Jejak Sunyi Suara Hati
Jejak Sunyi
Suara Hati
oleh Firdausi R.
.
.
Pada waktu yang berlalu satu tahun
ke belakang, sekali pun tak pernah si gadis, Lea, menujukan irisnya pada
laki-laki itu. Yah, mungkin untuk melihatnya sekilas atau sambil lalu memang
pernah. Tapi secara sembunyi-sembunyi dan menyiratkan maksud tertentu, tidak
sekali pun ia pernah punya niat begitu. Kemudian waktu berlalu. Pujaan-pujaan
gadis terhadap pria itu selalu melayang masuk ke telinganya. Membuat syaraf
motoriknya tergoda untuk mengarahkan bola matanya, menganalisis. Sekali… dua
kali… Lalu tanpa sadar sosok laki-laki itu mulai menjadi hal yang adiktif bagi
matanya, menggambarkan tiap detil sosok itu yang terus membayang-bayangi
otaknya.
Grey, nama pria itu. Pengejaannya
sama seperti warna abu. Cukup cocok dengan rambutnya yang berwarna
keperakan. Setidaknya begitu yang ia pikirkan. Grey cukup dipuja oleh para
gadis sekampus terutama teman-teman satu angkatannya. Wajar saja. Setelah
setahun ia mengamati Grey, ia baru menyadari daya tarik laki-laki itu. Kulitnya
putih bersih. Tulang rahangnya tak begitu terbentuk di wajahnya tapi cukup
mengesankan bahwa memang ia adalah laki-laki. Dagunya agak panjang. Bibirnya
tipis agak ranum dan sering terkatup, ia memang jarang bicara. Rambutnya
keperakan. Ada sedikit poni menjuntai di atas keningnya menampakan dengan jelas
mata yang agak sipit. Mungkin ia ada seperempat keturunan etnis China.
Grey bukan tipe cowok yang gagah.
Grey juga bukan tipe laki-laki yang suka tebar pesona. Grey adalah laki-laki
pendiam dan agak malu-malu. Karenanya, ia sekali pun tidak pernah tertarik pada
Grey dulunya, karena bagi gadis itu sulit menghadapi orang dengan tipikal yang
sama dengan dirinya. Dan selama waktu berjalan lebih dari satu tahun, mungkin
ia bisa menghitung dengan jari tangannya seberapa sering ia bicara dengan Grey.
Untuk bicara basa-basi, bahkan jari pun tak bisa menghitungnya sebab hal itu
sama sekali tidak pernah terjadi.
Sekali lagi hari ini, hanya dengan
suara berdehem Grey, matanya mencuri-curi kesempatan untuk memuaskan hasratnya
akan sosok itu. Setiap kali sosok itu tertangkap di lensanya, seakan ada
drainase yang bocor dan tekanan dari otot jantung yang over kontraksi,
pusarannya memusat di kedua pipinya, mengakukan seluruh tubuhnya. Ia tetap pada
tempatnya. Menatap laki-laki itu dalam waktu yang dicurinya, menikmati setiap
adrenalin yang menjadi euforia hasrat hatinya.
-o0o-
Namanya Lea Raicheal Collins. Lahir
musim semi, bulan Mei tanggal tujuh. Dari lahir sampai detik ini tak sekali pun
ia pindah meninggalkan kota ini. Kesukaannya kopi, senang dengan musik
beraliran alternative, hobi membaca buku terutama novel fantasi, fanatik
terhadap hal-hal yang berbau jepang maupun benda-benda berwarna gelap.
Setidaknya begitulah yang Grey tahu tentang gadis pujaannya.
Sejak kapan ia mulai jatuh cinta
pada gadis itu, tepatnya ia tidak tahu. Tapi mungkin sudah cukup lama
sampai-sampai ia mulai terbiasa dengan keadaan jantung yang tak mau berhenti
berdetak kencang setiap gadis itu tertangkap oleh iris matanya.
Awalnya ia tak menaruh perhatian
pada Lea, sama sekali tidak. Tapi ketidakanggunannya menjadi keunikan yang
sering dibicarakan para kaum lelaki teman-temannya. Bukan karena mereka
tertarik, tentu saja. Tapi hanya karena gadis itu unik, hanya seperti
itu. Cuap-cuapan itu seperti doktrin bagi otaknya. Telinganya merekam, matanya
melukis khayal di antara sela-sela otak. Sosok Lea menjadi cukup nyata
membayangi dirinya.
Lea cantik menurutnya. Meski
ketidakanggunan dan ketertutupan dirinya menyembunyikan hal itu. Wajahnya ovale,
meski agak bulat di daerah pipi ketika ia tersenyum. Sebut saja tembem atau
apalah. Bola matanya hijau kristal, terlihat tegas meski kadang terlihat begitu
mengantuk. Hidungnya yang tidak begitu mancung tapi lancip menambah ketegasan
yang cantik di parasnya. Bibirnya sering terlihat datar sebab ia memang sering
terlihat begitu bosan. Tapi warna kemerahan yang terpoles di sana membuat Grey
ingin sekali menyentuh bibir itu, mengecupnya.
Lea tidak anggun. Ya, memang. Grey
sendiri setuju dengan pendapat yang dilontarkan semua teman laki-lakinya yang
pernah berkomentar tentang gadis itu. Tak pernah sekali pun gadis itu
mengenakan rok atau mini-skirt. Selalu denim maupun celana jeans
panjang yang memperlihatkan lekuk kakinya yang jenjang yang ia kenakan. Celana
itu selalu dipadukan dengan sepatu yang cocok – kebanyakan wedges boots
hitam setinggi mata kaki. Atasannnya sering kaos tanpa lengan yang tidak
longgar juga tidak ketat dilapisi kemeja tanpa di kancing, kemudian dibalut
lagi dengan blazer berlengan sampai siku. Kadang juga kemeja yang ditumpuk lagi
dengan coat yang hampir sepanjang lutut. Grey akui ia sangat menyukai style
gadis itu. Lea tidak anggun, mungkin. Tapi kadang Grey melihatnya sebagai
wanita feminin dengan caranya sendiri dan anggun dalam keunikannya.
Gadis itu cukup pendiam, tipikal
yang sama dengan dirinya sendiri. Lea juga bisa dibilang kutu buku. Tapi ia
bukan seseorang yang dikucilkan seperti kebanyakan kutu buku lainnya. Malahan
ia cukup banyak punya teman meski jarang bicara di antara kelompoknya. Mungkin
karena gaya pakaiannya yang tidak ketinggalan jaman. Mungkin karena
ketidakanggunannya yang membuat ia terlihat lebih kuat keberadaannya. Mungkin
karena ketegasan yang kadang begitu tersurat dari garis wajahnya yang lebih
sering tampak malu-malu canggung dan kadang bosan. Dan itu yang mungkin membuat
Grey takhluk diam-diam padanya.
Lea tipikal yang sama dengannya,
tapi mungkin lebih fleksibel. Sebab meski pada awalnya canggung, gadis itu
mampu berbaur dengan lawan jenisnya. Bercanda, tersenyum, tertawa, bahkan
saling mengejek. Sial bagi Grey, sekali pun tak pernah Lea tertawa seperti itu
padanya. Sekali pun tak pernah suara yang terdengar agak serak itu bercanda
bebas dengannya. Kadang Grey mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa dengan lancar
bicara pada anak perempuan. Apalagi dengan Lea. Kegugupan yang menjalari
seluruh tubuhnya membuat suaranya menyangkut di tenggorakan. Bahkan otot
mulutnya pun begitu kaku untuk tersenyum ketika mereka tanpa sengaja saling
bertatapan.
Grey mengambil tempat duduk di baris
kedua dari belakang, tempat ia biasanya duduk. Satu deretan dengan Lea tentu
saja, meski jarak mereka dipisahkan hampir sepuluh kursi di antaranya, tapi
dari situ Grey bisa dengan sembunyi-sembunyi menatap gadis itu. Jika suatu saat
mereka saling bertukar pandang secara kebetulan, ketika itu Grey tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan untuk menyapanya dengan senyum. Sayang Lea hanya
menunduk sambil menopang dagu dengan bosan dan setengah wajahnya tertutup
rambut coklatnya yang tergerai setiap kali matanya berusaha menangkap sosok
gadis itu. Kecewa mungkin sedikit terbersit, tapi kepuasan mata dan hatinya
cukup terpenuhi hanya dengan memerhatikan gadis itu selama dua jam ceramah
kuliah yang membosankan.
-o0o-
Mungkin Tuhan juga gemas dengan
mereka. Kesempatan kecil yang Ia berikan selalu disia-siakan oleh kedua makhluk
itu. Hingga pada akhirnya kesempatan besar mungkin yang diberikan-Nya hari ini.
Grey mungkin tadi kesal dan
menyumpah dalam hati sebab teman-temannya membuatnya menunggu seorang diri.
Mereka bilang janji akan menemuinya secepatnya setelah urusan mereka di klub
selesai dan urusan itu, mereka bersumpah tak akan lama. Tapi pada kenyataannya
Grey menunggu setengah jam di samping lapangan rugby, tempat pertemuan
klub temannya, dan urusan itu sama sekali belum selesai. Grey terus menyumpah
dalam hati selama perjalanannya di koridor kampus setelah bosan menunggu
berdiri di samping lapangan rugby. Kalau saja ia tidak menemukan sosok
Lea di depannya, mungkin sumpah serapah itu takkan berhenti.
Agak terkejut, jantungnya tiba-tiba over
kontraksi, mendentum berlebihan pada dinding dada. Gadis itu sedang duduk di
bangku panjang di bawah pohon akasia yang rindang, tak jauh dari tempat ia
berdiri. Tangannya terlipat di bawah dada. Kakinya menyilang dan tak mau diam.
Beberapa kali ia menguap, sepertinya kelihatan bosan sekali. Menurut dugaannya,
Lea pasti sedang menunggu seseorang.
Lea berdecak kesal. Menunggu adalah
hal paling membosankan yang paling ia benci. Makanya ia lebih senang
mengendarai mobil sendiri atau jalan kaki. Tapi perihal kecelakaan kecil yang ia
alami seminggu lalu membuatnya tak dipercaya lagi untuk mengendarai mobil
sendiri. Dan jalan kaki bukan pilihan yang diajukan oleh kedua orang tuanya.
Mau tidak mau ia harus patuh diantar-jemput saat kuliah.
Ketika menguap untuk entah yang ke
berapa kalinya, ia melayangkan matanya ke arah lain, kalau-kalau menemui sosok
Grey yang menjadi candu itu. Dan benar saja, di sisi kiri, Grey sedang berdiri
diam tak jauh dari sana. Pandangan mereka saling bertemu dan karena terkejut,
secepatnya Lea menundukkan wajahnya.
Sial, gerutu Lea
berkali-kali dalam hatinya. Apa Grey sejak tadi sudah ada di situ? Apa ia
melihat Lea yang menguap lebar berkali-kali tanpa menutup mulut? Apa ia
terlihat terlalu duduk gagah di mata Grey? Apa ia saat ini terlihat cantik? Apa
rambutnya tidak berantakan? Apa bedak tipisnya luntur dan bibirnya terlihat
seperti orang mati karena polesannya sudah terhapus? Otaknya cukup kacau
memikirkan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu.
Mereka sempat bertemu pandang tadi.
Grey memang sempat kaget. Saat ia baru saja ingin memberi senyum terbaiknya,
gadis itu menunduk, membiarkan poni tanggungnya menutupi matanya dan rambut
coklatnya menjuntai menutupi setengah wajahnya. Grey cukup merasa shock
dengan reaksinya. Mungkinkah gadis itu pada dasarnya membencinya hingga tak
pernah sekali pun ia bicara basa-basi padanya? Memikirkan satu pertanyaan itu
saja, cukup membuat perasaannya kacau.
Grey diam di tempatnya, masih
berpikir. Ia menatap ke sekeliling, di sekitar sana hanya ada mereka berdua,
setidaknya yang saling mengenal. Kemudian ia menatap langit yang menampakkan
awan putih agak kelabu melapisi biru langit tanpa matahari.
Kau memberikanku kesempatan sekali
lagi. Kurasa kali ini sebaiknya kugunakan dengan sungguh-sungguh, ia bicara
pada Tuhan dalam hati. Ia duduk di samping Lea.
Ada udara yang membatasi mereka. Lea
mengambil ponselnya memasangkan ujung kabel headset-nya pada teknologi
tersebut. Ia terlalu canggung, kaku, dan malu. Seharusnya itu kesempatan yang
baik untuk bisa lebih saling mengenal dengan Grey. Tapi jantungnya sulit diajak
kompromi. Jantungnya terus berdentum keras tanpa henti. Satu-satunya yang bisa
membuatnya tenang walau sedikit adalah musik. Jadi ia memasangkan headset
ke telinganya, meski hanya di telinga kanannya. Telinga kirinya ia biarkan
bebas untuk mengamati suara dari gerak-gerik laki-laki di sebelahnya.
Grey agak shock melihat
reaksi Lea yang langsung menggunakan headset-nya setelah menyadari
kehadirannya. Apa gadis itu memang membenci dirinya? Apa Lea tidak mau bicara
dengannya? Grey ingin memastikan dengan menelisik wajahnya, tapi sayang wajah
cantik itu agak tertutupi oleh rambutnya sebab Lea agak menunduk. Grey menghela
napas kemudian merogoh tasnya untuk mengambil novel yang sedang dalam proses
penamatan untuk dibaca. Ia berharap Lea melihat itu dan dapat menarik
perhatiannya. Setidaknya novel yang ia baca adalah novel fantasi.
Orang jatuh cinta memang sering
aneh. Lea sulit bernapas. Bukan karena ia lupa bagaimana cara bernapas. Hanya
saja ia takut kalau-kalau suara napasnya terdengar. Ia takut kalau-kalau suara
napasnya aneh dan membuat Grey merasa semakin tidak ingin bicara dengannya. Ia
takut kalau-kalau suara jantungnya yang tak sanggup dibendung itu terdengar
seperti seorang maniak yang terlalu bergairah.
Di balik rambutnya, ia melirik Grey.
Celah antara helai-helainya menampakan Grey sedang serius menenggelami buku
yang ia baca. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Matanya yang kecil seakan melekat
pada lembar halaman yang ia baca. Manis sekali menurut Lea. Lea berniat untuk
menikmati pemandangan itu sampai waktu akan memisahkan mereka hari ini. Hingga
pada akhirnya ia sadar apa yang sedang dibaca oleh Grey.
"Serpent's Shadow!"
Lea berseru dengan suara pelan.
Meski suaranya pelan, Grey bisa
mendengar jelas sekali seruan itu. Anggap saja kekuatan cinta. Grey tersenyum,
sebisanya ia mengulum senyum itu agar tidak terlihat terlalu senang. Siasatnya
untuk menarik perhatian Lea berhasil.
"Ma-maaf. Lanjutkan saja
membacamu," Lea membuang muka. Ia menunduk dalam-dalam untuk
menyembunyikan rasa malunya. Ia menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan
wajahnya yang panas yang terpesona oleh senyum simpul yang diberikan Grey.
"Nggak apa-apa. Aku nggak
merasa terganggu. Cuman kaget saja mendengarmu tiba-tiba berseru," Grey
berucap. Di dalam hatinya ia menenangkan dirinya sendiri agar tidak terdengar
gugup. Yah, ia berharap suaranya tidak terdengar menyedihkan.
Sempat keheningan kembali mengambil
alih. Bahkan musik yang masuk ke telinga Lea tak terdengar lagi. Ia gugup. Ia
bingung harus bicara lagi. Secanggung-canggungnya ia terhadap laki-laki, tidak
pernah ia kehilangan kata-kata seperti ini.
"Suka baca karya Riordan juga,
ya?" pada akhirnya Lea mulai kembali bicara.
"Uhm.. Novelis jenius kurasa.
Aku suka gaya tulisannya. Ceritanya juga menakjubkan. Nggak kalah sama Harry
Potter," Grey sebisanya bicara banyak agar percakapan itu tak
terputus.
"Aku sama sekali belum pernah
membaca Harry Potter atau pun menonton film-nya."
Pernyataan Lea yang terdengar jujur
dan polos itu membuat Grey tak mampu menahan tawanya. Manis sekali gadis itu
dalam pikirannya. Dan Lea amat sangat terpesona oleh wajah yang saat ini
menampakan bibir yang terkembang, memperdengarkan suara tawa yang renyah.
"Ah maaf. Aku nggak
bermaksud menertawakanmu. Cuma untuk gadis yang suka membaca novel fantasi
sepertimu tidak pernah tahu cerita Harry Potter, hal itu cukup
mengejutkanku—"
Grey segera menutup mulutnya. Ia
merasa sudah terlalu banyak bicara. Ia takut Lea akan menganggapnya aneh sebab
tahu hobi gadis itu padahal mereka bicara saja bisa dibilang tidak pernah sama
sekali kecuali hari ini. Ia tidak bisa menerka isi hati Lea, sebab gadis itu
lagi-lagi menunduk, merapatkan tangannya yang terlipat di bawah dada.
Lea menunduk karena sudah pasti
wajahnya saat ini amat sangat merona. Jantungnya saja lebih cepat berdetak
melebihi sebelum-sebelumnya. Ia tidak tahu bahwa senyum lebar Grey amat sangat
memesona. Suaranya yang renyah seakan-akan menghipnotisnya, memperdayanya agar
semakin tertarik padanya. Dan terlebih lagi, Grey tahu hobinya. Entah darimana
pria itu tahu, yang pasti itu menjadi sebuah kehormatan bagi Lea.
"Mau bagaimana lagi. Dulu aku
benci baca novel tebal. Aku juga nggak suka nonton film. Lagian Harry
Potter kan ada sejak jaman SD dulu," Lea kembali bicara. Suaranya yang
hampir pecah itu jelas sekali menunjukan bahwa ia sedang malu. Bahkan Grey saja
bisa mengerti hal itu.
"Nggak mau coba baca
sekarang?"
"Nggak. Meski aku suka
membaca, kadang aku juga malas membaca novel setebal itu. Lagian kesannya jadi
ketinggalan jaman. Jadi... Yah, aku nggak tertarik sama Harry Potter."
"Kalau ini?"
"Iya, aku suka. Aku suka karya
Riordan yang lain. Percy Jackson, kan? Aku tahu sebelum serialnya
dijadikan film. Saat film-nya keluar, tahu-tahu banyak yang membahasnya.
Rasanya agak kesal juga."
"Rasanya kayak ada yang merebut
pacarmu, kan? Kayak rahasiamu tiba-tiba terbongkar," Grey berceletuk. Ia
merasakan hal yang sama. Bukan dalam hal buku, tentu saja. Kasusnya lain. Ia
merasa seperti itu kalau ada orang lain yang memandang Lea dalam sudut pandang
yang sama dengannya.
Baru sekali itu Lea melihat Grey
menatap lurus dirinya. Matanya abu-abu perak. Indah sekali, membuatnya entah
untuk berapa puluh kalinya terpesona pada laki-laki itu hari ini.
"Kau benar," lagi-lagi Lea
memalingkan wajahnya. "Ngomong-ngomong, Serpent's Shadow kapan
keluar?"
"Minggu lalu aku ke toko buku,
ini sudah ada di sana. Kau belum baca?"
"Aku nggak tahu kalau
sudah terbit."
"Oh, begitu. Seru, lho.
Ceritanya—"
"Stop! No spoiler, oke?"
Lea segera menghentikan Grey bicara.
Meski ia bilang begitu, kelihatan
sekali dari wajahnya bahwa ia amat sangat penasaran. Matanya tak bisa lepas
menatap novel yang Grey pegang. Spasi antara alisnya berbuku-buku untuk menahan
rasa penasarannya. Mulutnya menggerutu kecil, menyuruh dirinya sendiri untuk
bersabar. Grey tak bisa menghentikan dirinya untuk memerhatikan gadis di
depannya itu. Terlalu cantik, terlalu manis. Ia tidak se-cool kelihatannya.
Sekali lagi ia jatuh cinta pada Lea.
Sejak tadi Lea hanya penasaran pada
isi cerita novel yang sedang dipegang oleh Grey sampai-sampai matanya lekat
sekali memandangi buku tebal itu. Hingga pada akhirnya matanya tak sengaja
saling bertemu dengan kedua iris milik Grey. Ia akhirnya sadar laki-laki itu
terus menatapinya. Rasanya malu. Jangan-jangan Grey mulai menganggapnya sebagai
gadis yang aneh.
Pikiran itu segera ia singkirkan. Ia
lalu kembali duduk, berusaha terlihat tetap tenang. Ia lalu melepaskan headset-nya.
Tidak ada gunanya lagi menggunakan benda itu. 'Toh musik saat ini tak
mampu lagi membuatnya merasa tenang.
Untuk beberapa saat tadi
kecanggungan di antara mereka berdua sempat menghilang. Dan dinding tak kasat
mata di antara mereka sempat melebur dengan udara. Tapi ketika keheningan
kembali menyeruak di antara ruang mereka, dinding itu kembali memadat.
Seakan-akan tak pernah terjadi percakapan singkat tadi. Keduanya hanya saling
menunduk, menenangkan hati yang meledak-ledak. Keduanya sibuk mencari topik
pembicaraan lain untuk meleburkan kembali dinding yang membatasi keduanya.
Saat angin menyapa, keduanya mencuri
waktu yang sama untuk melirik satu sama lain. Mata keduahya bertemu, membuat
mereka refleks kembali membuang muka. Tangan Grey berkeringat dingin, begitu
juga dengan Lea. Perasaan hangat itu mulai menjadi-jadi di dalam diri mereka.
Rasanya terlalu bahagia sampai-sampai ketukan-ketukan di dada membuat mereka
ingin muntah, meluapkan semua perasaan yang bergejolak semakin tak terkontrol.
"Aku... Kupikir kau
membenciku," Grey kembali bicara.
"Kenapa kau berpikir
begitu?"
"Sebab kau tidak pernah
mengajakku bicara."
"Kupikir kau yang nggak
suka padaku. Aku hanya tidak bisa memulai pembicaraan. Bukan berarti aku
membencimu."
"Sama. Aku juga nggak
membencimu. Kau tahu aku bagaimana, kan?"
"Iya, aku mengerti, kok. Cuman
kadang kau bisa menyapa teman-teman cewek-mu. Tapi kalau padaku, kau
sama sekali nggak pernah menunjukan suaramu," Lea tertawa kecil,
berharap tawa itu tidak terlihat menyedihkan. Tapi Grey dapat menangkap
perasaannya.
"Nggak, bukan begitu.
Aku tidak terbiasa dengan cewek. Tapi karena mereka sering dekat denganku, jadi
aku bisa menyapa mereka. Kalau denganmu aku... Kan kubilang kupikir kau
membenciku. Lagipula aku... Gugup," kalimat terakhirnya terdengar pelan
sekali. Apalagi Grey memalingkan wajahnya sembari menutup mulutnya dengan
lengan.
Tampan dan amat sangat manis
reaksinya bagi Lea. Pria itu pasti salah satu karya Tuhan yang paling sempurna
menurutnya. Kalimat terakhirnya itu tadi agak samar terdengar oleh Lea. Meski
ia tidak yakin apa benar Grey tadi mengatakan gugup terhadapnya atau tidak,
entah kenapa hal itu membuatnya senang.
"Nggak apa-apa. Ternyata
ada kesalahpahaman di antara kita selama ini meski kita nggak pernah saling
bicara," Lea agak tertawa geli mengetahui kenyataan itu. Hati Grey kembali
berdesir melihat manisnya bibir ranum itu ketika tersenyum. Rasa-rasanya
perasaannya meluap dan tak sanggup dibendung lagi.
"Anu, aku sebenarnya..."
"Grey!" panggilan yang terdengar
tak jauh dari pintu gedung kampus menginterupsi mereka. Grey berdecak kesal
dalam hatinya. Ia benar-benar menyumpahi teman-temannya itu. Tadi mereka
membuatnya menunggu lama, kali ini datang di waktu yang tidak tepat.
"Maaf, kau jadi lama menunggu kami," ia berucap bahkan tanpa merasa
bersalah.
"Dasar sialan. Kalian hari ini
benar-benar membuatku emosi."
"Ah, Collins. Kau sedang apa di
sini?" yang berambut jingkrak bertanya pada Lea tanpa menghiraukan
kekesalan Grey.
"Menunggu jemputan," jawab
Lea. Tapi matanya masih tak mau lepas memandang Grey. Ia masih belum puas.
"Mau kuantar pulang saja?"
Tawaran itu membuat Lea dan Grey
sama-sama terkejut. Lea agak tersanjung akan tawaran itu, tapi ia takut
kalau-kalau Grey akan salah paham. Meski ia tak tahu apakah Grey peduli akan
hal itu atau tidak. Sedangkan dalam hati Grey sendiri ia berdoa agar Lea
menolak tawaran itu.
"Passed. Sebentar lagi
jemputanku datang. Thanks tawarannya."
Diam-diam Grey merasa lega dengan
tolakan itu.
"Ya, sudah. Kami pulang duluan,
ya. Ayo, Grey," si rambut jingkrak tadi merangkul leher Grey, berusaha
menariknya. Tapi Grey bertahan sebentar, ingin mengucapkan salam pamit pada
Lea.
"Ng... Collins...," Ia
agak canggung memanggil nama Lea. Jantung Lea juga hampir copot mendengar
namanya tiba-tiba keluar dari mulut Grey.
"Panggil Lea saja."
"Ahh... Ng... Lea. Sampai jumpa
besok," Grey mati-matian menahan rasa malunya hanya untuk mengucapkan
salam itu.
"Bye...," Lea juga
tak kalah mati-matian menahan rasa malunya hanya untuk mengucapkan satu kata
itu.
Ketika keduanya semakin menjauh,
percakapan beberapa saat tadi bagaikan mimpi bagi mereka. Saat keduanya tak
dapat saling menelisik, ada desir kesepian di diri mereka. Pada hati Grey, juga
pada hati Lea.
-o0o-
Hari berikutnya Tuhan kembali
mempertemukan mereka. Di sebuah lorong kampus, langkah mereka saling
berselisih. Ketika mata bertemu mata, euforia bergejolak memacu darah mengalir
cepat. Mata mereka sempat saling menghindari. Satu langkah... Dua langkah...
Kemudian ketika langkah mereka saling bersinggungan, tak ada suara yang saling
menyapa. Hanya dua pasang bola mata saling berisyarat diiringi dengan senyum
canggung di wajah mereka. Langkah berikutnya ketika saling bersilangan, mereka
menunduk menyembunyikan rona masing-masing, menahan diri untuk tidak menari
kegirangan.
Tak ada suara ketika mereka saling
bersinggungan kecuali suara kegirangan yang menjerit-jerit dalam diri keduanya.
Dalam langkah yang sunyi, tertinggal jejak-jejak suara hati. Ada dua sulur
cinta yang semakin tumbuh di antara langkah mereka yang diam, menunggu saling
bertautan, hingga mereka merekahkan kembang ketika kedua sulur saling bersatu.
-o0o-
Bagus fir, berasa mirip lea *eh haha apalagi dibagian harpot itu :D
BalasHapusKan ispirasijya kamu~ wkwk
Hapus