kali mereka saling kenal. Bukan berarti ia ingin Lintang menjadi
kekasihnya. Hanya saja laki-laki itu telah banyak mengisi hari-harinya, sebagai
sahabat, sebagai partner. Bahkan ketika Lintang bertelanjang dada seperti saat
ini untuk mengganti pakaiannya, tidak ada perasaan canggung di antara mereka. Intinya,
tidak ada cinta yang ingin saling memonopoli di antara mereka. Antara Selena
dan kekasih Lintang, tentu Selena yang lebih lama mengenal Lintang. Itu sebabnya,
bagi Selena tak ada yang berhak membangun dinding di antara hubungannya dengan
laki-laki itu.
Baru saja Selena
mulai tenggelam dalam imajinasinya, dering ponsel miliknya membuyarkan
konsentrasinya. Tertulis di sana nama pria yang saat ini sedang duduk di
singgasana hatinya. Kira-kira Selena tahu apa yang akan dibicarakan pria itu
sebab saat ini mereka sedang dalam pertengkaran kecil. Oleh karena pertengkaran
itu lah, Selena kabur menuju rumah Lintang. Ingin sekali ia mengabaikan
panggilan itu, tapi hati nuraninya tidak terlalu tega membiarkan pria itu
tenggelam dalam kekhawatiran.
“Iya, halo,”
Selena menjawab seketus mungkin, berusaha terdengar masih marah.
“Kamu dimana,
Ene? Berkali-kali teleponku nggak kamu angkat.”
“Salahmu sendiri
mengabaikan aku. Seharian kemarin kamu nggak ada kasih kabar ke aku. Kamu yang
nggak peduli denganku lagi, kan?”
“Kan, sudah
kubilang aku sibuk mengurus kepindahan kita. Banyak masalah di perusahaan juga.”
“Seenggaknya,
kan, kamu bisa kasih aku kabar, bodoh.”
“Hhhh... kamu
dimana? Biar kujemput.”
“Nggak perlu.”
“Di tempat
Lintang lagi, ya? Ngapain kamu ke situ, sih. Sadar nggak, sih, kalau aku ini
tunanganmu. Lintang itu laki-laki, tahu. Gimana pun kamu nganggap dia sahabat,
belum tentu nggak ada apa-apa di antara kalian, kan. Mungkin emang kamu nggak
ada perasaan khusus ke dia. Tapi Lintang mungkin—“
“Sudah cukup,
Ian! Aku nggak suka dengar kata-kata begitu lagi. Kalau aku sudah tenang,
kuhubungi lagi kamu. Dah,” Selena mengakhiri panggilan dengan kesal.
Lintang bisa
mereka-reka isi percakapan Selena di
ponsel. Ia mengambil botol mineral dari dalam kulkas kemudian duduk di sebelah
Selena yang masih menggerutu kesal sembari meneguk sedikit demi sedikit air es
yang menyegarkan tenggorokannya. Ia memperhatikan perempuan itu sebentar,
kemudian kembali menghela napas.
“Tunanganmu, ya? Berantem?”
“Kamu bisa dengar
sendiri, kan? Nggak Ian, nggak pacarmu, mereka sama aja.” Selena masih terbawa
emosi. “Lintang. Apa... kita salah? Apa... kamu merasa terganggu dengan aku
yang selalu dekat denganmu?”
Lintang diam. Ia menelisik
ke dalam hati Selena, apa gadis itu menginginkan jawaban yang serius atau
tidak. Tapi kekeruhan di wajah Selena membuatnya berpikir untuk menjawab
pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh. Mungkin masalah ini sudah lama menjadi pikiran
Selena. Mungkin sama halnya dengan dirinya yang terus terombang-ambing dalam
masalah ini.
“Kalau aku merasa
terganggu, udah dari dulu aku buang kamu, tahu.”
“Jahat banget...,”
Selena berkomentar, membuat cengiran lebar terpampang di wajah Lintang.
“Gimana, ya... Partner in crime, gitu kan orang
bilangnya? Aku ngerasa nyaman di sampingmu.”
Selena melirik ke
arahnya. Ada sedikit semu di wajah Lintang yang coba ia sembunyikan dengan
memalingkan wajah sedikit. Kata-katanya sendiri mungkin membuatnya malu. Tapi hal
itu membuat Selena tersenyum lega. Sama halnya dengan Lintang, perasaan seperti
itu juga mengisi hatinya. Ia paling nyaman berada di sisi Lintang. Ia paling
merasa menjadi dirinya ketika ia bersama Lintang. Tak ada yang ia sembunyikan
dari dirinya jika ia berhadapan dengan laki-laki itu. Ada perasaan hangat yang
mengalir di antara keduanya ketika mereka bersama. Tapi tak satu pun dari
mereka mengakui bahwa itu cinta. Sebab tidak ada rasa ingin saling memonopoli
ketika mereka bersama.
Selena melipat
kakinya di depan dada, menopangkan dagunya di atas lutut. Ia mengingat-ingat
kembali pada masa sekolah dulu.
“Ingat nggak dulu
kamu sering putus dengan pacarmu waktu
SMA gara-gara mereka bilang kamu selingkuh denganku?”
“Yaahh... Kurasa
memang ada kejadian begitu.”
“Mantanmu itu
posesif semua. Kan mereka tau kalau aku sama kamu sudah lama kayak begini. Kamu
nggak kesal denganku? Kan gara-gara aku, kamu jadi putus.”
“.... Karena
kupikir memang seperti itu lah hubungan kita, jadi aku juga nggak bisa merasa
kesal denganmu. Bukan salahmu, bukan salah mereka juga. Mungkin salahku yang
tidak bisa mengerti perasaan mereka. Aku Cuma mengikuti keegoisanku yang nggak
mau berpisah darimu.”
“Teman-teman kita
dulu bilang, nggak ada namanya persahabatan antara cowok-cewek. Yang ada malah
bibit-bibit cinta tumbuh. Mereka selalu menanti-nanti kita jadian,” Selena terkekeh.
“.... Lintang, apa... nggak pernah sekali pun terbersit dipikiranmu buat jadian
denganku? Apa kamu nggak pernah merasa sekali saja tertarik denganku?”
“Kamu sendiri
gimana?” Lintang sengaja melamparkan kembali pertanyaan itu.
“....Aku senang
berada di dekatmu. Entah itu karena aku tertarik padamu atau nggak. Tapi gimana
pun, bisa dibilang kamu bagian penting dari hidupku. Makanya aku sering kesal
kalau ada yang menyuruhku untuk nggak dekat-dekat denganmu lagi.”
“Sama denganmu,
Ene. Aku juga senang bersamamu. Entah itu karena aku memang jatuh cinta
denganmu atau nggak. Tapi mungkin, karena kita terlalu sering bersama,
ketertarikan itu tenggelam. Kita sama-sama nyaman dengan situasi seperti ini.
Kita sama-sama menutup hati, mencoba mengelak dari perasaan yang sesungguhnya.
Mungkin pada situasi lain, ketika kita
nggak sedekat ini, ketika kita nggak sesering ini bersama, perasaan itu tumbuh
dengan leluasa. Jadi menjawab pertanyaanmu, aku nggak yakin apa aku benar-benar
nggak pernah sekali pun berpikir bahwa aku jatuh cinta padamu. Sama halnya
denganmu, kan?”
Hening. Keduanya saling
tenggelam dalam pikiran masing-masing. Baru kali ini mereka berbicara tentang
perasaan. Ada desiran-desiran baru yang mulai menggaung di antara palung hati
keduanya. Mungkin bukan desiran yang baru, desiran itu sudah lama ada, tapi
keduanya tak acuh dengan hal itu, berpura-pura untuk tidak mengetahuinya. Kini ketika
mereka berdua mulai membicarakannya, sedikit demi sedikit apa yang tenggelam
itu mulai muncul kepermukaan.
Selena melirik
laki-laki yang duduk di sebelahnya yang masih menggenggam botol air mineral
yang hanya terisi setengahnya. Dari semua laki-laki yang pernah ia temui,
Lintang memang satu-satunya yang membuat dirinya merasa nyaman, bahkan lebih
dari tunangannya sendiri. Bahkan di matanya, Lintang adalah laki-laki paling
tampan yang pernah ia temui. Meski begitu, tak sekali pun ia ingin memonopoli
Lintang. Yang ia inginkan hanya menghabiskan waktu bersama laki-laki tersebut,
karena hari-hari dimana ia bersama Lintang adalah momen-momen paling berharga
di hidupnya.
“Kalau memang
begitu...,” Selena membuka suara memecah keheningan dengan kalimat menggantung
yang berhasil membuat Lintang menoleh ke arahnya setelah lama tenggelam dalam
pikiran. “Kalau memang begitu... apa sebaiknya kita coba pacaran saja?”
Lintang diam. Ia sulit
untuk menemukan jawaban pertanyaan itu. Selena dapat menangkap hal itu dari
ekspresi wajah Lintang yang terlihat kaku.
“Kupikir
kata-katamu ada benarnya. Mungkin selama ini aku menutup hatiku agar kamu nggak
masuk lebih dalam lagi. Karena kita terlalu sering bersama, situasi semacam ini
sudah menjadi hal biasa bagi kita.”
“Kamu yakin
dengan kata-katamu itu?”
Selena hanya
tersenyum ambigu. Ia mungkin terombang-ambing dalam kebingungan. Ada sedikit
kekeruhan yang terlihat di wajahnya. Lintang sangat paham akan hal itu. Karena apa
yang mengganggu pikiran Selena, saat ini juga sedang mengiyang-ngiyang di
kepalanya. Apa memang pada akhirnya ia jatuh cinta pada Selena? Apa memang
sebenarnya dari dalam lubuk hatinya ada terbersit nafsu yang ingin memonopoli
perempuan itu? Tapi di lain sisi, ada bagian dari dirinya yang menolak hal itu.
Sebab baginya apa yang ada saat ini di antara mereka sudah cukup. Karena itu
adalah hal yang berharga.
Keduanya saling
bertukar pandang, menelisik satu per satu isi hati satu sama lain juga isi hati
mereka sendiri. Ada sedikit percikan perasaan yang terbersit di antara kedua
pasang bola mata itu. Ada desiran yang semakin kuat menyapu hati mereka dengan
kehangatan. Ada adrenalin yang sedikit mulai sedikit memacu jantung mereka. Ada
bibit yang mulai menumbuhkan sulur-sulurnya. Hingga pada akhirnya keduanya
saling menautkan bibir, saling berbagi perasaan. Hingga Lintang mulai
melingkarkan lengannya di pinggang Selena dan Selena melingkarkan lengan di
leher Lintang. Mereka saling berbagi kehangatan.
Tapi sebelum
mereka melangkah lebih jauh, Selena menghentikan gairah itu. Ia melepaskan
bibirnya dan melonggarkan lengannya, begitu pula dengan Lintang. Mereka saling
bertukar pandang, kali ini tanpa sedikit pun kekeruhan yang terlihat di wajah
mereka. Selena tersenyum.
“Aku akhirnya
mengerti, Lintang. Memang sebaiknya kita terus seperti sebelumnya saja. Karena
kamu berharga untukku.”
“Aku tahu. Kurasa
memang harus begitu. Aku nggak mau kehilanganmu. Batas kita memang sampai di
situ. Aku suka kamu, melebihi dari seorang sahabat. Juga melebihi dari seorang
kekasih. Kamu juga nggak kuanggap keluarga. Aku nggak bisa menjelaskannya. Tapi
kamu memang paling berharga di hidupku...”
“Makanya,
seandainya kita melangkah lebih dari ini, aku takut kehilanganmu. Kamu juga
merasa begitu, kan?”
Lintang hanya
tersenyum mengiyakan.
“Besok... aku
akan pindah ke Osaka, bersama dengan tunanganku. Mungkin cukup lama sampai aku
kembali ke Jakarta lagi. Lintang, aku ingin membuat janji denganmu. Ketika kita
bertemu lagi, kapan pun itu, entah setelah besok atau pun setelah kita bertemu
kembali beberapa tahun nanti, saat kamu sendirian dan merasa kesepian, saat ketika
aku juga sudah sendirian, entah itu 40 tahun lagi atau saat kamu sudah jadi
kakek-kakek, aku nggak keberatan menemanimu menikmati sisa-sisa hidupmu. Sampai
kapan pun, kamu tetap laki-laki paling berharga di hidupku...”
“Hal itu juga
berlaku untukmu. Aku nggak keberatan menemani sisa hidupmu kalau seandainya
memang pada akhirnya kamu sendirian dan kesepian. Besok aku akan ikut
mengantarmu.”
“Terima kasih,”
Selena tersenyum lembut dibalas dengan senyuman teduh milik Lintang.
*****
Kemudian keesokan
harinya yang Selena ingat, Lintang mengantar kepergiannya bersama dengan
kekasihnya. Wanita di samping Lintang saat itu memang terlihat tersenyum saat
mengantar kepergiannya. Ada tersirat kelegaan dari senyum itu, tapi ada
kewaspadaan dan rasa cemburu dari bola matanya. Mungkin seandainya ia tahu apa
yang terjadi sehari sebelumnya, Selena akan dibekali satu tamparan keras dari
kekasih Lintang ketika mengantar kepergiannya.
Ingatan itu
membuatnya membubuhkan senyum kecil di wajahnya. Janji itu masih ia ingat. Tapi
selama delapan tahun ia tidak bertemu dengan Lintang, hanya dua kali mereka
saling komunikasi, yaitu ketika Lintang memberikan pengumuman bahwa ia akan
menikah lima tahun yang lalu, dan Selena yang memberikan berita pada Lintang
bahwa ia akan menikah setahun sebelumnya. Itu pun hanya lewat email. Mereka tidak
pernah saling berkomunikasi lagi. Baru beberapa terakhir ini mereka saling
kontak dan hari ini berjanji saling bertemu.
“Ene...”
Suara yang sangat
ia rindukan membuatnya bangun dari lamunan dan refleks menoleh. Di depannya
berdiri pria hampir kepala tiga yang rupawan. Berbeda dari delapan tahun yang
lalu, wajah ketus pria itu kini sedikit melunak dengan kantung mata kecil yang
tergantung di kelopak bawah. Tubuhnya masih tetap tegap dan atletis. Dulu ia
senang mengenakan kaos oblong dengan celana jeans yang menampakan sedikit
bentuk kakinya. Kini yang ia kenakan setelan jas yang sangat cocok membalut
tubuhnya, meski masih sedikit terlihat berantakan, dengan kemeja yang dibiarkan
tidak masuk ke dalam celana dan dasi yang sedikit dilonggarkan. Laki-laki yang
dulu ia kenal, kini telah menjadi pria dewasa yang menarik banyak perhatian
wanita.
“Gimana kabarmu,
Ene?” Lintang kembali bicara sembari duduk di depan Selena.
“Kayak yang kamu
lihat,” Selena memberi cengiran khasnya. “Istrimu...”
“Sayang...” suara
seorang wanita menginterupsi pembicaraan mereka. Ia bicara pada Lintang.
“Kalau kamu nanya
istriku, dia istriku. Yang dia gendong anakku. Namanya Bintang. Cakep kayak
aku, kan?”
“Heh. Turunan istrimu,
makanya cakep.”
Lintang tertawa,
istrinya tersipu malu. Wanita di sebelah Lintang itu, bukan wanita yang dulu
merupakan kekasih Lintang. Entah bagaimana dan seperti apa mereka bertemu,
Selena cukup yakin bahwa mereka bahagia. Selena senang melihat kebahagiaan itu.
Meski ia menganggap Lintang berharga, jalan yang ia tempuh juga sama dengan
Lintang. Pada akhirnya ia terus bersama dengan tunangannya yang saat ini
menjadi suaminya. Selena dan Lintang memang saling menganggap bahwa satu sama
lain berharga, tapi mereka juga sangat mencintai pasangan mereka saat ini.
Makanya tak ada rasa cemburu sama sekali terbersit di hati Selena.
Ketika buah hati
Lintang merengek karena buang air kecil, istrinya permisi dan membawa Bintang
ke kamar kecil untuk menggantikan popok. Kini hanya tinggal mereka berdua duduk
saling berhadapan. Selena tersenyum penuh arti.
“Sepertinya saat
ini belum saatnya, ya...”
“Kurasa begitu. Kamu
juga masih bahagia dengan suamimu, kan?” Lintang mengerti kalimat tersirat itu,
ia menjawab dengan tersenyum.
“Tentu saja. Tapi,
Lintang. Aku akan tetap memegang janjiku padamu waktu itu. Aku nggak akan
melanggarnya karena sampai saat ini, apa yang kurasakan terhadapmu nggak pernah
berubah.”
“Hal yang sama
berlaku padamu, Ene.”
Mereka saling
bertukar pandang, menyalurkan kerinduan yang tertumpuk selama ini. Saling berbagi
perasaan yang lama tidak mereka bagi. Berkomunikasi melalui hati mereka yang
sudah lama saling terhubung.
Desiran-desiran
hangat itu masih ada di kedua relung hati mereka. Masih menggaung dengan keras bersama
kerinduan yang terus menjadi-jadi. Cinta di antara mereka masih sama. Cinta yang
melebih cinta terhadap sahabat. Cinta yang melebihi cinta untuk kekasih. Cinta yang
berbeda dengan cinta mereka terhadap keluarga. Sulur yang mereka tumbuhkan
adalah cinta yang berbeda. Perasaan yang kompleks yang sulit untuk dijelaskan
dengan kata-kata.
Mungkin itu yang
disebut dengan cinta yang tak harus saling memiliki. Perasaan yang bahkan tak
seorang pun dapat menjelaskannya.
*****
0 komentar: