Sabtu, 17 September 2011

Antara Rinduku dan Dia

Antara Rinduku dan Dia
Oleh Firdausi Riskiviawinanda

Seraup rindu masih penuh mengisi celah-celah berongga
Padahal ia terus membuangnya segenggam demi segenggam,
Tapi kau,
Tanganmu lebih besar
Kuasamu lebih tinggi, duduk di atas singgasana hati
Yang ia bisikkan namanya
Tapi engkau yang mengiyang-ngiyangi telinga
Engkau yang menjadi tokoh setiap ilusiku
Engkau yang menguras habis telagaku,
Angkuh dirimu
Padahal ia memberi sejuta bunga untuk rekah senyumku
Ia yang ingin labuh
Tapi aku terlanjur tersesat di pelabuhanmu
Aku tenggelam dalam laut rindumu
Meski ombaknya mendesakku ke tepian

20.34
Banjarbaru, 17 September 2011

0 komentar:

Jumat, 02 September 2011

Dear Someone - Kepada Engkau yang Singgah di Pelabuhan

Kepada Engkau yang Singgah di Pelabuhan
Original by Firdausi
(Inspired by Gina's True Story) 

Seandainya bisa, mungkin ia akan memutar waktu kembali pada saat ia belum mengenalmu. Tapi tidak mungkin karena sang pemilik waktu terus menggenggam arlojinya.

Dulu tak sekali pun ia berpikir kau akan singgah dan mengisi kehidupannya sebagai pendamping sang tokoh utama. Dulu tak sekali pun ia sebegitu menginginkan dirimu. Dulu tak sekali pun ia berpikir kau memiliki kunci untuk lubang pintu miliknya. Tak pernah sekali pun, dulu…

Tapi beriringan dengan pasir yang terus jatuh dalam kaca, kau perlahan meniupkan angin lembut masuk ke hatinya. Beriringan dengan denting pendulum, ringan langkahmu mendekati pintu hatinya. Beriringan dengan tiap detak jantung, kau akhirnya membuka pintu dengan kunci yang kau buat. Beruntung, kuncimu sinkron dengan lubangnya.

Tiap alphabet yang kau rangkai yang menyirami bunganya. Tiap alunan suaramu yang membuatnya bergantung pada akar-akar hatimu. Tiap kata yang disusun dengan lima huruf alphabet yang kau ucapkan telah berhasil membuatmu menjadi bagian sel tubuhnya.

Ingatkah kau ketika kau memberinya sebuah kejutan hanya dengan sebuah cake yang berantakan? Mungkin kau pikir itu tak layak untuk menjadi hadiah. Tapi baginya, itu adalah benda paling berharga selama ia hidup. Seandainya bisa, mungkin ia akan menyimpannya dalam museum miliknya sendiri.

Kau… sungguh telah menjadi satu hal terindah dalam hidupnya. Sayang kapalmu hanya singgah dan tak bertahan lama karena jangkarnya telah kau tarik kembali.

Ketika ia pikir kau akan menjadi seseorang pertama hingga akhir hidupnya, kau dorong ia mendekati tebing. Ketika ia pikir kau adalah semilir angin hangat, kau telah menjadi badai yang menghempas perahunya. Ketika ia pikir kau adalah mataharinya, ternyata kau adalah kilatan yang menjadi petir pada hujan yang tiba-tiba mengguyur.

“Aku ternyata masih suka dia.”
Mungkin kau juga tak mudah mengucapkan kalimat itu. Kurasa lima kata itu begitu berat hingga mungkin lidahmu kelu. Tapi hatimu tak ingin terbagi dan ia tersakiti hingga dengan susah payah kau bicara. Sayang, kata itu pun telah berhasil menggigit hatinya hingga nyeri.

Seandainya waktu adalah pendulum, ia berharap waktu berhenti sebagaimana pendulum berhenti bergerak dan tak usah berputar lagi hingga rasa sakit itu tak membuatnya terkungkung dalam hujan yang tak mampu reda. Kini langitnya benar-benar kelabu dan hampir hitam. Seandainya hanya dengan merebahkan jam pasir waktu tak lagi berdetik. Sayang sang pemilik waktu tetap membuat dunia berputar pada sumbunya.

Ia berdiri di ujung tebing dengan kaki yang hampir tak sanggup menopang tubuhnya. Berkali-kali ia jatuh pada jurang, tapi berkali-kali ia merangkak ke atas. Ia tetap melangkah dengan gontai. Tapi tanah yang ia pijak bagaikan lumpur hisap hingga ia berkali-kali lagi jatuh pada gelap.

Kau sebenarnya tahu, bukan? Kau adalah satu hal yang ia hargai mahal untuk pertama kalinya. Kau adalah nelayan pertama yang berhasil menangkapnya. Kau adalah perahu yang berhasil singgah di pulaunya. Dan itu pun… untuk pertama kali.

Dan kau pasti tahu, bukan? Kau yang memberinya rasa sakit untuk pertama kalinya. Kau yang berhasil mengukir nama di dinding jantungnya dan kau pula yang berhasil mengoyaknya hingga nama itu tak terbaca lagi. Tapi sebagaimana pohon yang kulitnya digores akan mengeluarkan getah, ia pun berdarah saat kalimatmu berhasil menggigitnya. Itu… sungguh sakit. Bahkan aku bisa merasakan pedih dari luka yang telah kau buat untuknya. Sayang, ia bukan pohon yang hanya bisa diam ketika dilukai. Ia menangis dalam setiap lembayung kelam dan bulan kadang memperhatikannya.

Hujannya masih tak mampu berhenti. Kadang tak sederas itu, tapi langit masih saja abu kelam. Ketika ia berusaha mengajak matanya berkeliling,  hanya kau yang selalu berhasil  ia tangkap. Kemudian hujan itu akan kembali mengguyur dengan derasnya. Lalu kembali bulan yang berusaha menariknya agar tak terlalu dalam jatuh pada gelap.

Sahabat…
Kau bilang padanya bahwa menjadi teman lebih baik, kan? Kau tak tahu betapa sulitnya menjadikanmu seorang sahabat untuknya ketika kau berhasil menjadi tokoh utama dalam cerita hidupnya lalu kau mundur dan menjadi figuran yang akan menopangnya. Bagaimana? Ketika kau telah meretakkan satu persatu dinding rumahnya, bagaimana kau bisa menjadi tiang yang akan mengokohkannya? Kurasa tidak mungkin selama engkau masih menari di setiap tarikan napasnya.

Waktu masih terus berjalan, merajutkan kenangan di setiap helai kain kehidupannya. Saat ini ia masih melekatkan topeng di atas air mata yang tak berhenti mengalir.

Seandainya waktu berhenti…

Tapi harapan bodoh itu tak berguna. Berharap waktu berhenti, tapi darah dari luka itu masih terus mengalir. Jadi aku berdoa untuk ia dalam waktu yang tak pernah berhenti bahkan sejenak itu agar membawa pergi setiap luka di setiap detik yang berbunyi. Kuharap banjir kesedihan itu akan tertimbun oleh butir pasir yang jatuh dalam tabung kaca. Ia akan kembali melangkah bukan pada tanah berlumpur hisap. Dan aku mohon pada sang waktu untuk membiarkanmu mengisi kisah ia yang telah mencurimu dengan akhir yang bahagia.

Kuharap seperti itu…
__________________________________________________________________________________

N.A: Kalau nggak terlalu mirip aslinya, I'm so Sory :P

1 komentar:

Sepenggal Kisah Ia Si Gadis Papua


Sebentar lagi di SMANSA Banjarbaru bakal ada bulan bahasa lagi, ya. Tahun lalu kalau nggak salah diadakan bulan Oktober. Saya ikut lomba menulis cerpen tahun lalu. Sayang tahun ini nggak bisa ikut lagi karena udah lulus. Dan ini karya saya tahun lalu yang sebenarnya nggak pantas dijadikan pemenang meski cuma perlombaan antar kelas saja. Check this out :)
___________________________________________________________________________________  

Sepenggal Kisah Ia Si Gadis Papua
Original Story by Firdausi

Coba kalian renungkan, seberapa sering kalian mengejek teman kalian yang berkulit hitam dengan sebutan dasar anak papua atau Irian banget sih mukamu. Lalu seberapa sering kalian temukan orang-orang yang malu bahkan tidak mengakui kota kelahirannya yang berada di bagian timur Indonesia. Sebenarnya apa yang salah dari hal itu? Apa begitu memalukannya kah jika gen timur terbaca di bentuk wajah dan tubuh kita? Banggalah kalian pada Indonesia yang memiliki suku yang beragam dan kau adalah bagian dari hal itu.
****

Aku punya sebuah cerita tentang seorang siswi baru yang masuk ke kelasku pada pertengahan semester ganjil. Kulitnya kecoklatan dengan rambut ikal dan bentuk wajah yang begitu khas. Namanya Ruth Rumawas. Benar saja, ia berasal dari Timika, Papua Barat.
Aku bisa mendengar tawa-tawa kecil yang mengejek dari sisi kelas hanya karena ia berasal dari Papua. Aku bisa merasakan pandangan-pandangan merendahkan yang ditujukkan padanya. Tapi gadis yang terlihat sederhana itu tetap berdiri teguh dengan penuh percaya diri di depan kelas saat memperkenalkan diri. Ia tidak bereaksi terhadap pandangan sinis itu dan tetap tersenyum ramah. Dari situ aku kagum padanya.
*****

Satu bulan sudah ia ikut mengisi kelas yang begitu ramai dan kulihat baru dua tiga orang yang mau berteman dengannya. Itu pun mereka yang cukup terkucilkan di kelas. Para siswi lain lebih memilih berkumpul dengan kelompok elit-nya masing-masing daripada bergaul dengan si kampungan yang sederhana itu. Para siswa pun tidak ada yang peduli dengannya. Aku bisa merasakan bahwa ia terkucil di kelas ini.
Sering kuperhatikan, ia senang menyendiri dengan membaca buku yang kelihatan sulit untuk otak yang tak rajin membaca kalimat rumit. Kadang-kadang ia mengaitkan rambut ikal sebahunya di balik telinga agar tidak mengganggu matanya yang sedang menikmati deretan alphabet hingga otak pun semangat untuk menyerap. Kadang pula kulihat beberapa siswa mengejek di belakangnya, tapi ia tidak peduli. Atau mungkin pura-pura tidak peduli. Ia selalu diam dan tersenyum meski tahu bahwa ia menjadi bahan ejekan. Ia berbeda dengan gadis-gadis yang kukenal senang mendandani diri mengikuti trend barat dan kulihat ia mencintai kota kelahirannya.
“Rian! Apaan, sih. Kayaknya kau memandangi si Papua itu,” salah seorang siswi membuyarkan lamunanku.
“Nggak, nggak apa-apa,” jawabku. “Ngomong-ngomong, memangnya ada yang salah dengannya jadi kalian sepertinya tidak berminat untuk berteman dengannya?”
“Ng… gimana, ya? Bukannya nggak mau, sih. Tapi keliatannya dia sulit. Lagipula dia dari kota di Papua begitu, pasti nggak akan nyambung bicara dengannya. Males.”
“Kenapa nggak dicoba saja?”
“Nggak, ah. Mana mungkin dia ngerti apa yang kami bicarakan. Fashion terbaru saja, pasti dia nggak tahu.”
Aku berhenti bicara dan kembali melemparkan pandanganku pada gadis Timur itu. Kurasa dia memang tidak tahu masalah fashion terbaru. Tapi aku yakin, ia banyak tahu dengan kebudayaannya sendiri. Aku lebih suka gadis yang mencintai fashion tradisional daripada gadis-gadis yang selalu ribut dengan trend baru dan lupa dengan kekhasan bangsanya sendiri.
*****

“Ruth. Kamu, ya, yang jadi kandidat Miss of Indonesian Culture di acara ulang tahun sekolah nanti,” sekelompok siswi mendatanginya yang sedang asyik berkencan dengan buku.
Aku bisa lihat bahwa mereka menawarkan hal itu dengan pandangan mengejeknya. Mereka ingin mempermalukannya di tengah umum. Tersirat kejahatan kecil dari senyum ramah mereka. Aku tanpa sadar berdiri dan menghampiri mereka dengan kesal. Aku kesal mereka mempermainkan gadis baik seperti dia.
“Kalian ini bicara apa, hah?” labrakku.
“Nggak. Kami cuma ngerasa cocok aja kalau dia yang jadi kandidat. Habis, mukanya saja sudah Indonesia banget,” jawab mereka dengan terkekeh kecil. Aku benar-benar kesal dengan mulut yang hanya bisa merendahkan orang itu.
“Hen…”
“Makasih, Rian. Tapi aku terima. Nggak apa-apa, kok,” ia memotong kalimatku dengan senyum penuh keyakinan. Ia benar-benar gadis yang baik.
*****

Tidak ada yang peduli dengan Ruth. Mungkin hanya aku yang terus memperhatikannya. Aku selalu melihatnya berjuang dan berusaha agar menjadi kandidat Miss of Indonesian Culture yang terbaik. Meski tahu ia dijadikan kandidat hanya karena direndahkan, ia tetap berjuang keras. Setiap hari ia membaca buku-buku kebudayaan. Kadang kulihat ia mengangguk-angguk, seakan paham isi dari buku tersebut. Kadang pula ia menggerakkan jemarinya dengan gemulai, mencoba mengikuti gambar tari daerah dari buku.
Aku bisa melihat kepercayaan diri yang begitu besar dari pencaran matanya yang menatap lurus ke depan. Tidak ada yang mengatakan padanya kalimat pemberi semangat. Ah, mungkin ada. Tapi selalu ada maksud tersirat dari kalimat selamat berjuang yang terucap oleh mereka. Aku mendekatinya mencoba memberi semangat seikhlas mungkin.
“Ruth, berjuang, ya. Jangan kalah dengan kata-kata mereka.”
“Thanks. Kau baik,” jawabnya dengan senyum tegas seakan tak ada satu pun yang bisa membuatnya terjatuh. Kembali kekaguman merasuk mengaliri tiap organ tubuhku.
“Kau tahu banyak budaya Indonesia?”
“Nggak juga karena Indonesia itu punya banyak suku dan budaya. Jadi aku nggak tahu semua budaya Indonesia.”
“Sebagian besar?”
“Kayaknya. Tahu nggak kalau tas juga bisa jadi simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan?”
“Begitukah?”
“Di Papua barat ada tas namanya Noken. Noken terbuat dari kulit kayu dan perempuan Papua mengalungkannya di leher untuk membawa hasil bumi atau menggendong bayi.”
“Menarik juga.”
“Begitulah,” ia tersenyum tanpa beban.
“Kau nggak minder dengan kota kelahiranmu itu?” tanpa sadar pertanyaan itu terlontar. “Ah, nggak. maksudku, kan banyak yang nggak suka mengakui bahwa mereka dari Indonesia bagian Timur. Tapi kulihat kau nggak begitu.”
“Untuk apa malu? Papua itu bagian dari Indonesia. Mereka juga orang Indonesia, dan aku juga sama. Yahh, gen kita memang beda, tapi tetap saja satu Negara. Indonesia itu punya ragam suku bangsa dan budaya. Jadi banggalah kalau kau merupakan satu dari sekian banyak suku itu. Kadang-kadang perbedaan itu menyatukan dan semakin mempererat hubungan persaudaraan.”
“Kau benar.”
“Sudah, ya. Sebentar lagi giliranku.”
Break a leg, ya.”
Ia hanya tersenyum lalu menuju belakang panggung. Aku berdiri di bawah panggung. Dari sekian banyak gadis cantik berkulit putih susu yang memakai baju daerah, mataku hanya tertuju padanya yang berdiri tegap tanpa ada keragu-raguan dalam bola mata berwarna hitam pekat itu. Rambutnya digerai dengan rapi. Tak ada sedikit kegugupan yang bisa kulihat. Ia begitu teguh dan kuat. Tak bisa dipatahkan oleh siapa pun. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan dari juri dengan lancar dan jelas menggunakan pengetahuannya yang luas.
Ia memang tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Tapi aku bisa melihat kecantikan dari dalam yang terpencar di hari itu. Ia bukan sekuntum mawar atau pun secantik melati. Ia bukan tanaman hias yang begitu cantik seperti bonsai yang ditata rapi. Ia adalah ilalang. Tumbuhan liar yang tetap kuat meski angin menerpanya. Tumbuhan liar yang memiliki daya tarik tersendiri. Jika kau lihat ilalang begitu saja, tak ada keindahan dari tanaman itu. Tapi jika kau lihat dari sudut yang berbeda, tanaman liar itu begitu indah hingga kau ingin bermain-main di tengah padangnya. Sama seperti gadis Papua yang kukenal itu.
Hari itu, seorang gadis bernama Ruth Munawas dinobatkan menjadi Miss of Indonesian Culture. Gadis yang tidak cantik fisik tapi cantik jiwanya. Dengan keteguhannya, ia membuktikan bahwa ia tidak memalukan. Dengan kepercayaandirinya, ia meninggikan derajatnya di mata orang lain. Hari itu ia membuktikan bahwa dirinya bukan untuk dikucilkan karena perbedaan, sebab Indonesia memiliki beragam warna tapi sejiwa.
*****

“Ayah, kata ibu cepat ke dapur. Makan malam sudah siap,” seorang gadis kecil berambut ikal namun bermata sipit yang menurun dariku membuyarkan lamunanku.
“Iya, ayah akan ke sana. Sebentar, ya.”
Aku menutup album masa mudaku dan mengakhiri rekaman-rekaman yang terputar kembali lalu berjalan menuju dapur. Seorang wanita Timur menyambut kedatanganku dengan senyum ramahnya. Ia tidak pernah berubah sejak dulu. Tetap teguh dan terus menumbuhkan kekaguman menjadi benih bunga di hatiku.
Ya, memoriku yang kembali terputar adalah segelintir kisah masa lalu istriku yang berdarah papua.
*****

0 komentar: